Propaganda Islam Radikal dan Persoalan Jurnalisme Islami

Propaganda Islam Radikal dan Persoalan Jurnalisme Islami

Propaganda islam radikal terus menggurita, tak jarang mereka menabrak platform jurnalisme. Bagaimana sebenarnya yang terjadi?

Propaganda Islam Radikal dan Persoalan Jurnalisme Islami

Salah satu bagian menarik dari buku Agama Saya Adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono adalah bahasan mengenai jurnalisme islami. Andreas mengatakan tidak ada jurnalisme islami. Ia mengutip pendapat seorang “pakar” yang mengatakan bahwa jurnalisme islami adalah suatu proses meliput, mengolah dan menyebarluaskan bebagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, serta berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam kepada khalayaknya. Jurnalisme islami dapat pula dimaknai sebagai proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat dengan muatan dan sosialisasi nilai-nilai Islam dengan mengedepankan dakwah Islamiyah.

Menurut Andreas, jika definisi jurnalisme islami serupa itu, maka lebih tepat disebut propaganda. Karena apabila jurnalisme dikaitkan dengan pemahaman lain (entah itu fasisme, kapitalisme, komunisme dll) akhirnya menjadi propaganda. Ciri propagada adalah adanya manipulasi psikologis dan kepentingan ideologi serta kekuasaan dalam informasi yang disampaikan. Andreas menyarankan istilah jurnalisme islami diganti saja dengan dakwah. Itu justru lebih jelas dan tidak rancu.

Pun demikian, istilah jurnalisme islami masih terus digunakan. Oleh Herry Mohammad misalnya. Sebagaimana dilansir hidayatullah.com, Herry Mohammad mengatakan prinsip jurnalisme islami ialah mengedepankan proses tabayun, cek dan ricek terhadap informasi yang didapatkan agar tercapai kebenaran. Hal itu disampaikan Herry dalam diskusi bertajuk “Jurnalisme Islami dan Tanggung Jawab Moral Wartawan Muslim” di kantor Media Hidayatullah, 25 Maret 2015.

Herry menambahkan, sikap skeptis akan menuntut seorang jurnalis hanya untuk melakukan upaya klarifikasi dan konfirmasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan informasi yang hendak ditulis dan diberitakan. Sementara, tabayun tak hanya sekadar klarifikasi dan konfirmasi tetapi juga verifikasi terhadap informasi yang didapat dan siapa yang menyampaikan. Dengan proses tabayun seperti itu, maka kebenaran suatu berita akan tersingkap dan terungkap.

Apabila kita cermati, ada yang menarik dari pernyataan Herry Mohammad tersebut, yakni mengenai tabayun. Kata tabayun (bayana-yubayinu) berasal dari bahasa Arab yang artinya klarifikasi. Pertanyaannya, apakah selama ini para wartawan yang bekerja di lapangan tidak melakukan klarifikasi? Apakah hanya dengan menggunakan istilah berbahasa Arab lantas serta merta menjadi jurnalisme islami?

Jika kita ikuti pendapat Herry Mohammad, tabayun diartikan tak sebatas klarifikasi dan konfirmasi, tapi juga verifikasi. Namun, bukankah setiap wartawan yang baik pasti selalu melakukan verifikasi, karena hal tersebut merupakan prinsip dasar kerja kewartawanan?

Pandangan Herry Mohammad tentang jurnalisme islami mengingatkan saya kepada arrahmah.com. Situs yang dikelola Abu Jibriel dan pernah diblokir pemerintah itu juga menggunakan istilah tabayun.

Tulis mereka di profil situs: Arrahmah Media Network dalam aktivitasnya mengembangkan strategi jurnalisme investigatif, argumentatif, dan persuasif. Investigatif berarti melakukan investigasi berimbang dengan konsep tabayun. Boleh jadi kita akan semakin bingung dan putus asa memahami makna tabayun setelah membaca pernyataan arrahmah.com.

Pemahaman kita akan jurnalisme investigatif menjadi buram dan kabur manakala disandingkan konsep tabayun yang seimbang ala arrahmah.com. Padahal yang kita harapkan dari situs seperti arrahmah.com itu bukan penggunaan istilah jurnalisme yang muluk-muluk, yang jauh panggang dari api, mereka cukup tidak menyebarkan hoax dan berita provokatif dengan kalimat-kalimat vulgar, itu saja.

Kritik Andreas Harsono terhadap penggunaan jurnalisme islami adalah bahwa sejatinya genre ini belum bisa dipertahankan secara teoritis. Para pengguna istilah jurnalisme islami mencampuradukkan bacaan-bacaan Barat tentang jurnalisme dengan perspektif Islam, audiens Muslim serta pekerjaan wartawan. Lebih jauh, kata Andreas, jika ada jurnalisme islami, maka kelak pakar komunikasi yang beragama Protestan bisa saja membuat “jurnalisme protestan” dengan pengertian: Upaya misionaris Kristen dengan semboyan “cintailah sesamu manusia” dalam meliput dan menyiarkan informasi. Cirinya, menyebarluaskan informasi tentang Kalam Allah serta ajaran Yesus Kristus.

Andreas menyimpulkan, menempelkan semboyan kepada kata jurnalisme bukanlah pekerjaan sulit. Namun ia akan menciptakan banyak masalah. Siapa yang berhak menilai sebuah karya itu Islami atau Kristiani? Dan upaya-upaya ngawur menciptakan istilah jurnalisme islami hanya akan merugikan kepentingan dan makna dari “jurnalisme” maupun “Islam”.

Hal Ini akan memancing debat kusir yang berkepanjangan. Jurnalisme islami? Islam yang mana? Yang liberal atau radikal? Dan seterusnya, dan seterusnya. []

Zakky Zulhazmi adalah peneliti dan penulis buku Jihad dan Propaganda Islam Radikal di Media Siber (2015). Alumnus pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.