
Setiap kamis selama Ramadhan, Islami.co akan menghadirkan kajian tasawuf yang disampaikan Menteri Agama Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar. Materi kajian ini diambil dan diolah dari video pengajian rutin tasawuf di Masjid Sunda Kelapa. Program Ngaji Tasawuf Bareng Menteri Agama kali ini akan membicarakan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses pendakian spritual, salah satunya rendah hati.
*****
Idealnya, orang yang melakukan perjalanan mesti memiliki peta jalan, baik itu perjalanan fisik ataupun perjalanan spritual. Sekarang peta jalan makin canggih, seperti adanya GPS (Global Positioning System). Kalau mau melakukan perjalanan, tinggal buka GPS, kita akan diarahkan secara otomatis. Bahkan, kalau salah jalan, kita diberi tahu oleh notifikasinya. Namun bagaimana dengan jalan spritual kita? Apakah sudah ada peta jalannya? Apakah sudah memiliki Gps-nya?
Sebelum menjelaskan peta jalan spritual, saya ingin menyatakan bahwa perjalanan spritual, atau yang dikenal dengan istilah suluk, merupakan sistem atau metode untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Umumnya, jalan spritual yang dipilih oleh para salikin dalam mendekatkan diri kepada Allah tidaklah mudah. Seorang salikin mesti membulatkan tekad dan niat untuk mewakafkan hidupnya untuk menjadi salik. Niat harus benar-benar kuat. Tidak bisa main-main atau hanya sekedar coba-coba.
Memang tidak semua salik berhasil. Biasanya yang berhasil adalah orang yang mendapatkan hidayah dari Allah SWT. Tidak usah jauh-jauh, kurang apa dakwah Nabi? Tapi paman beliau sendiri, Abu Jahal dan Abu Thalib, tidak mau terpanggil hatinya sampai akhir hayatnya. Orang yang bertemu dengan Nabi secara langsung belum tentu terpanggil hatinya, apalagi kita yang jauh dari beliau, tidak pernah melihatnya secara langsung.
Perlu diketahui, praktisi suluk tidak mesti meninggalkan rutinitas kehidupan dunia. Tidak sedikit orang berhasil menjalani kehidupan suluk, tetapi mereka sendiri masih tetap menjadi dirinya sendiri, maksudnya ia masih melakukan aktifitas sehari-hari. Sekilas tidak ada yang berubah dari aktivitasnya, tetapi yang berubah drastis adalah hatinya. Mereka tetap melakoni profesi hariannya, seperti pebisnis, pejabat, seniman, dan pekerjaan lainnya. Yang paling penting itu adalah perubahan suasana batin.
Nabi Muhammad misalnya, bukankah beliau juga seorang sufi? Tetapi ia tiap hari masih melayani masyarakat. Dijelaskan dalam sejarah, menjelang Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, ia beberapa kali naik-turun gua Hira. Setelah beberapa kali, baru turun wahyu pertama. Setelah wahyu pertama turun, Nabi Muhammad tidak perlu lagi ke gua hira untuk mendapatkan wahyu atau untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Artinya, kalau sudah sampai pada level spritual tertentu, Nabi tidak perlu lagi pergi ke gua Hira, karena gua Hira itu sudah ada pada batinnya Nabi Muhammad. Ke mana pun beliau pergi, hatinya selalu terikat kepada Allah SWT. Beliau melakukan aktivitas apapun, hatinya selalu ingat Allah. Orang seperti Nabi Muhammad mampu untuk membagi fokusnya dalam satu waktu. Secara lahiriah beliau terlihat berkomunikasi dengan manusia, tetapi hatinya sedang berinteraksi dengan Allah SWT.
Inilah yang disebut dengan hablum minallah wa hablum minannas: mengingat kepada Allah dan pada saat bersamaan juga berkomunikasi dengan makhluk-Nya. Sebagian kita mungkin masih susah melakukan ini: kalau kita hablum minalllah, hablum minnassas-nya kadang putus. Kendati demikian, kita perlu melatih diri kita agar sesuai dengan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Rendah Hati dalam Pendakian Spritual
Seorang salik, atau orang yang melakukan pendakian spritual, harus menyadari pertama kali bahwa ia adalah manusia yang lemah. Karena itu, ia mesti mencari pemimbing atau mursyid yang mampu untuk mengarahkannya agar mencapai tujuan yang baik.
Saya sering mengatakan, bila ada orang yang merasa dirinya penuh dosa, semisal mengatakan, “Saya ini bukan ustadz. Kualitas spritual saya jauh dari mereka. Jangankan Nabi atau sahabat, dibanding dengan ustadz saja masih jauh, sebab penuh berlumuran dosa.” Pernyataan semacam ini sebetulnya bentuk dari kerendah-hatian, menyadari bahwa kita adalah manusia lemah dan penuh dosa, dan bisa dikatakan pengakuan seperti ini sebagai pintu masuk untuk menempuh anak tangga pertama perjalanan spritual.
Selain itu, perasaan merendahkan diri atau mengakui kelemahan diri merupakan isyarat bahwa Allah SWT membukakan jalan kepada yang bersangkutan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Walaupun kita banyak dosa, kita mesti yakin kalau Tuhan adalah Maha Pengampun. Pengampunan Tuhan tidak perlu menunggu puluhan tahun. Sekalipun kita sudah melakukan dosa salama puluhan tahun, tapi dalam sekejap Allah mampu mengampuni semua dosa yang kita lakukan bertahun-tahun itu.
