Menghadapi Radikalisasi ISIS di Media Sosial

Menghadapi Radikalisasi ISIS di Media Sosial

Teknologi dan media sosial dijadikan alat bagi ISIS untuk merekrut anggota, bagaimana jaringan ini bekerja?

Menghadapi Radikalisasi ISIS di Media Sosial

Perkembangan internet dengan pernak pernik media sosial, mulai yang berbasis pesan instan, audio, foto dan video  menjadi media alternatif untuk mendapatkan informasi di tengah media konvensional. Bahkan tak jarang media konvensional menjadikan media sosial sebagai bahan hingga sumber pemberitaan, media-media konvensional pun telah menjadikan media sosial sebagai bagian dalam dunia jurnalistik.

ISIS, kelompok militan di temur tengah yang lagi naik daun adalah satu-satunya kelompok militan yang memanfaatkan dunia digital khususnya media sosial secara maksimal.
Banyak kelebihan fitur media sosial yang memudahkan ISIS berinteraksi langsung dengan pendukungnya di luar Suriah dan Irak, pendukung ISIS di Indonesia pun menjadikan akun-akun ISIS sebagai rujukan. Ketika ada berita negatif tentang ISIS di media konvensional, ISIS cukup menangkalnya dan berusaha mencuri perhatian melalui propaganda media sosial.

ISIS memiliki sayap media di dunia maya yang secara berkala menyebarluaskan propaganda ideologinya, ada upaya serius ISIS mengekspor ideologi terorismenya melalui beragam konten, dari majalah online sampai video dokumenter dan disebarluaskan melalui jejaring akun media sosial pengikutnya. ISIS melakukan radikalisasi melalui dunia maya, hampir semua lini media sosial mereka pergunakan seperti twitter, facebook, channel telegram untuk menyebarkan teks propaganda bergambar, sedangkan konten video dokumenter mereka sebarluaskan melalui Youtube, Senvid, sampai aplikasi video berdurasi 6 detik milik twitter.inc bernama Vine, dengan video berdurasi 6 detik, bagi ISIS itu cukup untuk menampilkan teaser video pembantaian.

Jadi semacam ada tagline bagi ISIS “sampaikanlah walau 6 detik!”. Media sosial twitter misalnya, pihak twitter melaporkan dirinya telah memblokir 10.000 akun lebih yang terkait dengan ISIS dalam setiap waktu.

Upaya pemblokiran memang tidak otomatis mematikan gerakan ISIS di media sosial twitter, sekedar hanya menghambat akun-akun ISIS, sebab dipastikan mereka dalam sekejap membuat akun baru lagi, diblokir, bikin lagi, begitu seterusnya. Pihak Twitter menyadari hal tersebut.

Kelompok seperti ISIS lebih memilih media sosial dibandingkan website. Ini perlu digaris bawahi, maka jika ingin serius mengetahui sepak terjang radikalisme di dunia maya masuklah ke media sosial. Jadikan media sosial untuk melawan dan mencegah paham radikalisme berkembang.

Tentu untuk menghadapi radikalisasi ISIS di media sosial terlebih dahulu memahami akar ideologi atau corak keagamaan ISIS, ada 2 poin penting. Pertama, ISIS adalah penganut Wahabi, tanpa mengenal gerakan Wahabi mustahil memahami ISIS. Berusaha memahami ISIS tanpa mengenal gerakan Wahabi jelas hanya buang-buang waktu.

Sebutan Wahabi diambil dari nama seorang ulama ultra konservatif pada abad 18 bernama Muhammad bin Abdul Wahab, Wahabi adalah gerakan pemurnian praktek ajaran agama Islam dan Arab Saudi menjadikannya sebagai paham resmi kerajaan. Ledakan pertumbuhan Wahabi tak lepas dari peran rezim Saudi yang giat mensponsori dan mendanai penyebaran paham ini secara global.  Rezim Saudi membangun aliansi dengan kaum agamawan gerakan Wahabi demi melanggengkan kekuasaannya, membangkang kerajaan Saudi akan berhadapan dengan fatwa agamawan Wahabi.

Pembongkaran makam-makam dan situs peradaban bersejarah oleh ISIS di Irak dan Suriah dilakukan atas dasar memberangus biang kemusyrikan adalah ciri khas Wahabi, cara-cara seperti ini mirip seperti yang dilakukan pada masa-masa awal berkembangnya Wahabi di Arab Saudi, banyak makam dan tempat bersejarah peninggalan masa awal Islam musnah akibat gerakan Wahabi.

Maka tidak mengherankan ketika Brooking Institute pada tahun 2015 pernah merilis laporan pendukung ISIS di media sosial twitter tweet terbanyak lokasinya berasal dari kawasan Arab Saudi sebagaimana yang diberitakan oleh media The Independent. Sementara Homeland Security Committee merilis sedikitnya 2.275 warga negara Arab Saudi telah bergabung dengan ISIS di Suriah dan Irak di tahun 2015.

Sekalipun Arab Saudi menjadikan Wahabi sebagai paham resmi negara, ISIS menganggap Arab Saudi adalah thagut (tiran) karena bentuk pemerintahan Arab Saudi adalah Mamlakah (Kerajaan) bukan Khilafah, Arab Saudi bernaung di bawah PBB, mengakui hukum internasional, Arab Saudi mengakui negara bangsa, hal itu bagi ISIS tak ada bedanya dengan negara-negara demokrasi yang selama ini mereka labeli kufur.

Kini Kerajaan Arab Saudi menghadapi problem serius meningkatnya kasus terorisme yang kebanyakan dilakukan pengikut ISIS di negaranya, pihak berwenang telah menangkap ratusan pengikut ISIS yang rencanakan serangan teror mematikan menargetkan aset dan aparat pemerintahan. Paham Wahabi yang tumbuh subur di Arab Saudi kini menjadi senjata makan tuan bagi kerajaan.

Kedua, ISIS termasuk kelompok yang meyakini menegakkan Khilafah hukumnya wajib diperintahkan agama. Berbeda dengan Hizbut Tahrir yang juga berambisi menegakkan Khilafah dengan perang pemikiran, ISIS mengambil jalan menegakkan Khilafah dengan perang senjata.

Saat ISIS mendeklarasikan Khilafah mendapat tentangan dari Hizbut Tahrir,  sebab mendeklarasikan Khilafah tidak bisa dilakukan sepihak, namun harus mendapat dukungan dari umat Islam sedunia dan cara menegakkan Khilafah dengan menumpahkan darah seperti yang ISIS lakukan tidak bisa dibenarkan.

Dari pertentangan dua kubu sama-sama pengusung Khilafah ini menunjukkan gagasan Khilafah sendiri rapuh, cita-cita Khilafah sebagai solusi menyatukan umat Islam sedunia dalam satu naungan semakin kelihatan mengada-ada, alih-alih menyatukan umat, sesama pengusung Khilafah saja terpecah belah. Benar seperti yang dikatakan Intelektual NU Dr. Moqsith Ghazali, Khilafah bukan rukun iman yang harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti dilaksanakan.