Dzulhijjah dalam realita keagamaan masyarakat muslim nusantara khususnya memiliki tradisi rutin turun temurun bahkan mengandung nilai ibadah. Tradisi qurban yang memiliki akar sejarah kuat (QS. al-Shaffat: 102) tidak sebatas tradisi yang kering dari nilai dan tujuan. Qurban, menurut M. Quraish Shihab (2008: 38-40) adalah ajaran agama tertua yang masing berlangsung hingga sekarang.
Penjelasan tentang qurban selama ini berputar pada peristiwa besar yang dialami Nabi Ibrahim. Dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim ketika mendapatkan kabar gembira dari malaikat bahwa beliau akan di karuniai seorang anak, beliau, karena rasa bahagia dan cinta yang dalam kepada Allah, beliau bernadzar menyembelihnya dengan niat murni karena Allah (al-Thabari: 2001, vol. 19, 580).
Dalam kesempatan ini, penulis akan fokus untuk membicarakan qurban dalam perspektif lain, yakni perintah qurban yang di amanahkan kepada Nabi Muhammad dan umat-umatnya. Dengan menyadari bahwa setiap ajaran yang Allah turunkan tidak mungkin kering dari nilai dan tujuan, tulisan ini di buat untuk menggali nilai-nilai yang tersembunyi dengan menfokuskan pembahasan pada QS. al-Kautsar.
Al-Kautsar adalah surat yang paling pendek dari surat-surat yang ada di dalam al-Qur’an. Al-Kautsar sebagai surat Makiyyah (di turunkan di kota Makkah), lebih condong untuk berbicara tentang pemberdayaan nilai, baik sosial maupun spiritual-individual. Untuk itu, perintah qurban yang tertuang dalam QS. al-Kautsar tidak sebatas perintah. Lebih dari itu adalah otokritik terhadap sikap beragama sebagian umat islam pada waktu itu yang telah sedikit banyak tercerabut dari nilai dan tujuannya.
Kata “al-Kautsar” di kalangan ulama terjadi perselisihan arti. Dalam mengkaji kitab-kitab tafsir, penulis lebih menyetujui makna al-Kautsar sebagai kebaikan yang agung. Arti ini menurut penulis lebih bisa untuk mengakomodir dari beberapa arti yang di ungkapkan oleh para ulama dengan pengertian yang beragam.
Perintah berqurban menurut sebagian ulama di pahami dari QS. Al-Kautsar ayat 2 (al-Baghawi: 2002, 1439). Dalam surat tersebut, perintah shalat dan qurban adalah wujud syukur atas anugrah agung yang telah Allah berikan kepada Nabi Muhammad, yakni al-Kautsar (Ibn Asyur: 2008, vol. 2, 539). Mengingat ini adalah bentuk terimakasih, maka sudah sepatutnya tujuan dan niat dari ritual itu tidak lain hanyalah karena Allah sebagai dzat yang telah memberi anugrah tersebut.
Muhammad Musthafa al-Qaujawi (1991: vol. 8, 701) menyebutkan bahwa surat al-Kautsar sebenarnya memiliki relasi dengan surat sebelumnya, al-Ma’un. Pada surat al-Ma’un di jelaskam beberapa sifat-sifat para pendusta agama. Diamtaranya adalah mencerca anak yatim, tidak mau berbagi dengan orang-orang miskin, yang lupa atas sholatnya, yang riya’ dalam ibadah. Sementara itu, dalam al-Kautsar terdapat perintah shalat dan qurban dengan tujuan hanya untuk Allah (al-Tsa’labi: 2004, Vol. 6, 565).
Dari sini, diantara pesan yang terpendam dari QS. al-Kautsar dengan gambaran yang telah di paparkan di atas adalah: ibadah, baik yang bersifat sosial seperti qurban maupun spiritual-individual seperti shalat, haruslah didasarkan pada keralaan untuk mencari ridho-Nya. Disamping itu, tidak hanya berhenti dalam ibadah ritual-individual melainkan dilanjutkan dengan ibadah-ibadah sosial. Bukankah dalam QS. al-Kautsar setelah perintah shalat di lanjutkan dengan perintah berqurban? Wallahhu a’lam.
A. Ade Pradiansyah, penulis adalah penikmat kajian tafsir.