Tidak jauh dari pusat Kota Malang, tersebutlah satu daerah yang dikenal dengan komunitas pesantrennya. Nama daerah ini Gading Kasri, atau orang-orang lebih umum memanggil daerah ini dengan daerah Gading. Kira-kira tak sampai sepuluh menit dari Alun-alun Kota Malang ataupun dari Stasiun Malang.
Secara umum masyarakat Gading Kasri adalah tipikal masyarakat yang religius dan sangat mengikuti otoritas kiai, terutama arahan masyayikh Pondok Pesantren Miftahul Huda yang populer dengan Pondok Gading. Nyaris seluruh aktivitas keagamaan di musholla atau masjid area ini, mengikuti arahan maupun bimbingan dari para guru dan kiai Pondok Gading yang kharismatik tersebut, baik dalam amaliah ibadah dan muamalah, termasuk aktivitas tarekat.
Salah satu arahan yang mungkin akan mendapat perhatian, dan mungkin menjadi ciri khas masyarakat Gading, adalah mengikuti hasil ketetapan hisab dari pondok. Pondok Gading dikenal sebagai salah satu pesantren yang punya tradisi ilmu falak yang kuat – dalam hal ini, utamanya bidang hisab.
Menilik kurikulum madrasah diniyahnya, ilmu falak mendapat porsi khusus sebagai mata pelajaran wajib, bukan hanya suplementasi saja. Setidaknya, setiap santri yang tuntas mengaji di Madrasah Diniyah Matholiul Huda, madrasah di Pondok Gading, mesti terpapar ilmu ini. Pondok Gading merujuk kitab Sullamun Nayyirain karya Syekh Muhammad Manshur Al Batawi sebagai sumber belajar di madrasah diniyah dan basis metode hisab yang digunakan.
Perihal penggunaan hisab di pesantren NU, khususnya dalam hal-hal ahwalus syakhsiyyah awal dan akhir Ramadan, memang selalu ada perdebatan dan diskusi. Hukum hisab bagi pelaku dan jamaahnya ini ada rinciannya, namun tentu perlu artikel tersendiri membahas itu. Salah satu pendapat yang terdapat dalam Sullamun Nayyirain ini jadi pedoman: “Boleh bagi orang yang ahli hisab mengamalkan hisabnya, pendapat lain mengatakan wajib, demikian juga bagi orang yang membenarkan/ mempercayai (hasil hisab)”.
Dari situlah, otoritas hasil hisab Pondok Gading diikuti banyak kalangan, khususnya santri, alumni dan jamaah yang nderek kiai pesantren ini. Selain di wilayah Gading Kasri, ketetapan hisab Pondok Gading juga dipedomani pesantren dan masjid yang punya ikatan dengan salah satu pesantren tertua di Indonesia ini. Hingga hari ini, para tokoh dan kiai di Malang selalu menghormati keputusan Pondok Gading dalam putusan hasil hisab.
Lewat basis hisab tersebut memang ada perbedaan hasil simpulan dan ketetapan dengan pemerintah, yang meski tidak setiap tahun, berulang terjadi. Terhitung beberapa kali perbedaan ketetapan hari lebaran di Gading dengan putusan pemerintah terjadi di dekade awal 2000-an, sebagaimana yang pernah terjadi juga pada beda lebaran Muhammadiyah dan pemerintah.
Meninjau tradisi tersebut, bagaimana sebenarnya hisab dilakukan di Pondok Gading?
Saya berbincang dengan salah satu anggota tim hisab Pondok Gading guna mengulik sedikit lebih jauh perihal penggunaan dan pengajaran ilmu hisab di pesantren tersebut. Chasib Idris, S.Mat, seorang santri sarjana matematika alumnus Universitas Brawijaya sebagai anggota tim, membantu saya sedikit lebih mengenal bagaimana hisab diajarkan dan diamalkan oleh para kiai dan santri.
Pertanyaan saya buka dengan kelakar kemungkinan perbedaan lebaran tahun ini di Indonesia.
“Benar mas. Kemungkinan lebaran tahun ini isunya akan berbeda,” tukas santri asal daerah Tumpang, Kabupaten Malang ini.
“(Pondok) Gading akan berlebaran di tanggal 21 (April) ini, sama seperti Muhammadiyah.”
Chasib mengaku mulai ikut tim hisab tersebut tahun 2020. “Setahu saya dua tahun belakangan belum ada perbedaan. Aman, pas di hari rayanya. Tapi kalau beda awal dan akhir bulan Hijriyah lain pasti ada. Termasuk awal Ramadan tahun kemarin juga berbeda.”
Momen yang dimaksud adalah awal Ramadan 2 April 2022 lalu – Pondok Gading memulai puasa lebih dulu dari ketetapan sidang isbat pemerintah.
Santri lulusan Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang ini, menyebutkan bahwa Pondok Gading merujuk kitab Sullamun Nayyirain yang diajarkan di tingkatan Ulya, tingkat terakhir madrasah diniyah.
“Dari metode kitab itu, kita juga coba membandingkan dengan hasil dari kitab-kitab lainnya,” terang Chasib.
“Pondok ini juga kerap menyelenggarakan ekstrakurikuler pelatihan hisab dan falak, mewadahi teman-teman santri yang ingin lebih mendalami hisab ini.”
