Propaganda Media Islam Radikal: Menjual yang Sensasional dan Hoax

Propaganda Media Islam Radikal: Menjual yang Sensasional dan Hoax

Propaganda Media Islam Radikal: Menjual yang Sensasional dan Hoax

Media sensasional diibaratkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel seperti seseorang yang ingin menarik perhatian dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian. Siapapun tentu tertarik melihat orang telanjang. Namun, bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pembaca?

Adapun media proporsional dimisalkan seperti seseorang yang pergi ke tempat umum dan memainkan gitar. Hanya sedikit yang menonton. Namun seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang mendengarkan.

Gambaran itu dicuplik dari artikel berjudul Sembilan Elemen Jurnalisme di buku Agama Saya adalah Jurnalisme karya Andreas Harsono. Proporsional adalah salah satu dari sembilan elemen yang dikemukakan Kovach dan Rosentiel. Delapan elemen lainnya adalah: kebenaran, loyalitas pada masyarakat, disiplin melakukan verifikasi, independensi, memantau kekuasan serta menyambung lidah mereka yang tertindas, menjadi forum publik, memikat sekaligus relevan, dan mendengarkan hati nurani.

Analogi orang telanjang dan pemain gitar adalah gambaran yang relevan untuk zaman ini, zaman digital. Ketika media-media online berlomba mendulang klik dengan berita-berita sensasional. Berita yang miskin verifikasi dan hanya mengejar kecepatan. Yang lahir dari media-media hamba rupiah, yang loyalitasnya ditujukan bukan untuk masyarakat tapi kepada para pemodal.

Nahasnya, di antara mereka yang menjual sensasi dan hoax ini adalah media-media yang mendaku sebagai media Islam. Kita mungkin pernah mendapati berita-berita serupa ini: Menjijikkan! NU Bolehkan Zina di Tempat Pelacuran atau Anak Jokowi Hina Makanan Kesukaan Nabi Muhammad (meski belakangan judul ini diganti) atau Astaghfirullah, Jokowi Larang Takbir Keliling, Tapi Tidak untuk Konser Metallica.

Berita-berita itu sebetulnya merupakan pelintiran belaka, dikemas ulang dengan sudut pandang tertentu, tak lupa diberi tafsiran sendiri dan dibubuhi judul bombastis.

Berita berjudul Menjijikkan! NU Bolehkan Zina di Tempat Pelacuran misalnya, merupakan pelintiran dari hasil Bahtsul Masail LKNU (Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama). Isinya, antara lain, lokalisasi dianggap perlu sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinaan. Lokalisasi juga harus disertasi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara masif untuk menyelesaikan inti masalah.

Nah, oleh nahimunkar.com hasil Bahtsul Masail LKNU dipelintir sedemikian rupa agar menjadi sensasi. Yang meresahkan, berita-berita pelintiran tersebut tidak sekali dua kali muncul dan memantik kehebohan.

Pun demikian, yang sedikit melegakan adalah pendapat beberapa pengamat media yang memprediksi media Islam penebar berita-berita sensasional yang kerap kali provokatif dan agresif itu tak akan bertahan lama. Selaras dengan ramalan Kovach dan Rosentiel: tak ada yang mau terus-terusan melihat orang telanjang di tengah jalan.

Jika dicermati, berita-berita sensasional memang memiliki karakter tak tahan lama. Satu dua hari berita-berita itu akan heboh. Menjadi viral. Tapi akan tenggelam begitu saja. Cepat datang, cepat pula perginya.

Adakah ajaran Islam yang menghimbau untuk menyebar berita bohong dan bahkan cenderung mengarah pada fitnah? Itukah yang mereka sebut sebagai jurnalisme islami? Itukah bentuk keberpihakan kepada Islam?

Media-media penebar sensasi kiranya perlu merenungkan lima konsep dalam verifikasi yang dicetuskan Kovach dan Rosentiel: (1) Jangan menambah atau mengarang apapun. (2) Jangan menipu atau menyesatkan pembaca. (3) Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase. (4) Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri. (5) Bersikaplah rendah hati.

Sayangnya, hanya orang-orang yang tidak bebal dan berpikiran terbuka yang dapat merenungkan itu semua. []

Zakky Zulhazmi adalah peneliti dan penulis buku Jihad dan Propaganda Islam Radikal di Media Siber (2015). Alumnus pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Baca analisis media islam lainnya, klik di sini