Suatu kali, Nabi Muhammad pernah menyatakan di depan para Sahabatnya bahwa seandainya putrinya, Fatimah, mencuri, pasti dia akan memotong tangannya sesuai dengan hukum yang berlaku saat itu. Pernyataan yang sangat pede ini tentu saja sangat berisiko. Fatimah adalah putri tercintanya.
Sebegitu cintanya sanga Rasul kepada putrinya, sampai Ali, sang menantu, dilarangnya untuk menduakan cinta Fatimah, sekalipun banyak Sahabat Nabi yang beristri lebih dari satu. Ali yang sejak kecil diasuh sendiri oleh Nabi, tahu persis bagaimana cintanya Nabi kepada Fatimah, sehingga dia tidak pernah menikah lagi sampai Fatimah menemui ajalnya, tak lama setelah Nabi wafat.
Sekalipun cinta Nabi kepada Fatimah sebegitu dalam, toh dia tetap membuat sikap tegas. Saya katakan sikap tegas ini berisiko karena Fatimah, sekalipun putri seorang nabi, tapi tetap saja manusia biasa yang tidak terjamin ke-ma’suman-nya. Karena itu, ada kemungkinan Fatimah melakukan kesalahan, termasuk kemungkinan melakukan pencurian.
Tentu saja, sebagaimana yang kita tahu pasti dari sejarah Islam, Nabi tidak pernah memotong tangan Fatimah, karena memang putri terkasihnya itu tidak pernah melakukan pencurian. Tapi, mari kita bayangkan, seandainya Fatimah mencuri, apakah Nabi akan memotong tangan putrinya ataukah akan berkilah sedemikian rupa untuk menyelamatkan putrinya?
Seandainya Fatimah mencuri dan Nabi berkilah sedemikian rupa untuk menghindarkan Fatimah dari hukuman (mungkin berdalih atas nama wahyu Tuhan atau hukum khusus yang berlaku untuk Nabi dan keluarganya atau untuk menjaga kredibilitas kepemimpinannya atau apa saja), bisa jadi para Sahabat akan memaklumi dan menerimanya. Tetapi, mungkinkah Nabi akan melakukan itu? Sekalipun ini hanyalah pertanyaan pengandaian, namun saya yakin seribu persen Nabi tidak akan berbuat curang seperti itu.
Al-amien adalah gelar yang yang telah dianugerahkan publik kepadanya sejak remaja. Masyarakat Mekkah menggelarinya al-amien karena kejujuran dan konsistensinya antara lisan dan tindakannya. Gelar ini melekat dalam dirinya hingga wafatnya. Di samping itu, salah satu sifat yang melekat pada diri seorang Nabi adalah sifat amanah. Amanah merujuk pada kualifikasi kepribadian seseorang yang memiliki persesuaian antara perkataan dan kelakuan. Karena itu, amanah juga diartikan sebagai “dapat dipercaya” karena tidak ada selisih antara apa yang dinyatakannya dengan apa yang ditindakkannya.
Saat ini, ketika kita sedang berikhtiar mencari seorang pemimpin yang amanah, marilah kita merefleksi secara jujur situasi yang ada di sekeliling kita. Di era di mana setiap orang berhak menjajakan dirinya untuk menjadi seorang pemimpin, seringkali yang kita temui adalah orang-orang dengan mulut semanis madu. Bahkan, tukang garong kekayaan negara pun bisa bergaya di depan masyarakat seakan dia adalah juru selamat yang diturunkan Tuhan sebagai penyelamat rakyat. Orang yang bertahun-tahun mengemplang pajak tiba-tiba tampil di depan khalayak layaknya dermawan yang penuh perhatian. Ada juga orang korup yang berlagak seperti manusia suci dengan cara membungkus kepalanya dengan peci.
Dalam situasi seperti ini, kejernihan berpikir dan kejujuran menilai diri sendiri dan orang lain menjadi kunci penting agar kita tidak tertipu para penipu yang bermulut semanis tebu. Jika kita sungguh-sungguh ingin mencari pemimpin yang amanah, marilah lihat konsistensi antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan.
Jika ada orang yang ketika berkuasa menguras kekayaan negara untuk memperkaya diri dan keluarganya, menyelewengkan kewenangan yang diamanahkan kepadanya, kemudian saat ketika dia menginginkan kekuasaan berbusa-berbusa menyuarakan kebersihan pemerintah dan kesejahteraan rakyat, apakah Anda percaya bahwa dia seorang pemimpin yang amanah?
Jika ada orang yang keras sekali menyuarakan antikorupsi tapi marah dan tidak terima saat keluarga dan kelompoknya diciduk aparat dengan tuduhan korupsi, masihkah Anda mempercayainya sebagai seorang pemimpin yang amanah?
Jika ada orang yang berteriak menyoal pratik politik nepotis dan dinastik, tapi dia sendiri melakukannya ketika sedang memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menentukan posisi dan jabatan seseorang, sanggupkah Anda tetap membuta dengan tetap memujanya sebagai seorang pemimpin yang amanah?
Jika ada orang yang selama ini lantang menyerukan penghentian praktik kolutif dalam pengelolaan negara tapi saat punya kepentingan untuk meraih kekuasaan dia tanpa malu bersekutu dengan dengan para pelaku kolusi itu, maukah Anda tertipu dengan mulut manisnya?
Bersikap amanah memang bukan perkara mudah. Namun setidaknya mari kita terus mendidik diri sendiri agar kita bisa berlaku konsisten antara apa yang kita nyatakan dan apa yang kita tindakkan. Semoga, ini bisa menjadi cara kita meneladani sang Nabi junjungan kita, teladan pemimpin amanah.[]