Propaganda Di Balik Narasi Felix Siauw Soal Palestina: Ketidaktahuan, Pengkhianatan dan Islamisme

Propaganda Di Balik Narasi Felix Siauw Soal Palestina: Ketidaktahuan, Pengkhianatan dan Islamisme

Felix Siauw membuat narasi tentang Palestina dan perlu dikritisi, khususnya terkait narasi perang agama di Palestina an sich alih-alih kemanusiaan

Propaganda Di Balik Narasi Felix Siauw Soal Palestina: Ketidaktahuan, Pengkhianatan dan Islamisme
Ustadz Felix Siauw pun sering piknik, Turki dan lain-lain, negara-negara berbasis muslim lain juga banyak ia kunjungi. Tapi, mengapa ia tidak juga memahami realitas masyarakatnya?

“Anda tidak perlu menjadi muslim untuk membela Palestina, yang ada perlukan adalah rasa kemanusiaan,” kalimat ini saya jumpai dalam bahasa Inggris tertera di sebuah kaus yang dijual salah satu lembaga filantropi di Indonesia. Saya cukup tersentak karena lembaga tersebut ditengarai memiliki kedekatan dan relasi dengan kalangan Islamis.

Perasaan saya tersebut sebenarnya bagian dari sebuah rasa penasaran yang mulai tumbuh sejak derita kekerasan dan kemanusiaan di Palestina pecah. Sebab, jika bicara kemanusiaan maka saya melihat kalangan Islamis cukup hati-hati atau malah menghindarinya. Sebab, yang paling utama bagi mereka adalah kelompok sendiri, dalam hal ini sesama muslim (malah dalam arti yang sangat sempit).

Rasa penasaran saya di atas dipicu karena setiap kelompok Islamis mulai bereaksi atas konflik yang melibatkan umat Islam, di dalamnya sering diselipkan berbagai tuduhan atau hujatan kepada mereka yang tidak sejalan. Hal yang sama sering terjadi dalam dinamika konflik Palestina.

Oleh sebab itu, sempat terlontar sebuah pertanyaan dalam pikiran saya, apakah sikap mereka nanti akan terselip demonisasi atas siapa saja yang tidak sejalan atau memiliki perbedaan sudut pandang atas isu krusial saat ini.

Sebelum lebih jauh, kita rasanya perlu mengulik lafal demonisasi di atas, yakni sebuah aksi melebih-lebihkan keburukan atau kejahatan figur lawan. Sehingga figur lawan menjadi tampak buruk luar biasa, jahat sempurna, tidak ada sedikitpun kebaikannya. Bagaikan setan dari neraka jahanam.

Adapun lafal lain yang berkelindan dengan demonisasi adalah glorifikasi. Ia adalah sebuah aksi melebih-lebihkan sesuatu hingga terkesan hebat luar biasa, atau digambarkan bagai sesuatu yang sangat suci, sempurna tanpa cela.

Jika kita ulik narasi yang dikembangkan oleh kelompok Islamis, terutama mereka yang bergaul dengan kalangan kelas menengah, maka didapati demonisasi dalam setiap wacana mereka.  Untuk kasus konflik Palestina-Israel dilekatkan tidak saja kepada agama Yahudi, namun kepada mereka yang tidak sama dalam pembelaan pada Palestina.

Dalam amatan saya, kelompok kedua di atas baru muncul setelah konflik mulai mereda sejak terjadi kesepakatan genjatan senjata atas Hamas-Israel. Hal tersebut disebabkan ketika konflik masih panas membara tentu perhatian masyarakat terfokus pada konflik dan jatuhnya korban jiwa. Akan tetapi, permasalahan stigma atas mereka yang tidak memiliki kesamaan atas kesimpulan atau perjuangan pembelaan terhadap Palestina.

Dari caption yang ditulis di Instagram dan video yang diunggah di Youtube oleh Felix Siauw, pendakwah, kita bisa melihat bagaimana demonisasi tidak saja diarahkan kepada kelompok Yahudi dan Zionisme yang dianggap bersalah atas konflik di Palestina. Akan tetapi, juga ditujukan pada kelompok yang tak sepaham dengan mereka dalam model dan narasi perjuangan.

Dalam video berdurasi hampir setengah jam tersebut,  Felix mengawali bahwa persoalan utama dalam minimnya sensitivitas masyarakat muslim atas isu Palestina atau Baitul Maqdis adalah KETIDAKTAHUAN. Dia menegaskan bahwa kebanyakan dari kita tidak mendapatkan atau kekurangan informasi atas apa yang sebenarnya terjadi di Palestina. Akibatnya, kita sering tidak terketuk hatinya untuk membela tanah Baitul Maqdis.

Adapun di akun Instagram milik Felix terdapat tiga postingan yang terkait secara gamblang dengan konflik Palestina. Ada satu kata kunci tambahan yang bisa dijumpai dalam narasi milik Felix, yakni PENGKHIANAT. Menurut Felix, kalangan Muslim minim rasa empati atas konflik Palestina selain didasari ketidaktahuan atau minimnya informasi atas penindasan atas umat Islam di sana, namun juga kurang menyadari bahwa Nabi Muhammad dan para sahabatnya sudah mencontohkannya.

Berangkat dari logika tersebut, Felix melihat keberadaan pengkhianat atas “umat Islam” yang tidak menyandarkan perhatian atas Palestina kepada urusan agama. “Tetap tanamkan, keberpihakan pada Baitul Maqdis dan penduduknya adalah urusan agama kita” ujar Felix dalam postingannya. Untuk selain Muslim, Felix memaklumi untuk menggunakan narasi kemanusiaan. Sedangkan untuk muslim harus tetap dalam narasi agama.

