Mudik Spiritual: Sebuah Upaya Meninggalkan Kebencian

Mudik Spiritual: Sebuah Upaya Meninggalkan Kebencian

Mudik Spiritual: Sebuah Upaya Meninggalkan Kebencian

Ada yang mengatakan mudik berasal dari kata “udik”, yang berarti “kembali ke asal”. Mudik adalah tradisi tahunan masyarakat Indonesia di mana jutaan manusia berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya saat mendekati Hari Lebaran.

Dalam pengertian umum, kita bisa mengatakan bahwa mudik adalah perjalanan kerinduan kolektif. Mereka yang meninggalkan tempat asalnya, merasa perlu untuk kembali sekadar untuk mengobati kerinduan bersama saudara, kawan lama, atau tempat-tempat bersejarah dalam hidupnya.

Tradisi tahunan ini sudah berlangsung sangat lama. Jika menelisik sejarahnya, agaknya sulit untuk mengungkap siapa orang atau kelompok yang pertama kali menginisiasi migrasi nasional terbesar ini. Namun yang lebih penting dari itu, apakah tradisi mudik hanya terpaku pada pengertian sempit pulang ke kampung halaman semata?

Tidakkah kita merasa hanya menjadi robot pejalan tradisi yang pulang ke kampung, bertemu keluarga, tertawa bersama, makan-makan, lalu kembali ke tanah perantauan dan menjalankan aktivitas sehari-hari seperti tanpa terjadi apa-apa? Barangkali kita bisa mulai dengan memberi makna lebih dari perjalanan mudik ini.

Dalam salah satu esainya, Prof. Abdul Munir Mulkhan memaknai mudik sebagai etika kembalinya setiap manusia kepada kemanusiaannya yang autentik, penemuan ketuhanannya yang autentik, dan keberagaman yang benar-benar hidup dan aktual. Saya kira pemaknaan tersebut lebih relevan jika melihat banyak kekacauan yang terjadi di tahun ini.

Salah satu faktor terbentuknya tradisi mudik adalah adanya arus urbanisasi yang tak terbendung. Masyarakat desa meninggalkan tempat asalnya dan mencari tanah pijakan baru untuk tujuan-tujuan tertentu, mulai dari pendidikan hingga penghidupan.

Ya, kita merasakan benar bahwa kehidupan kota sering kali membuat manusia di dalamnya menjadi beringas tanpa disadari. Kebencian, rasa curiga, dan egoisme, mudah sekali menyusup dalam kehidupan manusia-manusia urban. Sampai pada tahap tertentu, mereka pun menjadi manusia beragama yang jauh dari nilai-nilai agama dan kering akan spiritualitas.

Ambillah contoh Kota Jakarta. Ibukota yang baru saja merayakan ulang tahunnya ini adalah contoh nyata. Demam pilkada yang berlangsung beberapa waktu lalu merupakan representasi cara masyarakat kita berperilaku dan bersikap. Euforia ini bahkan sampai keluar ke segala penjuru Indonesia. Efek pilkada Jakarta menjadikan media sosial dipenuhi ujaran kebencian (hate speech) jauh lebih banyak dari biasanya. Koran-koran dan televisi selama berbulan-bulan menampilkan segala kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah.

Beruntung segala kekacauan itu sekarang sudah mereda. Namun perlu kita ketahui, masih banyak bekas luka menganga pada sebagian orang, noktah kebencian yang belum hilang, dan sentimen yang siap meledak kembali setiap saat.

Kita perlu membasuh bersih kotoran yang masih melekat di hati. Kita perlu mengobati hati orang lain yang teruka dengan saling memaafkan. Masyarakat Indonesia tak cukup hanya dengan mudik. Kita perlu “mudik spiritual”, kembali kepada etika kemanusiaan yang autentik, kembali pada penemuan ketuhanan yang autentik, dan keberagaman yang hidup dan aktual.

Mudik Lebaran adalah momentum yang sempurna untuk melakukan mudik spiritual. Kita bisa membawa raga kita kembali ke tempat asal, yaitu ke kampung halaman yang telah lama dirindukan. Juga sekaligus membawa hati kita ke tempat asal pula, yaitu ke hati yang bersih tanpa diracuni kebencian dan dendam. Kehidupan kota yang keras telah ikut membawa hati kita keras dengan sendirinya. Menjauhkan diri dari hiruk-pikuk dan kesemrawutan, merasakan kembali suasana kekeluargaan, sedikit-banyak akan memberi dampak pada pengangkatan kembali rasa kemanusiaan kita yang sempat tenggelam.

Sebelum datangnya Hari Raya Idul Fitri, ada baiknya kita banyak ber-muhasabah (introspeksi diri) atas segala tindakan selama setahun ini. Meminta ampunan dan memohon kepada Allah Swt. supaya selalu dibimbing dalam jalan-Nya. Terlebih dahulu kita memperbaiki relasi vertikal ini kepada Yang Maha Kuasa. Barulah saat Hari Ied datang, kita bisa memperbaiki relasi horizontal kita kepada sesama manusia: saling memaafkan, menghapus segala kebencian, dan kembali menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia.

Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Instiute dan Gusdurian Jogja