Mengenal Rama Guru Syatariyah di Cirebon (1)

Mengenal Rama Guru Syatariyah di Cirebon (1)

Mengenal Rama Guru Syatariyah di Cirebon (1)

sunan GJ

Melakukan perjalanan ke daerah-daerah kian ramai. Mereka mengunjungi pantai, gunung, pasar-pasar, bangunan tua dan lain-lain. Kuliner juga begitu semarak. Lihatlah foto-foto di media sosial. Begitu menggairahkan. Cirebon tak terkecuali. Di sana ada batik mega menduh yang magis, empal gentong nan sedap, tempat-tempat yang asik untuk berfoto ria, seperti gua Sunyaragi atau keraton.

Tren mengunjungi tempat menunjukkan tanda positif. Lebih Positif lagi jika tidak berhenti di tempat-tempat “kasat mata”. Para pelancong seyogyanya dibawa menukik ke dalam, ada sejarah, tradisi, bahasa, hingga ilmu pengetahuan. Ini tantangan pemerintah. Lewat tulisan pendek ini, izinkan saya membawa Anda ke Cirebon, ke “nunasa” yang belum dikasih tempat di Cirebon.

***

Dalam naskah kuno “Syatariyah dan Muhammadiyah” koleksi Mohammad Hilman di Cirebon, terdapat beberapa nama rama guru (dalam tareka disebut Mursyid) dari keraton Cirebon atau pengguron Kaprabonan Cirebon. Nama-nama yang populer adalah Abdullah bin Abdul Qahhar yang pernah menjadi penghulu di Cirebon, Pangeran Jatmaningrat, Pangeran Arifudin, dan Muhammad Nurullah Habibudin.

Abdullah bin Abdul Qahhar dikenal sebagai penasehat Sultan Banten pada abad ke-18, guru tarekat Syatariyah, dan beberapa tarekat lainnya, baik di Cirebon, Cianjur, maupun Banten. Karya yang cukup terkenal dari Abudllah bin Abdul Qahhar adalah kitab Fathul mulk liyasila Ila Malik al-Muluk ‘Ala Qa’idat Ahlis Suluk. Bahkan, menurut temuan penelitian naskah terakhir, Abdullah bin Abdul Qahhar juga pernah tinggal di Mindanao (Fathurahman, 2016).

Pangeran Jatmaningrat adalah salah seorang putra dari Pangeran Brataningrat, Raja Kaprabon III (1766-1798). Saudara kandung Jatmaningrat adalah Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat Raja Kaprabon IV (1798-1838).

Selain menjadi salah seorang penulis naskah tentang agama, primbon, dan tarekat, Jatmaningrat juga pemimpin pengguron, meneruskan kepemimpinan ayahnya, Brataningrat. Menurut salah satu sumber informasi, Jatmaningrat masih hidup hingga Raja Kaprabon VII, Pangeran Angkawijaya (1918-1946), cicit Pangeran Raja Sulaiman (Ridwan, 2012).

Pangeran Arifudin dan Muhammad Nurullah Habibudin adalah Raja Kaprabon V dan VI. Ayah Arifuddin adalah Pangeran Adikusuma dari Lemah Wungkuk, Cirebon. Selain menjadi mursyid Syatariyah, Pangeran Arifudin Kusumabratawirdja juga adalah Raja Kaprabon V (1838-1878). Beberapa naskah ditulis pada masanya, seperti tarekat dan primbon.

Adapun Muhammad Nurullah Habibuddin dikenal pula sebagai Pangeran Adikusuma, putra Pangeran Arifuddin, dan menjadi Raja Kaprabonan berikutnya dengan gelar Pangeran Adikusuma Adiningrat Raja Kaprabon VI (1878-1918).

Syaikh Raden Muhammad Nurullah Habibuddin Adiningrat wafat pada malam Selasa, Pon tanggal 27 Ramadlan tahun Dal, 1319 H. atau 2 Januari 1902, di ndaleman Wetan istana agung. Rama guru berikutnya, Pangeran Angkawijaya, Raja Kaprabon VII dan Pangeran Badriddin yang aktif di pengguron Pegajahan, Cirebon.

Pengguron Kaprabonan adalah salah satu tempat pembelajaran Islam di keraton Cirebon. Hal itu berlaku sejak masa Pangeran Raja Adipati Kaprabon (w. 1734) atau Raja Kaprabon I, sebagai putra mahkota dari sultan pertama Kesultanan Kanoman Cirebon pertama, Sultan Anom Qomaruddin Mochammad Badruddin.

Pada tahun 1690 oleh ayahnya diberi gelar Sultan Pandita agama Islam, dengan penyerahan busana perang kerajaan wali. Enam tahun berselang, 1696, Raja Adipati Kaprabon berhijrah dari keraton Kanoman ke arah timur, sesuai keadaan sosial politik saat itu.

Pada tahun 1706 Pangeran Raja Kaprabon, saudara kembar Pangeran Raja Madureja (kelak menjadi Sultan Anom II Kadiruddin) dari Kanoman mendirikan Pengguron Kaprabonan di Lemahwungkuk. Selanjutnya, Raja Kaprabon mendapat julukan Rama Guru Pangeran Raja Adipati Kaprabon. Pengguron Kaprabon didirikan dengan tujuan untuk memperkuat ketahanan budaya Cirebon dan melestarikan ajaran tasawuf Syatariyah (Prawiraredja, 2005: 73-74). (Bersambung)

Penulis: Mahrus eL-Mawa, Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Pendiri Pusat Studi Budaya dan Manuskrip ISIF Cirebon.