Seorang pemimpin menempati posisi vital ketika prahara bencana alam dan merebaknya penyakit menimpa suatu masyarakat. Adanya pemimpin yang memiliki keluasan wawasan dan kedalaman penglihatan batin saat menghadapi krisis seperti itu, akan meredam krisis yang terjadi agar tidak jadi bola liar. Supaya krisis bisa dikendalikan, dan meminimalisir risiko yang terjadi.
Hari-hari ini keresahan menghantui kita semua setelah merebaknya virus Covid -19 di berbagai daerah di Indonesia. Silang sengkarut disinformasi yang digoreng media tidak malah memberi kita ketenangan, tetapi justru membawa kepanikan. Walaupun pada dasarnya masyarakat kita mempunyai caranya sendiri menyikapi wabah global ini.
Tradisi Pemimpin Jawa ketika Terjadi Wabah
Yang menarik, di perkampungan Yogyakarta saya menemui beberapa masyarakat kampung yang mencoba merespon virus Covid-19 ini dengan obrolan ringan tanpa beban. Di wajah mereka tidak menampakan ketakutan. Namun dari narasi pembicaraan yang ada, kewaspadaan mereka tunjukan dengan saling mengingatkan satu sama lain.
Yang tidak terduga bagi saya adalah ketika masyarakat Yogyakarta tiba-tiba mengingat anjuran para Sultan Yogyakarta, ketika datang prahara (bencana alam) dan pagebluk (wabah) sebagian dari mereka menceritakan bahwa dulu di zaman Sultan Hamengkubuwono IX sampai Sultan Hamengkubuwono X, menganjurkan untuk memasak sayur lodeh, kluweh, terong, bagi masyarakat Yogya. Tidak hanya itu, dianjurkan juga untuk memasang beberapa helai padi, kacang panjang, dan ketupat di depan pintu.
Informasi tersebut menyebar luas secara gethok tular (dari mulut ke mulut) diantara warga satu dengan lainya. Tidak tahu pasti informasi itu dibawakan siapa, namun yang jelas masyarakat Jogya menyakini bahwa itu anjuran dari sang raja Yogyakarta. Hal ini kemudian saya coba verifikasi dalam buku Tahta Untuk Rakyat; Celah-celah Kehidupan Sri Sultan Hamangkubuwono ke IX. Dan benar di dalam buku itu juga menceritakan demikian. Tidak ada penjelasan lebih mengenai hal tersebut, tapi anjuran tersebut setidaknya membentuk imajinasi kolektif masyarakat Yogya yang terungkap di obrolan ringan di tengah masyarakat.
Saya tidak berusaha menginterpretasi apa makna sayur kluweh, kemudian simbol padi atau ketupat yang harus di pasang di depan pintu. Tapi seperti yang kita tahu masyarakat Jawa yang lekat dengan berbagai simbol untuk mengobyektifikasi sesuatu, hal tersebut mesti menyimpan makna tersendiri. Yang dapat kita maknai adalah reaksi masyarakat atas anjuran tersebut, yakni adanya rasa aman di tengah masyarakat. Banyak dari mereka menyakini apa yang dilakukan atas anjuran Sultan akan meminimalisir dampak yang dihasilkan dari bencana.
Hal ini sebenarnya juga bisa kita temui di beberapa daerah, dengan sosok Kiai/ ulama yang memberikan pegangan untuk menangkal adanya wabah bencana. Dengan memberikan doa atau wirid kepada masyarakat, mereka lebih merasa tenang setelah mematuhi perintah Kiai tersebut. Biasanya mereka meminta para Kiai pegangan, agar keselamatan ada di masyarakat mereka. Percaya atau tidak hal tersebut masih banyak terjadi di sekitar kita saat ini.
Apa yang ingin saya tunjukan dalam tulisan ini bukan untuk menggiring orang mempercai ritus yang sudah dibahas di atas. Tetapi yang perlu diperhatikan, dalam hal ini adalah setiap komunitas masyarakat tentu terikat dengan budaya yang membentuk mentalitas yang dibentuk melalui proses sejarah yang panjang.
Dari hal itu juga, setiap pemimpin harusnya juga memperhatikan aspek-aspek budaya yang hidup di tengah masyarakat sebagai bentuk kepahaman pemimpin dengan sisi emosional masyarakat. Karena pada dasarnya semua persoalan tidak bisa di selesaikan dengan cara yang sama, ada struktur kesadaran mental masyarakat yang berbeda berkait erat, dengan relasi sosial, ekonomi dan politik, sehingga kebijakan yang diambil juga mestinya memperhatikan aspek-aspek yang hidup di tengah masyarakat.
Lalu bagaimana dengan kita hari ini? Zaman sudah berubah, kesadaran masyarakat sudah tidak tersentralistik pada satu patron seorang Sultan yang dipatuhi secara lahir batin. Masyarakat yang semakin terpolarisasi atas kepentingan modal secara tidak langsung juga mengubah relasi sosialnya. Seorang pemimpin hanya menjadi simbol adanya suatu negara melalui birokrasi yang dijalankan, yang sering kali minim keteladanan dan pemahaman atas filosofi dasar masyarakatnya sendiri.
Kalau kita masih percaya bahwa kita bangsa yang berbudaya, kiranya aspek-aspek budaya yang terbentuk melalui hasil cipta, rasa dan karsa menjadi suatu hal yang mesti dipertimbangankan seorang pemimpin untuk menentukan kebijakan. Kita bisa belajar dari leluhur kita bagaimana menyikapi krisis, dengan berbagai alternatif jawaban yang mungkin kita agap tidak rasional hari ini. Toh nyatanya mereka bisa melewati, tapi kenapa kita segagap ini?
