Pasca Rudal Hamas: Perang atau Damai?

Pasca Rudal Hamas: Perang atau Damai?

Israel-Hamas telah menyepakati gencatan senjata. Tapi apakah ini akan berlangsung lama?

Pasca Rudal Hamas: Perang atau Damai?
Warga Palestina mengibarkan bendera di protes di Gaza. Foto ini diambil tahun 2012 lalu. (AP Photo/Majdi Mohammed)

Mediasi Mesir menghasilkan gencatan senjata yang mulai berlaku pada 21 Mei pk 02 waktu setempat atau pk 5 pagi WIB. Israel menghentikan serangan udara dan darat, Hamas juga menghentikan serangan rudal. Syarat lain yg diajukan Hamas adalah Israel harus menghentikan perburuan terhadap Komandan Brigade Izzud Dien Al Qassim, Mohammad Diaf, sedangkan Israel meminta Hamas menghentikan pembangunan terowongan bawah tanah ke wilayah Israel.

Minggu ini AS mengirim Menlu Anthony Blinken untuk berunding dengan Israel, Mesir dan Otoritas Palestina. Bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza menjadi agenda utama. AS seperti halnya Israel tidak mengakui Hamas sehingga tidak akan berunding secara langsung dengan Hamas. Sejumlah negara Barat juga mengisyaratkan memberikan bantuan kemanusiaan kepada Gaza. Mesir bahkan menyatakan akan membantu US $ 500 juta dan telah mengirimkan 130 truk bantuan kebutuhan pokok ke Gaza. Israel juga membuka akses Beit Hanoun ke Gaza untuk bantuan medis. Demikian juga Arab Saudi telah memberikan komitmen untuk membantu rekonstruksi Gaza.

Otoritas Palestina yang terbentuk sejak 1993 menguasai dua wilayah yang terpisah, yaitu Tepi Barat termasuk Yerusalem Timur yang berpenduduk 2,6 juta (termasuk 500 rb pemukim Yahudi) dan Gaza dengan penduduk 2 juta. Tepi Barat mayoritas pendukung Al-Fatah, sementara sejak 2006 warga Gaza mendukung Hamas dan mengambil sikap konfrontatif (militer).

Dilihat dari keseluruhan permasalahan, konflik Palestina-Israel yang melibatkan kepentingan global dan regional, gencatan senjata tersebut bersifat “RAPUH”. Ada beberapa persoalan mendasar yang menjadi kendala perdamaian khususnya ada beberapa opsi solusi yg bertolak belakang.

Pertama (1) Hamas yang mendapat dukungan Iran dan Syria menghendaki solusi satu negara yang bermakna penduduk Yahudi harus keluar dari wilayah Palestina, suatu hal yang tidak realistis.

Kedua (2), umumnya negara di dunia termasuk Indonesia mendukung solusi dua negara sesuai Perjanjian Oslo 1993 dan selaras dengan resolusi DK PBB no 242 dan 338, yaitu adanya negara Israel dan Palestina.

Ketiga (3), opsi kedua ini dikacaukan oleh Trump ketika berkuasa, di mana ia (US) mendukung ibukota Israel pindah ke Yerusalem Timur. Kebijakan AS tersebut menguntungkan PM Benjamin Netanyahu yang memang berhaluan keras. Hal inilah yang menjadi pangkal terjadinya kerusuhan di Yerusalem Timur (Masjid Al Aqsha dan Sheikh Jarah) yang kemudian menimbulkan kerusuhan di Tepi Barat dan perang sebelas hari.

Keempat (4), Partai Likud yang berhaluan keras di bawah pimpinan PM Netanyahu dalam dua tahun ini merosot pengaruhnya. Dalam periode tersebut sudah melangsungkan empat kali pemilu dan dalam pemilu terakhir Maret 2021 hanya meraih 30 kursi Knesset/parlemen dari 120 kursi. Sejak dua bulan lalu Netanyahu gagal membentuk kabinet dan mengharapkan dukungan dari dua partai Arab yaitu Partai Ra’am (Tunas) yang dipimpin Mansur Abbas (4 kursi dpr) dan Partai Qoimah Mustarakah/Joint List yang dipimpin Ayman Odeh (8 kursi knesset). Selama Partai Likud tetap memegang kendali pemerintahan, rasanya sulit tercapai suatu perdamaian.

Joe Biden sejak menjabat presiden telah mencabut policy Trump “Abraham Accord” dan menegaskan akan melanjutkan kebijakan Opsi dua negara. Artinya perundingan damai yang mengacu Perjanjian Oslo berpeluang dihidupkan kembali. Tetapi masalahnya Hamas yang menguasai Gaza sejak 2006 menolak Perjanjian Oslo.

Di luar empat persoalan tadi, faktor negara-negara Timur Tengah memengaruhi. Iran membantu Hamas dengan rudal canggih demi kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Sementara Syria mendukung sikap Hamas karena wilayahnya, dataran tinggi Golan yang direbut Israel pada perang 1967 dan 1973 tidak pernah menjadi agenda perundingan. Dalam hal ini Syria merasa ditinggalkan oleh negara-negara Arab moderat sehingga berpaling ke Iran.

Tanpa penyelesaian masalah Golan, Syria akan menjadi faktor penghalang setiap upaya perdamaian komprehensif. Sikap Syria ini akan selalu didukung oleh Iran karena Iran berkepentingan untuk memainkan kartu Hizbullah (Libanon) dan Hamas dalam rangka persaingannya dengan Arab Saudi dan permusuhannya terhadap Amerika Serikat.

Namun kemungkinan perundingan Israel-Palestina tetap terbuka atas dasar realitas sbb:

1. Sudah sejak 1979 Iran terisolasi dari pergaulan internasional dan rezim yang berkuasa sekarang ini berpandangan relatif moderat. Kondisi isolasi tersebut menimbulkan persoalan politik dan ekonomi yang latent sejak 1979 serta menyulitkan setiap rezim yang berkuasa.

2. Israel menduduki dataran tinggi Golan utara sejak 1973 meliputi Mas’ada, Majdal Syam, Ein Qiniye serta perbatasan dengan Quneitra, Syria. Selama hampir 50 tahun, suku Arab Druze yang mendiami kawasan itu menolak kewarganegaan Israel, kecuali hanya sepuluh persen dan selebihnya tetap memegang pasport Syria. Wilayah tersebut bisa dirundingkan kembali untuk menarik Syria dalam jalur perdamaian. Jika hal itu terjadi, Israel masih menguasai dataran tinggi Golan selatan dan tengah yang direbut dari Syria dalam perang 1967 yang saat ini mayoritas dihuni warga Yahudi.

3. Sesuai dengan pandangan Indonesia, saatnya Palestina sebagai bagian Asia-Afrika memperoleh kemerdekaan penuh sebagai negara berdaulat, seperti negara-negara lain yg pernah mengalami penjajahan sesuai deklarasi HAM PBB.

4. Mayoritas negara muslim mendukung otoritas Palestina dan hanya sebagian kecil yang mendukung Hamas. Dukungan terhadap Otoritas Palestina bermakna “jaminan keamanan bagi eksistensi Israel” dari gangguan negara sekelilingnya, suatu faktor yang selama ini menjadi tuntutan dan kepentingan vital Israel. []

 

*) As’as Said Ali; mantan Waketum PBNU dan Waka BIN