“Bila mereka yang bukan Muslim bersimpati kepada penduduk Palestina sebab kemanusiaan, tentu itu satu hal yang sangat baik. Akan tetapi, bila kaum Muslim juga mencukupkan diri sama seperti itu, maka dimana kesadaran yang Rasulullah ajarkan pada kita?” tulis Felix dalam postingan di Instagramnya. Dia menganggap muslim yang tidak mendasarkan kepeduliannya pada Palestina tidak didasarkan pada agama, adalah seseorang yang tidak memiliki kepedulian yang sama dengan Rasulullah.

Permasalahan demonisasi, terutama kepada mereka yang tidak sejalan dengan kelompok Islamis, menyeret narasi perjuangan atas kemerdekaan Palestina malah menjadi semakin kerdil. Dalam bahasa lain, Bassam Tibi, akademisi asal Amerika, menyebutnya dengan andai saja terjadi perdamaian antara Palestina-Israel, maka demonisasi tidak akan berhenti. Sebab, menurut Tibi pandangan anti-semitisme Islamis justru malah mengerdilkan permasalah pada kebencian atas identitas tertentu, bukan perjuangan atas nama kemanusiaan.

Di sisi lain, di pihak Israel memiliki persoalan sama dan tak kalah pelik. Ahmad Munjid dalam opininya di koran Kompas pada Senin lalu, 24 Mei 2021, menuliskan bahwa terdapat persoalan “Trauma Kultural. Munjid mengutip pendapat Jeffrey Alexander dalam buku Trauma, A Social Theory, “Trauma Kultural” dibentuk melalui proses sosial di mana peristiwa traumatis dinarasikan sebagai ancaman eksistensial terhadap semua warga suatu kelompok.

Menurut Munjid, kelompok Yahudi sampai sekarang dihantui “trauma kultural” holokos yang merenggut jutaan warga mereka, semasa Perang Dunia II. Trauma itu, menurut Munjid, yang dijadikan legitimasi utama gerakan Zionis untuk mendirikan negara Yahudi.

Kita bisa menemukan kesamaan dari fakta yang diungkapkan Munjid dan Bassam Tibi di atas. Keduanya disandarkan dalam keterancaman atas eksistensi identitas liyan, kalau di kalangan Islamis, sebagaimana dijelaskan oleh Tibi, persoalan Yahudi ditambah dengan persoalan kosmik.

Dalam buku Islam dan Islamisme, Tibi mengatakan bahwa fobia atas kelompok Yahudi baru mulai menggejala sejak abad modern, atau sejak abad ke-19. Bahkan, narasi anti-semitisme Islamis ini, menurut Tibi, diadopsi dari Protokol palsu Tetua Sion, yang digambarkan bahwa kelompok Yahudi memiliki ambisi untuk menguasai dunia. Oleh sebab itu, “melawan orang-orang Yahudi” begitu sentral dalam pandangan kelompok Islamis, dan tidak berhubungan dengan konflik apa pun, termasuk konflik dengan Israel.

Kecurigaan saya atas fenomena kelompok Islamis menggunakan narasi kemanusiaan dapat diwakili postingan Felix Siauw  di atas. Memang, tidak seluruhnya sama dengan apa yang diunggah oleh Felix, namun postingannya dapat mewakili bagaimana pandangan kelompok Islamis atas konflik Palestina.

Untuk keluar dari belenggu dua narasi sepihak di atas, kita bisa belajar dari ilustrasi yang dibuat oleh Ahmad Rizky Umar Mardhatillah, yang dipublish di laman Indoprogress. Uraian Umar dalam opini berjudul Tugas Kita: Dukung Palestina hingga Penjajah Israel Gemetar di Hadapan Perjuangan Rakyat, sangat jelas dan lebih jernih bisa menjadi panduan kita untuk memahami konflik Palestina -Israel. Dia menuliskan bahwa sejarah pertumpahan darah Israel-Palestina adalah cerita penjajahan yang belum usai.

Menurut Umar, kita sudah terlampau lama menyaksikan penindasan di Gaza oleh tentara Israel. Dari tahun ke tahun kita masih berputar di masalah yang sama, yakni ketidakberdayaan sebuah negara yang hak kedaulatannya tidak pernah diakui. Ini persoalan Negara bukan permusuhan kosmik atau kebencian atas Yahudi.

Umar melanjutkan dengan menegaskan bahwa sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan manusia atas manusia lain pada masa modern. Karena sejarah Palestina adalah sejarah penjajahan, mereka harus punya hak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Menariknya dari pendapat Umar ini adalah tidak mengangkat narasi agama di dalam perjuangan mendukung rakyat Palestina, untuk merebut kedaulatannya layaknya negara merdeka dengan hak-hak warga negara dan batas-batas wilayah yang harus dihormati.

Arkian, perjuangan yang dihadirkan Umar dan kelompok progresif lainnya untuk membebaskan Palestina dari okupasi dan kekerasan yang dilakukan oleh Israel, bisa dijadikan alternatif pilihan ketimbang menghadirkan narasi perlawanan yang meloloskan penindasan lainnya atas identitas liyan. Demonisasi yang dilakukan oleh kelompok Islamis atas konflik Palestina adalah bukti pengkhianatan atas nilai kemanusiaan yang sebenarnya.

Jika kalangan Islamis harus direpotkan dengan demonisasi atas kelompok lain, pertanyaannya apakah perjuangan seperti itu atas dasar nama kemanusiaan dan akan berujung pada perdamaian sejati. Jawaban saya jelas sekali tidak, sebab mereka hanya peduli atas identitas yang melekat pada diri atau kelompok mereka sendiri, bukan kemanusiaan yang mereka hadirkan.

 

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin