Muslim Thailand Ingin Belajar Perdamaian dari Indonesia

Muslim Thailand Ingin Belajar Perdamaian dari Indonesia

Muslim Thailand Ingin Belajar Perdamaian dari Indonesia

Kamis Siang 15/9, Wahid Fundation kedatangan lima orang tamu dari Pattani, Thailand. Kelimanya merupakan akademisi beragama islam. Sebagian dari mereka pernah menempuh pendidikan di Indonesia, dan sebagaian lainnya di Malaysia.

Kedatangan mereka ke kantor Wahid Fundation di Jalan Taman Amir Hamzah, tak lain adalah untuk belajar cara WF megambil bagian untu menyemaikan perdamaian di antara banyaknya agama di Indonesia.

Mereka mengaku megenal nama WF sejak lama. WF di mata mereka merupakan sebuah lembaga yang memperjuangkan toleransi antara umat beragama. Atas dasar itulah, mereka mendatangi WF “bukan untuk studi banding, itu kurang tepat, melainkan untuk studi saja. Kami ingin studi, bagaimana peradaban antar agama di Indonesia. Wahid Foundation terkenal di mana-mana. Kami ingin studi tentang peradaban antar agama di Indonesia” kata, Abdul Hamid Ile, salah seorang rombongan yang berasan dari Pattani.

Sebagai latar belakang, Abdul Hamid menceritakan bahwa di kawasan Pattani, Thailand, telah terjadi perselisihan antara agama selama kurun waktu 13 tahun tahun terakhir.

Ketidakharmonisan komunikasi antara pemeluk agama untuk duduk bersama menyelesaikan sengketa antara keagamaan menjadikan masalah lintas agama tidak kunjung selesai.

Hal itu membuat ia dan teman-temannya berpikir untuk mengadopsi keberhasilan islam di Indonesia, dalam melestarikan perdamaian antara umat beragama.

Tentu saja Wahid Foundation senang menerima kunjungan tersebut. Ahmad Suaedy, yang merupakan salah satu pendiri lembaga menyambut gembira kehadiran mereka, sekaligus berterima kasih atas kunjungan ini.

Suaedy, dalam kesempatan itu menjelaskan profil singkat WF yang didirikan oleh KH Abdur Rahman Wahid, seorang tokoh yang terkenal karena toleransi keagamaannya. Ia, yang kerap dikenal dengan nama Gus Dur, lanjut Suaedy, merupakan cucu dari Kiai Hasyim Asy’arai, sang pendiri organisasai Islam terbesar di Indonesia yakni Nahdlatul Ulama.

Suaedy mejelaskan bahwa sedari awal didirikan, WF memfokuskan diri pada penyebaran paham Islam yang ramah dan damai. Dalam hal itu, lanjutnya, WF mengambil sejumlah langkah setrategis, di antaranya dengan menekuni bidang penelitian. “Wahid Foundation telah melakukan banyak penelitian terhadap kajian keislaman, tidak cuma Alquran dan hadist, namun juga sampai kitab klasik seperti karya Al-Ghozali, Imam Syafii dst. Tidak berhenti di situ, WF juga mengkaji kitab kajian keislaman baru termasuk juga pemikiran-pemikiran terbaru,” ujarnya.

Sembari itu, WF setiap tahunnya melakukan penelitian di bidang kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hal itu dilakoni melalui kerja sama dengan lembaga survey terkemuka di tanah air. Hasil dari itu, setiap tahunnya dipublikasikan secara luas melalui jaringan media WF.

Mendapat penjelasan tersebut, Dr Lukman, salah sorang ketua jurusan Prodi Islamic Studies di salah satu perguruan tiggi di Pattani, Thailand menanyakan cara WF merespon kekerasan mengatasnamakan agama di Indonesia.

Pertanyaan itu mendapat tanggapan lanjutan dari Suaedy. Sebelum melemparkan vonis, kata anggota Ombudsman Indonesia ini, WF membedakan antara paham dan perilaku. Ia melanjutkan, jika perilaku yang terjadi adalah pemahaman maka WF akan menghormatinya. Ia menyontohkan, seseorang yang memiliki pemikiran untuk mendirikan negara islam bukan menjadi konsentrasi bagi WF. “Namun jika sudah melakukan kekerasan terhadap mereka yang tidak setuju pada idenya, maka itu menjadi perhatian kami.

Kita akan memfasilitasi mereka untuk melakukan diskusi dan perdebatan, baik oral maupun tulisan,” ujarnya.

Mengenai aksi pandagan terhadap aksi demontrasi yang juga bernuansa religious, WF, kata Suaedy, tak gegabah dalam berkomentar. WF, pada prinsipnya mendukung upaya demokrasi seperti mengungkapkan aspirasi politik. “Namun kami juga menyampaikan kepada pemerintah untuk membedakan dua hal: atara aspirasi dan provokasi yang mengatasnamakan agama. Pada prinsipnya begini, kami berada di tengah, tidak ingin menjadi salah satu dari dua kubu ekstrim tertentu” katanya lagi.

Anis Hamim, salah seorang staff senior di WF juga menambahkan, untuk menyelesaikan konflik antar agama, pemerintah memiliki sebuah lembaga bernama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang salah satu tugas utamanya adalah menjembatani komunikasi antara umat beragama di Indonesia. Walaupun terdapat banyak kekurangan hingga saat ini, kata Anis, keberadaan forum seperti FKUB ini sangat penting untuk berdiri di antara sejumlah agama yang hidup di sebuah negara.

Rupanya, hal inilah yang menjadi salah satu bahasan yang ditunggu Dr Lukman. Ia mengakui bahwa Thailand belum memiliki lembaga sejenis FKUB yang berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara agama di Tahiland. Menurutnya, konflik yang terjadi sepanjang kurun lima tahun terakhir menjadi bukti lemahnya sistem penyelesaian konfik lintas agama.

“Dulu awalnya mendirikan (masjid) bebas, karena kami juga ada pimpinan Islam seperti mufti atau syaikhul islam. Namun sejak lima tahun terakhir sering terjadi penolakan dari agama mayoritas untuk kami mendirikan masjid,” kata dia. Pada kesimpulannya, ia merasa perlu bagi pemerintah Thailand, untuk membuat lembaga serupa dan menngkatkan hubungan antara agama sebagaimana yang dilakukan di Indonesia.

Oleh: Ahmad Rozali