Sore itu, masjid alun-alun kota Bandung lebih ramai dari biasanya karena datangnya seorang ustadz ternama. Ratusan orang, dari tua sampai muda terlihat memadati kawasan di pusat kota tersebut. Saya yang kesini karena ajakan kawan pun dibuat tercengang oleh lautan manusia yang membanjiri ikon kota kembang ini. Bahkan saking padatnya, saya yang datang kurang awal harus puas duduk di pojokan lapangan bersama para ibu yang tidak dapat tempat di dalam masjid. Untunglah tidak lama setelah saya datang, ceramah langsung dimulai.
Di antara antusiasme jamaah dan semangat menggebu sang ustadz dalam menyampaikan nasihat, tampak wara-wiri penjaja keliling yang menawarkan air mineral hingga sosis bakar. Tentu, hal ini menyenangkan bagi jamaah yang dilanda lapar dan haus di tengah-tengah acara karena kami tak perlu repot-repot keluar dan berdesak-desakkan dengan yang lain. Sayangnya usai kajian akbar selesai, sampah sisa makanan dan minuman ditinggalkan jamaah begitu saja. Padahal di tempat tersebut, panitia sudah menyediakan tempat sampah dan plastik hitam ukuran besar. Beberapa orang relawan bahkan berkali-kali memperingatkan untuk membantu menjaga kebersihan lingkungan masjid.
Sayangnya, hasilnya nihil. Gerombolan panitia tetap saja dihiraukan. Ujung-ujungnya para relawan harus bekerja keras untuk membersihkan pelataran masjid yang menjadi kumuh usai gelaran pengajian. Sedihnya lagi, kebiasaan buruk ini tidak memandang usia. Bahkan ada seorang anak yang bertanya dimana tong sampah pada orangtuanya, malah justru disarankan untuk digeletakkan begitu saja. Duh… miris rasanya.
Bukan hanya di acara kajian saja yang agak susah untuk mengontrol perilaku umat, pasca sholat idul adha/idul fitri, kejadian yang sama kerap terjadi. Koran-koran alas seringkali dibiarkan berserakan setelah sholat dilaksanakan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kebersihan sepertinya masih sebatas retorika, yang kemudian menimbulkan pertanyaan di benak saya: “Begitu sulitkah membuang sampah di tempatnya?”
Sebenarnya bukan masalah susah atau gampang, tapi seringkali memandang bahwa tugas merawat dan menjaga kebersihan lingkungan hanyalah tugas cleaning service, bukan tanggung jawab pribadi. Bahkan sebagian orang berdalih bahwa kalau mereka membuang sampah dengan tertib, nanti petugas kebersihan bekerja apa?
Pemikiran yang saya pikir terlalu sempit bagi umat muslim yang dianjurkan untuk meringankan dan memudahkan pekerjaan orang lain. Tanpa sampah yang kita seringkali buang secara sembarangan, tugas cleaning service sudah cukup berat. Di kantor saya sendiri, gaji mereka yang tidak seberapa harus dipotong uang jasa untuk perusahaan dan sebagainya. Tak heran, kesejahteraan petugas kebersihan masih di bawah rata-rata. Bandingkan dengan negara maju, yang gajinya sudah sangat layak untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Tentu, melihat kondisi seperti ini, tidak sepantasnya kita masih memelihara ‘watak majikan’ yang seenaknya melakukan apa yang kita mau, termasuk sembarangan membuang sampah karena nanti akan ada orang lain yang membereskan asal kita sudah bayar.
Kesadaran umat yang masih rendah dalam menjaga lingkungan memang sudah bukan berita baru. Saya seringkali dicurhati oleh tamu asing yang mengeluhkan kotornya trotoar yang mereka lewati atau tempat wisata yang mereka kunjungi. Padahal menurut mereka, jika kebersihan lingkungan lebih diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat, Indonesia berpotensi mengundang lebih banyak wisatawan untuk datang kemari. Bahkan saking herannya mereka, mereka sempat menanyakan kenapa kalau umat muslim di Indonesia mau repot-repot wudhu atau mandi sebelum sholat jumat, tapi hal yang sepele seperti tidak membuang sampah sembarangan kok susahnya bukan main. Mendengar curhatan mereka, saya hanya bisa tersenyum kecut karena malu bukan kepalang.
Di skala yang lebih besar, kebiasaan buruk membuang sampah di sungai atau di selokan berimbas langsung pada kerapnya bencana banjir yang melanda di lingkungan sekitar kita. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB hingga awal April 2018 menunjukkan bahwa 159.611 jiwa harus mengungsi akibat tragedi ini. Jumlah tersebut belum termasuk kerugian finansial dan materi yang harus ditanggung oleh para korban dan pemerintah daerah setempat. Sayangnya, bencana banjir yang sering melanda di seluruh pelosok tanah air tidak pernah dijadikan alat ukur intropeksi diri.
Ungkapan an-nazhaafathu minal iimaan atau kebersihan adalah sebagian dari iman hanya mentok di dinding saja tanpa ada upaya untuk mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Padahal bencana banjir dapat dijadikan alarm peringatan bahwa kebiasaan menjaga kebersihan bukan hanya tanggungjawab petugas kebersihan semata. Toh, korban banjir sendiri tidak pandang bulu, miskin atau kaya, semua merasakan dampaknya.
Oleh karena itu, perlu kiranya kita mengubah mindset amal ibadah bukan hanya sebatas ritual sholat, puasa, dan mengaji, tetapi juga memperluasnya ke ranah kebersihan lingkungan dan kelangsungan ekosistem. Meminjam jargon pesantren Darut Tauhiid terkait kebersihan yang disingkat TSP: Tahan dari buang sampah sembarangan, Simpan sampah pada tempatnya, dan Pungut sampah Insya Allah sedekah, sudah saatnya kita juga ikut membudayakan bahwa menjaga kebersihan pun merupakan suatu jalan kebaikan.
Konsekuensi logisnya adalah hal ini mengandung maslahat besar bagi kehidupan umat, bukan hanya untuk jangka pendek saja, tapi juga jangka panjang. Kalau untuk masalah sederhana seperti sampah saja, kita masih belum becus, tidaklah heran bila bidang lainnya yang jauh lebih kompleks, seperti politik dan ekonomi, manajemennya pun masih carut marut.