Nyai Nur Chadijah: Ulama Perempuan Perintis Pesantren Perempuan Pertama di Jawa

Nyai Nur Chadijah: Ulama Perempuan Perintis Pesantren Perempuan Pertama di Jawa

Nyai Nur Chadijah: Ulama Perempuan Perintis Pesantren Perempuan Pertama di Jawa
Ilustrasi perempuan berdzikir (Freepik)

Pendidikan terhadap kaum perempuan di Nusantara pada dasarnya sudah dimulai sejak abad ke-18, ketika Indonesia masih di bawah jajahan kolonialisme Belanda. Di Kalimantan, nama Fathimah al-Banjari mempunyai kontribusi besar terhadap pendidikan kaum perempuan. Begitu juga di Aceh, ada nama Teungku Fakinah dengan dayahnya, dan di Jawa ada nama Siti Walidah dengan Sopo Tresnonya. Namun, di dunia pesantren hal tersebut pada waktu itu masih jarang, bahkan belum ada.

Lembaga pendidikan keagamaan atau pesantren untuk kaum perempuan ada berkat jasa pasangan KH. Bisri Syansuri dan Nyai Nur Chadijah. Kedua pasangan inilah yang merintis pendidikan khusus perempuan di dunia pesantren. Sayangnya, tokoh yang populer merintis pesantren putri pertama di Jawa itu lebih melekat pada diri KH. Bisri Syansuri. Padahal dibalik kesuksesan KH. Bisri Syansuri menjadi ulama besar Nusantara dan dikenal sebagai perintis pesantren perempuan, ada sosok Nyai Nur Chadijah yang juga mempunyai andil besar.

Nur Chadijah lahir di Jombang pada 1889 M. Dia adalah putri KH. Hasbullah, dan pendidikan keagamaannya semasa remaja banyak dihabiskan di lingkungan keluarganya sendiri. Selain itu, beliau  pernah bermukim di Makkah. Sebagaimana dijelaskan dalam Kiai Bisri Syansuri Tegas Berfiqih Lentur Bersikap, bahwasanya pada 1914 M Chadijah pergi ke Mekkah bersama ibunya untuk menunaikan ibadah haji.

Ketika bermukim di Mekkah inilah, Chadijah juga sempat untuk mendalami ilmu keislaman. Selain itu, di Mekkah lah awal kehidupan rumah tangganya bersama Bisri Syansuri dimulai. Tepatnya, tidak berselang lama setelah kedatangannya ke Mekkah, sang kakak yaitu KH. Wahab Hasbullah mengenalkan dan berusaha menjodohkannya dengan sahabat karibnya, yaitu Bisri Syansuri yang berasal dari Tayu. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Perjodohan itu pun berakhir dengan pernikahan.

Selepas melaksanakan pernikahan di Mekkah, kedua pasangan muda itu pun pulang ke Indonesia dengan meninggalkan iparnya, Wahab Hasbullah yang masih tetap melanjutkan nyantri di Mekkah.  Setibanya di tanah air, pasangan muda ini tidak kembali dan menetap di Tayu. Mereka menetap di kediaman orang tua Chadijah, yaitu di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, Tambak Beras Jombang. Keduanya kemudian terlibat secara intens di kepengasuhan pesantren milik Kiai Hasbullah ini. Dan disinilah kemudian keulamaan pasangan suami istri tersebut terbentuk.

Nyai Chadijah sendiri merupakan seorang istri yang selalu mendoakan, mendukung, berpuasa dan tirakatan untuk suaminya. Kepekaan spiritual seorang istri tersebut berpengaruh kuat sebagai transmisi ilahiyah. Selain itu, beliau adalah yang sederhana dan penuh tirakat. Berkat tirakatnya yang besar, setiap beliau punya hajat, bahkan selalu dikabulkan Allah. Beliau juga sosok yang romantis dalam kehidupan rumah tangganya.

