PBNU dan Kegagapan Menanggapi Isu Lingkungan

PBNU dan Kegagapan Menanggapi Isu Lingkungan

Sejumlah alasan kenapa PBNU gagap ketika berhadpan soal isu tambang untuk ormas keagamaan

PBNU dan Kegagapan Menanggapi Isu Lingkungan
Gedung PBNU di Jakarta. (Dok NU Online)

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan akan semakin sedikit orang yang paham dan menguasai suatu bidang ilmu dengan sempurna. Ini berlaku di segala bidang ilmu pengetahuan, tapi khususnya berlaku untuk ilmu pengetahuan modern yang riset dan pengembangannya masih terus berjalan seperti ilmu ekonomi dan sains lingkungan.

Salah satu tugas institusi pendidikan adalah memastikan agar khazanah keilmuan umat manusia yang semakin membengkak dan membesar di berbagai disiplin ini dirawat dan diteruskan ke generasi berikutnya, tidak hilang menguap begitu saja. Namun, sebaik apapun sistem pendidikan, tetap mustahil meneruskan semua warisan ilmu ini ke semua orang.

Di titik tertentu kita harus lebih mengandalkan kemampuan membedakan mana pendapat pakar yang bisa kita ikuti, dan mana pendapat yang landasannya lemah dan harus kita tolak. Salah satu cara meningkatkan kemampuan itu adalah dengan selalu meng-update pengetahuan, membaca buku-buku atau artikel tentang topik dan isu terkini yang relevan.

Isu lingkungan adalah isu kompleks yang sudah menumpuk terlalu besar untuk dipahami orang awam yang tidak mendalami secara khusus bidang ini. Saya sendiri bukan pakar soal isu lingkungan. Saya tidak punya pendidikan formal terkait ini. Tapi beberapa buku yang saya khatamkan dan puluhan artikel tentang lingkungan yang saya baca membuat saya bisa mengatakan bahwa keputusan PBNU untuk menerima konsesi tambang untuk ormas keagamaan adalah keputusan yang keliru.

Awalnya saya menahan diri untuk tidak menulis tentang ini. Rencananya saya hendak bersabar saja menunggu kawan-kawan lain yang lebih punya kapasitas untuk melakukan hal itu. Namun membaca tanggapan para pengurus PBNU dan para pendukungnya akan kritik soal penerimaan konsesi tambang, saya punya dugaan cukup kuat, seterbatas-terbatasnya pengetahuan saya soal isu lingkungan, pengetahuan para pengambil keputusan itu lebih terbatas lagi.

Ya ini klaim yang sekilas akan terlihat cukup jemawa. Namun membaca tulisan pembelaan salah seorang pengurus PBNU yang selama ini merupakan cendekiawan NU yang cukup dihormati, bahkan punya kolom sendiri di sebuah media nasional, saya jadi yakin bahwa saya tidak sepenuhnya salah.

Bagaimana tidak, tulisannya mengatakan bahwa isu perubahan iklim adalah isu yang masih menjadi perdebatan dan belum bisa dibilang “settled down”. Ini bertolak belakang dengan “ijma” ulama (saintis) isu lingkungan, bahwa memang saat ini faktanya sedang (dan sudah) terjadi perubahan iklim yang efeknya kita rasakan dengan semakin seringnya serangan hawa panas memakan korban jiwa, semakin seringnya banjir terjadi, begitu tak teprediksinya musim. Sampai-sampai puisi Sapardi “Hujan di Bulan Juni” jadi kehilangan daya magisnya karena hujan tak lagi turun berdasar pola lama yang kita ketahui.

Jumhur ulama lingkungan sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah meningkatnya kadar CO2 di atmosfer gegara aktivitas manusia semacam penggunaan bahan bakar fosil, penggundulan hutan, dst. Konsumsi susu sapi terlalu banyak saja buruk bagi lingkungan karena peternakan sapi termasuk penghasil gas rumah kaca yang cukup besar, apalagi pertambangan yang intensif menguras energi. Terlebih ini tambang batu bara, yang sudah diakui sebagai salah satu penyumbang terbesar persoalan iklim dunia.

Masalahnya, harus diakui, yang paling merasakan dampak perubaha iklim biasanya adalah mereka yang paling lemah. yang paling tidak punya kekuatan politik. yang paling jauh dari lingkar kekuasaan. Intinya, jelas bukan mereka-mereka yang saat ini duduk manis menerima konsesi tambang dari pemerintah Indonesia

Izinkan saya menjelaskan konteks mengapa saya berani mengatakan pengurus PBNU sekarang kurang memahami isu lingkungan.

