Kebiasaan mabuk-mabukan pada umumnya dipandang sebagai suatu hal yang buruk di mata masyarakat, apalagi di mata seorang ahli agama. Namun pandangan tersebut tidak berlaku bagi Sultan Mahmud, sebab Sultan Mahmud pernah mengagumi kecerdasan seorang pemabuk. Kisah ini diceritakan oleh Jalaluddin Rumi di dalam Fihi Ma Fihi.
Suatu hari, seseorang mendatangi Sultan Mahmud dengan membawa seekor kuda yang sangat indah sekaligus memilki pekikan suara yang sangat menawan. Sultan sangat menyayangi kuda tersebut, sehingga Sultan menaikinya ketika hari raya tiba untuk berkeliling.
Semua rakyat ikut bergembira dengan pemandangan indah tersebut, bahkan beberapa rakyat rela menaiki loteng agar bisa melihat Sultan. Di salah satu rumah rakyat, terdapat seorang pemabuk yang dipaksa oleh beberapa orang untuk naik ke loteng rumahnya agar bisa melihat kuda yang agung tersebut.
Pemabuk tersebut berkata, “Aku sedang sibuk dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin melihat apapun dan tidak bisa memperhatikan apapun.” Orang-orang tetap memaksanya dan mengajaknya naik ke loteng, sehingga ia tidak bisa menghindarinya. Ketika sultan melewati rumahnya, ia berkata secara spontan, “Apa artinya kuda itu bagiku? Seandainya kuda itu milikku dan penabuh gendang menyanyikan sebuah lagu indah untukku, maka aku akan memberikan kuda tersebut kepada si penabuh gendang.”
Mendengar ungkapan si lelaki pemabuk, Sultan Mahmud naik pitam dan segera memerintahkan prajurit pengawalnya untuk menangkapnya lalu menjebloskannya ke dalam penjara. Selang tujuh hari, si lelaki pemabuk mengirim sebuah pesan kepada Sultan Mahmud. Pesan tersebut berisi sebuah pertanyaan singkat yang berupa “Dosa apa yang telah kulakukan? Biarkanlah Raja Semesta yang memutuskan kasusnya, sehingga mengabarkan keputusan-Nya pada hamba-Nya.” Setelah membaca pesan tersebut, Sultan Mahmud memerintahkan pengawalnya untuk membawa lelaki pemabuk tersebut di hadapannya.
Ketika lelaki pemabuk telah berada di hadapan Sultan Mahmud, beliau bertanya, “Hai tukang pesta yang tak tahu sopan santun, mengapa kau berani mengucapkan kata-kata yang seperti itu (mengejek kuda kesayangan Sultan Mahmud)?”
Si lelaki pemabuk menjawab, “Wahai Sultan, sungguh bukan aku yang mengatakannya. Kala itu ada seorang lelaki yang sedang mabuk dan dipaksa duduk di loteng lalu berkata seperti itu. Saat ini aku bukanlah laki-laki itu. Aku adalah seorang laki-laki yang berakal dan waras, sedangkan laki-laki yang mengejek kuda kala itu adalah seorang laki-laki yang kehilangan akal dan kewarasannya.”
Sultan Mahmud sangat senang mendengar jawaban cerdas lelaki pemabuk tersebut, sehingga akhirnya Sultan Mahmud membebaskannya dan memberinya hadiah.
Wallahu A’lam.