Tim hisab Pondok Gading, menurut keteragan Chasib, melakukan kegiatan menghitung, menyelesaikan permasalahan hisab, lalu melakukan konsultasi dan konfirmasi ke dewan pendamping dan masyayikh pesantren.
“Pendamping tersebut berasal dari alumni pondok ini juga. Sebelumnya kami biasa ke almarhum Ustadz Murtadlo (KH. Murtadlo Amin, dewan pengasuh PP. Sabilurrosyad Gasek Malang yang juga diasuh ketua PWNU Jawa Timur, KH. Marzuki Mustamar).”
Mengenai ketetapan pondok, tim hisab pada dasarnya diakui adalah khadim “tangan kanan” masyayikh dalam perihal hisab.
“Pada prinsipnya, hasil telaah tetap kami sowankan ke Romo Kiai Ahmad (dalam hal ini KH. Ahmad Arif Yahya) apakah sudah benar atau belum. Dan ketetapan pondok nantinya juga berdasarkan arahan dari beliau,” demikian jelas Chasib. Lanjutnya, dewan pengasuh pun juga selalu menyampaikan bahwa masyarakat yang meyakini boleh mengikuti ketetapan pondok atau menunggu putusan dari pemerintah.
Pengajaran ilmu hisab ini dilakukan dari turun temurun. “Pelajaran hisab ini malah dulu diampu sendiri oleh dewan masyayikh yaitu Kiai Shohib (KH. Shohibul Kahfi, yang juga dosen jurusan matematika Universitas Negeri Malang) sebelum beliau wafat tahun 2020 lalu.”
Berdasarkan keterangan Chasib, Mbah Kiai Yahya (KH. Muhammad Yahya, pengasuh generasi ketiga Pondok Gading yang juga mursyid Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah) telah menggunakan metode ini. Bahkan dari keterangan alumni santri-santri yang jauh lebih tua, konon penggunaannya sudah jauh lebih lampau dari masa hidup Kiai Yahya.
Salah satu kesulitan yang mungkin dihadapi tim hisab Pondok Gading adalah jika ada kontroversi atau pertanyaan dari publik. “Semisal kami setelah lihat dan bandingkan dengan beberapa hasil hisab maupun rukyat, mungkin kami tahu ada beda berapa derajat hitungan pihak sana, ada yang hasilnya begini, biasanya karena beda referensi.”
Tim hisab juga tidak menutup diri dari teknologi sebagai alat pembanding. Aplikasi astronomi juga coba dipakai.
“Hisab itu ya sains, ya fikih. Hisab itu alat untuk membantu fikih. Jadi hisab dulu sebelum ada teknologi malah mungkin lebih ribet, ya inilah gunanya ilmu untuk memudahkan.”
Selain meneliti awal dan akhir bulan Hijriyah, santri Pondok Gading juga mempelajari penentuan waktu shalat dan arah kiblat sebagai bagian pendidikan ilmu hisab di madrasah diniyahnya.
Bayangan saya, ilmu ini sangat segmented dan khusus peminat bidang eksakta. Ternyata tidak kudu begitu, dan regenerasi tim hisab di Pondok Gading juga berasal dari santri kelas akhir madrasah diniyah dari berbagai latar belakang pendidikan.
“Kitab yang jadi rujukan kami itu sepertinya ditulis bukan untuk orang-orang ahli matematika saja kok. Karena itu di kitab ilmu falak klasik memakai istilah fikih, meski hitungannya juga ada istilah matematis meski sederhana saja.”
Santri yang meneruskan pendidikannya di tingkat magister dalam bidang matematika juga itu menyebutkan bahwa hisab sebagai metode ilmu, mesti ada yang mengamalkan.
“Namanya ilmu, ini yang terus dijaga bareng dan biar tidak hilang. Dan dari pengalaman ini, saya banyak belajar bahwa NU ini tradisi falaknya beragam, tidak hanya melulu menggunakan dasar rukyat.”
Tim hisab Pondok Gading dengan tradisinya yang panjang, diakui pula oleh komunitas akademik. Mengenai hal itu, berdasarkan kisah dari Chasib, Unisma (Universitas Islam Malang) bersama Lajnah Falakiyah NU pernah mengadakan seminar tentang hisab, yang mengundang beberapa pesantren yang aktif di bidang falak bersama beberapa akademisi.
Pondok Gading termasuk pihak yang diundang. Perihal penelitian terkait metode hisab dengan kitab Sullamun Nayyirain di Pondok Gading, Anda juga bisa merujuk riset dari mahasiswa Ilmu Falak UIN Walisongo di sini.
Pesantren NU yang menggunakan ilmu hisab dalam menentukan itu tidak hanya di Pondok Gading. Untuk wilayah Jawa Timur, pesantren NU yang juga terkenal dengan tradisi ilmu falak khususnya hisab dalam penentuan awal dan akhir bulan Hijriyah adalah Pesantren Al Falah, Ploso, Kabupaten Kediri. Pada akhirnya, uraian di atas agaknya memberi wawasan pada kita bahwa tradisi keilmuan dan otoritas yang beragam dalam pesantren NU selalu dihidupkan di tengah masyarakat. (AN)