Setelah sekian lama hanya sekadar menjadi bagian dari warga NU kultural, beberapa waktu belakangan ini saya cukup intens berinteraksi dengan warga NU struktural karena saya juga masuk menjadi bagian struktur tersebut meski hanya di tingkat provinsi.

Ini pengamatan saya: kebanyakan pengurus struktural adalah lulusan pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan (Islam) yang menghabiskan sebagian besar hidup dan masa pendidikannya untuk mempelajari khazanah pengetahuan khas pesantren. Memang mulai banyak yang punya latar belakang keilmuan non keagamaan, tetapi kebanyakan dari bidang sosial-humaniora, seperti saya. Ini tentu bukan hal buruk pada dirinya sendiri. Segala pengetahuan itu berharga. Segala ilmu itu baik.

Yang mau saya garis bawahi lebih soal tidak proporsionalnya susunan pengurus struktural NU dalam hal latar belakang pendidikan di bidang spesialisasi terkait isu lingkungan. Secara umum sangat sedikit pengurus NU yang berlatar belakang sains.

Sekali lagi saya ulangi, isu lingkungan adalah isu rumit. Tidak cukup hanya membaca satu dua artikel tentang ini untuk benar-benar memahami kedalaman dan segala kompleksitasnya. Para pengurus NU kebanyakan hanya punya kepakaran di bidang sosial-keagamaan. Ibaratnya, isi kotak perkakas intelektual mereka hanya analisis sosial dan analisis keagamaan. Seperti kata pepatah: bila seseorang hanya punya palu, segala sesuatu terlihat seperti paku. Karena perkakas yang ada hanyalah sosial-keagamaan, segala isu dilihat dari kaca mata ini. Penolakan yang keras dikira hanya karena isu lingkungan sudah menjadi ideologi, bukan karena bukti ilmiah soal kerusakan lingkungan sudah tak dapat disangkal.

Para pengkritik dinilai sebagai sekadar orang yang tidak paham fikih, bukannya berinstrospeksi bahwa mungkin mereka sendiri kurang paham sains sehingga kurang akurat mempertimbangkan lebih besar mana manfaat ketimbang mudarat menjalankan tambang.

Kurangnya perkakas pemahaman sains dalam toolbox banyak pengurus NU membuat mereka kesulitan memahami betapa seriusnya isu lingkungan ini dan betapa akhirnya keputusan menerima atau menolak konsesi tambang untuk ormas akan mempertaruhkan hal paling penting dalam organisasi ini: yakni apakah NU sungguh-sungguh ingin memberi rahmat bagi alam semesta seperti yang sering digembar-gemborkan selama ini atau sekadar hendak mencari laba bagi kelompoknya saja dengan mengabaikan kerusakan yang lebih besar?

Secara lebih luas, latar belakanng pendidikan warga NU kultural sebenarnya sudah semakin beragam. Saya tahu banyak warga NU yang punya latar belakang pendidikan sains. Saya yakin sebenarnya cukup banyak orang NU yang paham isu lingkungan. Ada beberapa pakar semacam itu yang saya kenal secara pribadi seperti Bosman Batubara dan Roy Murtadho. Tapi mereka rata-rata tidak berada di lingkar sosial yang dapat memengaruhi keputusan NU struktural, terkhusus, PBNU.

Kerumitan sains terkait lingkungan ini sebelas-dua belas dengan teori evolusi atau ilmu kedokteran: rentan disalahpahami oleh orang yang cuma tahu permukaannya saja. Dianggap “alah cuma teori” lah, “masih debatable” lah, atau “sekadar rekaan barat untuk menghegemoni kita”. Fakta sains teramat sederhana semacam bumi ini bundar saja masih banyak yang “menggugat” apalagi sains yang lebih rumit seperti sains lingkungan.

Saya tidak hendak mengatakan ini bukti pendidikan sains kita gagal (walau jelas tidak bisa dibilang berhasil juga), karena di berbagai belahan dunia lain termasuk yang sistem pendidikannya lebih bagus, kelompok-kelompok anti sains semacam ini juga makin menguat.