Kesadaran Teologis Masyarakat
Berkaitan dengan hal di atas yang perlu kita sadari juga dalam hal ini adalah kesadaran keagamaan yang membentuk sikap, mental masyarakat dalam menghadapai suatu krisis seperti sekarang ini. Seperti dijelaskan oleh Lien Iffah Naf’atu Fina dalam salah satu tulisanya. Bahwa mayorias umat Islam di Indonesia menganut mazhab teologi As’ariyyah, yang dinisbatkan pada salah satu ulama besar, Abu al Hasan al Asyari (w.936). Mazhab Asy’ariyyah yang meletakan kemahakuasan Allah di atas segala-galanya. Ini berbeda dengan mazhab Mu’tazilah yang meletakan keadilan Tuhan sebagai jangkar pemikiran teologi mereka.
Dalam hal ini para penganut mazhab Asy’ariyyah sering dituduh bersikap fatalis, manut dengan keadaan, pasrah bongkokan pada gusti Allah. Karena alasan yang sama para penganutnya sering kali jatuh ke lubang fatalis itu sendiri.
Tapi menurut Lien, mazhab Asy’ariayah tidaklah mengajarkan sikap yang demikian. Jawaban lengkapnya menurutnya dapat di lihat salah satunya karakter manhaj Aswaja yang selama ini di pegangi, yakni tawasuth (moderat, tidak ekstrem, berdiri di tengah), dimana hal ini dipegangi hampir sebagaian besar umat Islam di Indonesia. Sikap ini sebenarnya diambil dari sikap nogosiatif yang diambil oleh imam Al Asy’ari dalam merespon dua pemikiran keagamaan yang populer di zamanya. Di satu sisi Qodariyyah menyatakan bahwa manusia adalah pemilik penuh perbuatannya. Di sisi lain, Jabariyyah menyatakan bahwa segalanya telah ditentukan oleh Allah.
Dari kutub yang saling bertolak belakang tersebut kemudian Imam al Asy’ari melakukan sintesa kreatif dengan mengabungkan aspek positif dari kedua posisi ini. Imam al Asy’ari mengatakan bahwa segalanya di dunia ini terjadi atas izin Allah, tetapi manusia mempunyai potensi dan tanggung jawab untuk terus berusaha. Teori inilah yang banyak diamini oleh sebagian besar umat Islam di Nusantara. Jauh kemudian, teori ini tidak lagi hanya mengendap pada tataran diskursus keagamaan, tetapi sudah masuk ke relung kesadaran masyarakat melalui berbagai spektrum kebudayaan, wabil khusus kesadaran masyarakat kita terkait hubungan manusia dan Tuhan.
Melalui berbagai ritual keagamaan yang dikemas secara kreatif dengan budaya oleh para ulama kita, kesadaran keagamaan yang moderat tersebut dibentuk. Kemudian menjadi laku keseharian yang sebenarnya tidak butuh lagi dalil tekstual untuk menjustifikasi itu semua. Intinya adalah kesadaran keagamaan tersebut sudah menjadi satu bagian yang utuh di dalam diri masyarakat kita sampai saat ini.
Hal ini bisa dilihat sebenarnya di tingkatan paling dasar masyarakat Jawa ketika menyikapi krisis yang dihadapi. Sebesar apapun cobaan yang di hadapi bagi masyarakat Jawa ada dimensi kepasrahan total dari ketetapan Tuhan. Karena di sana lah sebenarnya anjuran utama dari ajaran Islam yaitu berserah diri kepada Tuhan. Walaupun begitu apakah masyarakat Jawa tidak berusaha untuk bangkit untuk menyikapi krisis yang ada? tentu tidak. Mereka punya caranya sendiri untuk menyelaraskan bagaimana kepasrahan dan berikhitiar seiring di jalankan.
Saya mengingat slogan yangtidak asing di telinga kita seperti ngoyo dan nrimo, yaitu mereka akan berusaha menyikapi persoalan yang ada dengan sungguh-sungguh (ngoyo), di sisi lain mereka juga berusaha menerima apapun hasilnya ketetapan yang telah digariskan Tuhan (nrimo). Bahwa hidup di dunia bagi mereka hanya sekedar mempersiapkan untuk kematian, bahasa sederhananya urip mung mampir ngombe (hidup hanya berkunjung sejenak untuk minum).
Maka saya tidak bisa membayangkan jika upaya lockdown benar-benar dilaksanakan, apa reaksi masyarakat kita, pasti tidak semudah di Wuhan (Cina) dengan pendekatan pemimpin totaliter mengisolasi masyarakat satu kota di rumah masing-masing. Masyarakat kita bisakah sepatuh itu, tentu tidak.
Bagaimana dengan social distancing, membatasi ruang gerak dengan saling menjaga jarak satu sama lain agar penyebaran virus tidak semakin menjadi, mungkin bisa diterima dan dilakukan. Tapi ini bukan berarti muncul egoisme individu diantara kita. Karena pada kenyataanya sejarah Indonesia membuktikan, yang melepaskan bangsa ini dari keadaan-keadaan genting justru, persatuan, ikatan persaudaraan dan sikap gotong royong antar anak bangsa.
Para pemimpin memiliki caranya sendiri untuk menanggulangi persoalan yang terjadi. Dan sebagai pemimpin, tentu harus mempertimbangkan berbagai hal, tidak hanya alasan ekonomi semata. Mendahulukan keselamatan masyarakat bukan berarti menumbangkan tradisi yang telah berjalan di tengah kita.