Mudik: Berpulang ke Bahagia, Tersesat di Nestapa

Mudik: Berpulang ke Bahagia, Tersesat di Nestapa

Mudik tidak sepenuhnya berakhir pada kepulangan. Pun sulit juga jika dikatakan selalu berakhir dengan kebahagiaan.

Mudik: Berpulang ke Bahagia, Tersesat di Nestapa

Belakangan ini persoalan mudik kembali ramai dibicarakan oleh publik. Selain karena lebaran semakin dekat, faktor lainnya disebabkan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan larangan mudik (lagi) tahun ini. Terlepas dari pro dan kontra yang muncul setelahnya, saya juga ingin bicara tentang cerita mudik yang menarik. Sebuah kisah mudik dalam film Mudik (2019).

Tapi sebelumnya, saya peringatkan bahwa tulisan ini mengandung dua hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, barangkali dengan membacanya, bisa memicu kerinduan Anda pada suasana mudik yang khas. Kedua, ulasan ini mengandung minor spoiler untuk mendukung jalannya penarasian. Jika keduanya tak masalah, mari kita lanjutkan.

Mudik ditulis dan disutradari oleh Adriyanto Dewo. Sutradara yang sebelumnya juga menggarap Tabula Rasa (2014) dan dalam waktu dekat akan merilis serial pertamanya: Angkringan The Series (2021). Mudik maupun Angkringan The Series bisa ditonton di Mola TV.

Film ini pada dasarnya memuat kisah yang sangat sederhana: perjalanan pulang kampung suami-istri. Tapi percayalah, premis dan faktor-faktor yang melingkupinya begitu kompleks dan saling berkelindan. Itulah yang membuatnya asyik diikuti.

Mudik dibuka dengan aktivitas Aida (Putri Ayudya) membereskan barang-barangnya. TVnya yang tengah menyiarkan berita arus mudik dibiarkan menyala. Setelah beres, dia keluar apartemen kecilnya. Aida menjemput suaminya, Firman (Ibnu Jamil) di tempat lain. Mereka berdua lalu meninggalkan Jakarta dengan mobilnya.

Suasana dalam mobil diselimuti kesunyian. Pasangan itu sedang tidak baik-baik saja. Mereka punya masalah serius sampai harus berpisah tempat tinggal untuk sementara. Jujur saja, Aida tidak bisa punya anak. Masalah itu dibawanya pulang bersama suaminya. Perjalanan pulang yang ‘bermasalah’ inilah yang nantinya menciptakan bumbu-bumbu untuk membangkitkan cita rasa emosional pentontonnya.

Sang sutradara, dengan cerdasnya, menciptakan atmosfer mudik yang sangat lekat. Detail-detail seperti kemacetan, rest area yang penuh orang, mobil yang menepi di pinggir jalan untuk istirahat, motor yang ditumpangi empat anggota keluarga dan kardus bawaannya, hingga sesekali pemandangan bekas kecelakan yang masih dikerumuni warga; semua berpadu menjadi ramuan yang menghidupkan suasana menjelang lebaran. Suasana mudik juga terpotret dengan baik melalui adegan Aida dan Firman yang bergantian salat dan buka puasa bersama di sebuah pujasera.

Konflik dalam film ini mulai menegang ketika terjadi insiden di tengah perjalanan mereka. Ketika gilirannya menyetir, Aida secara tak sengaja menabrak pengendara motor dari belakang. Mereka sempat hendak kabur. Tapi akhirnya kembali lagi dan menunggui korban di rumah sakit. Pemudik yang ditabrak Aida itu tak selamat. Dari sanalah kemudian muncul karakter penting lain, yaitu Santi (Asmara Abigail) dan Agus (Yoga Pratama).

Aida dan Firman akhirnya harus ikut Santi ke kampungnya untuk bertanggungjawab. Akibat perbuatan mereka, suami Santi meninggal. Dia meninggalkan seorang anak, istri, ibu, dan mewariskan sejumput kemiskinan. Di kampung Santi, Firman dan Aida dihadapkan pada penyelesaian masalah yang alot bersama orang-orang yang mengaku kerabat korban dan pengurus kampung. Sulit menemukan win-win solution di antara kedua pihak tersebut.