Jangan menuduh Tuhan seolah-olah tidak akan mengampuni dosa hamba-Nya. Kita harus berbaik sangka kepada Allah yang sudah mengenalkan dirinya berulang-ulang dengan kalimat Aaik sangka kepada allah yang memperkenalkan dirinya berulang-ulang, Bismillahirrahmanirrahim, dengan nama Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang. “Ah bukan untuk saya ampunan Tuhan” jika kita seperti itu, Tuhan akan marah. Bahkan Nabi mengatakan “Sesungguhnya Allah itu berada pada kecenderungan hati, keputusan hati orang.”
Kalau kita mengatakan, “Insyaallah Tuhan mengampuni aku, aku sekarang bersih”, bersih betul yang bersangkutan, dibersihkan oleh Allah. Nabi memerintahkan kita untuk menumbuhkan prasangka baik dan berpikir positif tentang Allah SWT, dengan demikian Allah akan memihak di situ. Kalau kita negatif thinking melulu terhadap Tuhan, negatif thinking juga Tuhan terhadap kita.
Kemudian, seorang salik tidak dituntut memiliki kecerdasan logika. Tidak mesti lulus jenjang pendidikan sarjana, magister, doktoral. Yang dibutuhkan dalam perjalanan spritual ialah ketulusan hati dan kepasrahan total kepada Allah SWT. Tidak harus cerdas, tidak mesti terkenal, dan tidak harus menjadi Profesor untuk menuju Allah SWT.
Seperti kisah Nabi Khidir, penampilannya tidak meyakinkan, tetangganya pun tidak tahu. Alangkah kagetnya penduduk kampung ketika ada orang nomor satu di negeri mereka datang untuk belajar kepada Nabi Khidir. Melihat hal itu, tetangganya mengatakan, “Sekian puluh tahun kita bertetangga, tidak tahu kalau ia orang hebat.” Orang yang hebat tidak pernah memamerkan kehebatan dirinya. Kalau ada orang yang berlaku seperti itu, sesungguhnya ia tidak hebat di mata Allah SWT. Berhati-hatilah terhadap orang yang tidak dikenal. Bisa jadi di bumi biasanya, tidak ada yang kenal, tetapi ia terkenal di langit.
Salikin dituntut untuk memiliki kesabaran dan istiqamah yang tinggi. Kunci utamanya adalah konsisten. Karena itu, kita jangan berhenti dzikir, hanya lantaran jiwa kita merasa tidak mood kepada Allah SWT, atau berada dalam suasana batin yang kacau. Justru dalam keadaan seperti itu, kita perlu ambil tasbih untuk berdzikir, membaca al-Qur’an, dan melakukan ibadah lainnya. Kalau kita merasa jauh dengan Allah SWT, jangan hindari dzikir, tasbih, dan al-Qur’an.
Seorang salik tidak peduli perasaannya apakah sedang mood atau tidak. Yang penting istiqamah, fokus menyelesaikan dzikir, baca al-Qur’an, dan ibadah-ibadah lainnya. Seorang salik juga harus mengondisikan suasa hati untuk bersedia menjalani pilihan hidup sebagai seorang yang sedang melakukan pendakian spritual dan segala konsekuensinya. Ia mesti mengusahakan agar pikirannya tidak berubah dan bercabang di tengah jalan yang pada gilirannya dapat membuat mereka gagal mencapai tujuan akhir.
Pada umumnya, orang gagal menuju Allah karena pikirannya bercabang. Semuanya serba tanggung: ia mau menghadap Tuhan, tapi juga pergi ke dukun. Ia tidak punya pendirian. Seorang salikin mesti lurus.
Penting ditegaskan, Salikin dalam melakukan perjalanan spritual perlu memperhatikan keberlangsungan kehidupan keluarga dan pemenuhan kehidupan mereka. Jangan kita meninggalkan keluarga, tidak bertanggung-jawab terhadap mereka, dengan alasan perjalanan spritual.
Sebagian orang pergi ke mana-mana, tanpa peduli kehidupan keluarganya: anak dan istrinya makan apa? Memang ada yang menempuh jalan seperti itu, tapi kita tidak perlu juga menghakimi dan memarahi mereka. Seperti mengatakan, “Hai, kamu ngapain, datang jauh-jauh ke sini, malah ngotorin masjid, masak di masjid, keluargamu makan apa?”
Tidak semua orang seperti itu saat khuruj. Ada juga yang saya kenal, ketika mereka melakukan perjalanan itu, mereka tidak melupakan kewajiban terhadap keluarga. Kita tidak boleh pukul rata, semua khuruj itu bagus ataupun sebaliknya, semuanya jelek. Perlu adil dalam pikiran untuk melihat khuruj. Saya pernah menemukan beberapa kasus, mahasiswa yang terlantar kuliahnya ketika khuruj. Bahkan ada yang dibiayai secara khusus, dikader untuk menjadi ilmuan dan akademisi, tetapi karena khuruj, kuliahnya tidak selesai.