Secara pribadi, saya sangat mengagumi sosok Muhammad bin Abdullah, bukan hanya karena beliau utusan Tuhan, tetapi karena perilakunya yang sangat humanis. Beliau tetap menjadi manusia yang sangat woles meski mendapatkan jabatan ‘tangan kanan’ Tuhan di dunia. Apalagi Rasulullah tidak pernah merasa sebagai pribadi lebih baik dari siapapun, meski telah mendapatkan garansi bakal masuk surga. Kalau keturunannya ya…. Hmmm.
Rasulullah senantiasa salat tengah malam, bahkan konon sampai membuat kaki bengkak. Aisyah pernah pertanya mengapa suaminya salat hingga kondisinya seperti itu mengingat telah mendapatkan garansi surga, Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang banyak bersyukur?”
Beliau seolah sadar sebagai pemimpin umat, dakwah terbaik memberi contoh dengan akhlak, tidak melulu dengan doktrin agama yang terkesan dogmatis dan menumpulkan akal sehat. Mengapa Rasulullah berdakwah dengan akhlak? Karena salah satu fokusnya diutus untuk menyempurnakan akhlak (akhlakul karimah).
Lantas bagaimana dengan kita? Jangankan akhlak, standarisasi menjadi muslim kita begitu receh. Kadang masih ada stigma kemusliman kita diukur dengan keikutsertaan untuk aksi-aksi bela membela atau malah hal lebih receh yakni hijrah model pakaian.
Muslim zaman now tidak jarang lebih memperhatikan cover daripada kedalaman ilmu. Bermodalkan semangat keislaman tapi menyalurkan semangat dengan berteriak bunuh, memaki dan berteriak takbir dengan penuh nafsu kebencian.
Apa Rasulullah mencontohkan demikian? Mari kita simak salah satu kisah hidup Rasulullah sehingga kita mencontoh akhlak yang penuh cinta kasih.
Kita tentu pernah mendengar seorang Yahudi yang senantiasa menjahili Rasulullah ketika menuju ke Ka’bah. Hampir tiap kali beliau melintas diludahi, tetapi Rasulullah tidak menghiraukan apalagi membalas. Suatu ketika Rasulullah melintas tapi Yahudi tersebut tidak menjahilinya. Rasulullah malah heran dan menanyakan kemana si Yahudi.
Walhasil diketahui rupanya si Yahudi sedang sakit, apa yang dilakukan Rasulullah? Seperti yang telah kita ketahui bersama, Rasulullah menjenguk dan mendoakan kesembuhan beliau, hingga akhirnya Yahudi mengucapkan syahadat.
Begitulah akhlak junjungan kita dalam mensyiarkan agama Islam, agama yang penuh damai. Tidak ada paksaan dalam beragama (Laa ikhraha fiddin). Dakwah yang baik dengan cara yang santun dan mencerminkan sikap memanusiakan manusia, sehingga orang yang didakwahi bertakwa dengan keislaman (penyerahan diri) bukan karena paksaan. Dakwahnya nabi dengan akhlak, agar kita bisa meniru penerapannya (aplikatif).
Meski hidayah mutlak dari Allah, akhlak yang baik seringkali mampu menggugah hati orang-orang yang melihat. Pilihlah panutan yang ber-akhlak Karimah; penuh cinta kasih, tidak merasa lebih baik sehingga mudah menyalahkan golongan lain, tidak suka mencela dan lain sebagainya.
Islam tidak akan hancur karena cemooh orang-orang yang tidak seiman, tapi Islam akan hancur jika umat muslim masih memperaktekkan cara-cara bar-bar dan ingin menang sendiri kepada golongan lain.
Baiknya kita memikirkan bahwa Rasulullah mencontohkan akhlak yang mulia, sedang iblis membujuk kepada perilaku amarah dan egoisme. Saat atas nama agama kita berprilaku tindakan amarah dan egoisme, siapakah yang jadi panutan kita?
Waba’du, penulis teringat sabda Nabi,“Tiada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari Kiamat melebihi akhlak baik. Sesungguhnya, Allah membenci perkataan keji lagi jorok” Wallahu alam bishowab.