Pada babak kedua ini saya mulai merasakan garis tipis antara realita dan fiksi. Konflik yang dihadirkan begitu dekat dan jujur, serta cukup asing dalam film-film Indonesias sejauh ini: kehadiran polisi korup, sinisme warga kampung (yang biasanya dikenal ramah) pada sang liyan, atau sebagian warga lainnya yang menginginkan keuntungan pribadi atas nama penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Film ini seperti membenturkan dua entitas yang selama ini tak banyak direkam, antara “orang Jakarta” dan “orang lokal” dengan segala stigma satu sama lain.

Hal itu juga didukung oleh aspek teknis yang luar biasa. Pengambilan latar tempat, entah di jalan raya dengan suasana mudiknya atau di kampung dengan suasana dukanya. Dukungan para figuran yang, menurut saya, melibatkan warga setempat menjadikan elemen pedesaan menjadi semakin nyata.

Saya menduga syuting film ini dilakukan di Jakarta dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa visualnya menampilkan tempat-tempat di Kota Jogja, Bantul selatan, Wates (Kulonprogo), dan Gunungkidul sebagai setting kampungnya. Tempat-tempat yang familiar di mata saya.

Terlebih, pemilihan kampung di Gunungkidul saya kira adalah pilihan tepat. Hadirnya bahasa Jawa dialek Jogja yang khas, pemandangan warga yang sibuk dengan hasil panen singkongnya, kontur tanah yang gersang dan berbatu, pohon sengon di mana-mana; semuanya cukup untuk menciptakan citra kampung yang dibutuhkan. Minimal, penonton tak perlu didikte tentang kehidupan desa, seperti dalam film Affliction (2021) misalnya, yang mencoba menghadirkan entitas desa di Wonosobo dengan terbata-bata.

Akting Ibnu Jamil dan Putri Ayudya cukup cemerlang, apalagi memerankan karakter orang Jakarta yang sudah menjadi identitasnya. Namun Asmara Abigail, yang mendapat jatah peran perempuan dari desa, masih belum bisa mengejar kerapian dialog dalam bahasa Jawa, meski di luar itu dia mampu memaksimalkan pekerjaannya.

Klimaks konflik Mudik terjadi dengan selingan gema malam takbir. Permasalahan Aida dan Firman tumpah ruah berdekatan dengan visual kembang api, parade takbiran keliling, dan masjid-masjid yang dipenuhi orang. Mereka berhenti di tengah perjalanan dan bertengkar hebat. Begitu pun dengan Santi dan Agus yang mulai memunculkan masalah tentang hubungan mereka yang selama ini terpendam.

Mudik tidak sepenuhnya berakhir pada kepulangan. Pun sulit juga jika dikatakan selalu berakhir dengan kebahagiaan. Film ini menyisakan pertanyaan beragam tafsir, tepat setelah emosi penontonnya dihabisi di malam takbir yang emosional itu. Mudik merekam pergolakan batin sebuah pasangan tanpa anak, keluarga inti tanpa sosok lelaki, juga dinamika masyarakat sosial di kampung tempat banyak orang melabuhkan tujuan pulang. Film berdurasi 93 menit ini menunjukkan bahwa tujuan tak selalu menjadi pemecah masalah. Justru, seringkali manusia dituntut menemukannya dalam perjalanan dan prosesnya itu sendiri.

Film keempat Adri ini memenangkan penghargaan kategori Skenario Asli Terbaik dalam Festival Film Indonesia (FFI) 2020. Pada perhelatan Piala Maya 2020, film ini kembali menyabet Penulisan Skenario Asli Terpilih, sedangkan Aktris Utama Terpilih dimenangkan oleh Putri Ayudya. Di ajang internasional, Mudik ikut berkompetisi di Festival Film Macao 2019 dan Festival Film Cinemasia 2020.