Belakangan ini marak dikampanyekan dan diajarkan bahwa dalam beragama, seorang muslim harus mampu bersikap moderat. Namun, sudahkah kita tahu apa yang dimaksud dengan moderat beragama itu? Bagaimana caranya beragama dengan moderat?
Prof. Quraish Shihab punya jawaban soal itu. Dalam program kajian Shihab & Shihab yang diselenggarakan pada Sabtu, 30 November lalu di Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru atas kerjasama Narasi.tv dengan Komunitas Tangga Masjid, Pak Quraish menjelaskan perihal moderasi beragama. Dalam konteks Islam, sikap moderat ini disebut wasathiyah.
“Pertama kita perlu tahu, apa yang dimaksud dengan wasathiyyah. Secara umum, wasathiyyah terambil dari kata wasath, yang secara bahasa artinya di tengah.” ujar pendiri Pusat Studi Al Quran ini.
“Namun wasath juga dapat diartikan sebagai “yang terbaik”. Karena sesuatu yang berada di tengah, sering merupakan hal yang baik. Besi akan berkarat dari tepi, sepiring nasi akan mulai basi dari pinggir, yang terakhir terkena adalah sisi tengah.”
Dipandu oleh presenter kondang Najwa Shihab – yang notabene adalah putri pakar tafsir ini, Prof. Quraish menjelaskan bahwa bersikap moderat atau wasathiyyah bukan berarti selalu di tengah. Sementara kalangan menganggap bahwa wasathiyyah adalah “suatu sifat baik yang ada di antara dua kedudukan”, semisal keberanian adalah sifat antara takut dan ceroboh, begitu juga dermawan adalah sifat antara kikir dan boros.
“Allah berfirman bahwa orang yang diberi kitab suci ada tiga tingkatan. Pertama, minhum zhalimun linafsihi, yang zalim pada dirinya; kedua minhum muqtashid, yaitu sedang-sedang saja; dan ketiga minhum sabiqun bil khairat, kalangan yang berlomba dalam kebaikan – dan inilah yang terbaik.” Karena itu tak mesti yang di tengah itu baik, melainkan sesuai kondisi masing-masing.
Untuk mampu bersikap moderat, kunci pertama yang dibutuhkan adalah memiliki pengetahuan. Baik pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang kondisi kebutuhan dan kondisi masyarakat yang ada. “Bisa jadi hal baik yang ada di Indonesia, kurang cocok di negara lain.”
Penulis Tafsir Al Mishbah ini menguraikan lebih lanjut pentingnya pengetahuan agama dan pemahaman yang baik atas kondisi masyarakat. Ia mencontohkan bahwa pendapat ulama bisa berbeda sesuai dengan konteks masyarakat tempat hidupnya. Selama tidak berbeda dalam prinsip beragama Islam, segala perbedaan pendapat bisa tertampung dalam konsep moderasi atau wasathiyyah.
Selanjutnya kunci kedua untuk beragama secara moderat adalah jangan emosi dalam menjalankan agama. Emosi beragama mesti diganti dengan cinta.
“Emosi dan semangat beragama yang berlebihan, bisa jadi penyebab melakukan hal yang dilarang agama.” terang Prof. Quraish. Contoh yang bisa ditemui semisal seseorang tidak menyegerakan berbuka puasa karena ingin puasa lebih lama. Begitu juga pada kasus memperbanyak basuhan wudlu agar lebih afdhol, padahal itu boros memakai air.
“Karena itulah, dalam beragama itu ada orang yang melaksanakan agama sampai tingkat puncaknya. Ada yang di tengah, ada yang melaksanakan di batas minimal. Kalau disikapi secara emosional, orang yang melaksanakan agama pada pemahaman tertinggi, akan menuduh yang beragama dengan minimal sebagai orang yang tidak beragama dengan benar.” ujar lulusan Universitas Al Azhar Mesir ini. Emosi keagamaan bisa membuat orang melanggar ajaran agama meskipun itu bertentangan dengan apa yang diyakininya.
“Agama ada batas-batasnya. Ada batas minimal, ada batas maksimal. Kurang dari minimal, dianggap mempergampang agama. Lebih dari maksimal, itu adalah berlebihan melampaui batas atau ghuluw.” Oleh sebab itu agar seorang muslim dapat mengetahui batas minimal dan maksimal agar dapat moderat dalam beragama diperlukan kunci awal, yaitu memiliki pengetahuan.
“Agama ini sudah memberi banyak kemudahan. Terlalu banyak kemudahan beragama yang kita tolak karena sikap emosi berlebih dalam beragama.”
Sikap moderat ini juga mesti merambah dalam perilaku pada non-muslim. Menyikapi orang beda agama, perlu dipahami bahwa ada saudara seiman dan saudara dalam kemanusiaan. “Kepada non-muslim, kita tidak klaim di hadapan agama lain bahwa kita yang paling benar. Namun sebagai muslim, harus yakin seratus persen ke dalam diri bahwa Islam itu agama yang benar.” Kepada yang beda agama saja mesti begitu, apalagi kepada sesama muslim.
Wasathiyah dinyatakan dalam Al Quran sebagai shirathal mustaqim. “Shirath adalah jalan lebar yang tidak berdesak-desakan. Serta mustaqim, adalah lurus sehingga segera sampai di tujuan.” Namun Prof. Quraish menyadari bahwa memang ada kalangan yang mempersempit jalan beragama diikuti sikap menyalahkan yang berbeda.
“Sebenarnya perbedaan dalam agama bisa disikapi dengan berdiskusi. Orang yang toleran dan moderat terbuka untuk mengoreksi pendapatnya.” Kerap kali orang yang ekstrem dalam beragama itu tidak mau diskusi, hanya mau didengar, tapi mereka tidak mau mendengar. Menyikapi kalangan seperti itu, Prof. Quraish berpesan, “Jangan diskusi dengan orang yang dapat anda kalahkan argumennya, tapi tidak dapat anda kalahkan kepala batunya.”
Selain memiliki pengetahuan, tidak beremosi dalam beragama, kunci ketiga agar mampu moderat dalam beragama adalah bersikap selalu hati-hati.
“Setan itu berupaya menjadikan manusia rugi, atau setidaknya tidak mendapat untung dalam perbuatannya. Tidak ada satu kegiatan positif pun yang tidak digoda setan, baik itu dari segi ingin menambahkan atau mengurangi amalan yang sudah dilakukan.” Dengan berhati-hati, seorang muslim bisa terhindar dari hal kurang sesuai dalam tindakan amal kebaikan.
Masalah wasathiyah atau moderasi perlu jadi pedoman dalam beragama karena manusia adalah makhluk yang diperintahkan untuk membangun dan memakmurkan bumi. “Manusia ini unik karena punya inisiatif, tidak seperti malaikat. Karena berinisiatif, manusia bisa salah. Oleh sebab itu harus hati-hati.” Namun dalam terjadinya kesalahan itu, Allah pun banyak mengampuni kesalahan dan dosa hamba-Nya. “Tidak perlu takut kembali kepada Allah, selama mau bersahabat dengan Dia.” pungkas Prof. Quraish.