Baca juga: Polemik Pemberian Izin Tambang, Ketua Umum PBNU: Memanfaatkan Batu Bara itu Tidak Otomatis Haram

Pada dasarnya manusia memang lebih suka berpikir gampang-gampang saja. Banyak yang malas kalau harus baca buku tebal-tebal, mencerna penjelasan panjang-panjang. Kalau bisa update info lewat video tiktok 30 detik, ngapain harus baca artikel 15 menit? Attention span kita tidak terlatih untuk semakin memanjang gara-gara konten sosmed yang pendek-pendek lebih banyak dikonsumsi. Membaca buku sampai tamat akhir-akhir ini adalah sebuah kemewahan, bahkan bagi saya.

Di buku “Uninhabitable Earth” karya David Wallace-Wells misalnya ditulis bahwa dampak perubahan iklim itu bukan cuma air laut naik sekian cm atau suhu bumi naik sekian derajat. Ada efek-efek tak langsung pula. Misalnya, tiap kenaikan suhu 1 derajat celcius meningkatkan 10% risiko kegagalan panen. Yang punya keluarga petani mungkin tahu bahwa kejadian gagal panen semakin sering akhir-akhir ini.

Ya itu gara-gara perubahan iklim. Banjir di berbagai area di jawa termasuk Demak kemarin? Ya makin parah karena perubahan iklim! Anda mengira heatwave cuma bikin orang-orang bergelimpangan mati di luar negeri? Keliru! Mereka yang meninggal karena berbagai penyakit misalnya gagal ginjal bisa jadi sebenarnya dipicu hawa bumi yang semakin panas membuat orang lebih mudah dehidrasi, terutama orang-orang yang kerjanya lebih banyak di luar ruang seperti para petani. Korban-korbannya memang bukan orang kantoran atau intelektual yang bisa nyaman mengetik di ruang ber-ac.

Jadi ketika kurangnya ilmu dan penguasaan soal isu lingkungan ini bertemu ketidakmampuan berempati pada kaum mustad’afin yang sejatinya paling terdampak perubahan iklim, lantas dikombinasi dengan bayangan bakal mengeruk keuntungan besar, wajarlah bila yang muncul adalah motivated reasoning, penalaran atau argumentasi yang entah secara sadar atau tidak sadar dibengkokkan sedemikian rupa agar sesuai dengan motivasi atau kepentingan tertentu.

Baca juga: Polemik Konsensi Tambang Ormas Agama, Mengapa Orang Marah dengan Olok-olok Logo?

Lihat saja betapa argumentasi dari PBNU mengabaikan berbagai fakta sains terkait lingkungan. Lihat saja betapa segala kritik atau pandangan berbeda dicap sebagai kebencian, dipelintir menjadi manuver politik sisa pilpres, dan sebagainya.

Itu di level pemimpinnya. Di level akar rumput NU, ada keheningan yang sangat mencekam soal ini. Tidak ada penolakan masif. Atau minimal perdebatan dan kajian keilmuan yang semarak. Hanya ada rerasan lirih yang dengan mudah ditindas oleh ancaman dari atas: “Yang menolak tambang berarti ingin NU miskin”

Duh…

Kalau benar keputusan menerima konsesi ini diambil demi kebaikan organisasi, kemaslahatan umat, sehingga PBNU saat ini merasa sah-sah saja mengambil langkah yang bertentangan dengan rekomendasi Muktamar NU di Lampung soal tambang batu bara, PBNU wajib membuat kajian setara bahtsul masail tingkat nasional untuk membahas isu ini. Tentu bukan sekadar melibatkan ahli fikih dengan latar belakang ilmu keagamaan tradisional, karena dalam isu ini kita perlu mendengarkan ulama (alias scholar) di bidang sains, terutama sains lingkungan. PBNU wajib mendengarkan dan mengajak bicara berbagai pihak terutama pakar yang mumpuni dalam bidang keilmuan terkait. Bukan hanya “ulama” praktisi tambang yang punya usaha tambang dan akan sangat diuntungkan dengan konsesi tersebut.

Mohon disadari bahwa suara kritis dan para pengkritik tidak selalu berlandaskan pada kebencian. Rasa cinta dan kepedulian yang besar kepada organisasi inilah yang sejatinya mendorong orang-orang seperti kami terus bersuara meski tidak “direstui” PBNU dan dituduh macam-macam.

Lagipula, bukankah kita umat Islam sudah diperingatkan bahwa ketika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, hanya tinggal menunggu waktu maka kehancuran pasti akan datang?

Semoga kita dilindungi dari hal-hal semacam itu.