Nyai Chadijah adalah perempuan ulet, tangguh, disiplin, tawadhu’ dan bisa saling melengkapi antar suami istri.  Bahkan, beliau banyak berperan dalam keputusan-keputusan yang diambil oleh sang suami. Salah satunya adalah ketika mendirikan pondok pesantren putri di Denanyar.

Merintis Pesantren Mamba’ul Ma’arif dan Pesantren Putri Bersama KH. Bisri Syansuri

Setelah empat tahun menetap di rumah mertuanya dan membantu mengasuh pondok pesantren Tambakber. Pada tahun 1917 M, tepatnya ketika usia Nyai Nur Chadijah 28 tahun.  Pasangan suami istri tersebut merintis Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar, yang berada tidak tak jauh dari Tambak Beras. Dan pada tahun 1920 M, KH. Bisri Syansuri dan Nyai Chadijah membuat keputusan berani dengan membuka kelas khusus perempuan. Sebuah langkah yang sangat tidak populer di kalangan pesantren saat itu. Bahkan, hal tersebut sampai menarik perhatian KH. Hasyim Asy’ari yang merupakan guru KH. Bisri Syansuri.

Pada awalnya, santri-santri yang belajar di pesantren putri tersebut adalah para tetatangga beserta anaknya yang diajar di beranda belakang rumahnya. Perlahan namun pasti, pesantren yang diasuh oleh Kiai Bisri mengalami perkembangan cukup pesat. KH. Bisri Syansuri kemudian membagi wewenang pengawasan terhadap para santri. KH. Bisri mengasuh dan memberi pelajaran sehari-hari kepada santri putra, sementara Nyai Chadijah bagian mengasuh santri putri. Pembagian wewenang di atas bukan semata-mata disebabkan oleh perkembangan pesantrennya saja, melainkan juga karena perhatian KH. Bisri Syansuri, yang mulai tersita. Karena banyak disibukan oleh dinamika sosial dan politik seperti awal pembentukan NU sebagai organisasi Islam.

Sebagaimana dijelaskan oleh Tika Ramadhini dalam tulisannya “Nur Chadijah Santriwati Kosmopolit Perintis Pesantren Perempuan“, bahwasanya Menurut Kiai Nasir Fattah, “sangat mungkin ide kelas perempuan datang dari Nyai Chadijah, mengingat karakter dan latar belakang Mbah Bisri yang kuat dalam kajian fikih, yang kadang terkesan kaku. Sehingga ide kelas perempuan terlalu spektakuler kalau hanya datang dari Mbah Bisri seorang, pasti ada peran besar dari Nyai Chadijah.”

Dengan keuletan yang ada dalam diri Nyai Chadijah, pesantren putri tersebut berkembang dengan baik. Pesantren yang berdiri berkat kecintaan KH. Bisri kepada Nyai Chadijah itu pun menjadi inspirasi dunia pesantren untuk membuka pendidikan khusus perempuan. Dan di Pesantren Mamba’ul Ma’arif Putri inilah, KH. Bisri Syansuri memberikan identitas tersendiri bagi para santriwatinya. Dimana identitas tersebut juga terinspirasi dari cara berpakaian Nyai Chadijah, yaitu mengenakan atasan berupa kebaya dan bawahan berupa jarik dengan memakai kerudung sebagai penutup rambut dan hanya diselempangkan.

Meski Nyai Chadijah mengelola kelas perempuan di Mamba’ul Maarif sejak pertama kali didirikan, namun suaminya lebih banyak dikenang sebagai sosok yang paling berjasa dalam membuka kelas perempuan pertama di pesantren tradisional di Jawa tersebut.

Nyai Chadijah adalah sosok ulama perempuan yang mempunyai ide briliant, dan mampu menjadi inspirasi sang suami untuk melakukan sebuah gebrakan yang melampaui zaman. Dan begitulah seharusnya cinta, bisa menginspirasi ke arah yang baik bagi orang yang sedang mengalaminya.