Mengamalkan Teologi Gamal al-Banna di Tengah Pandemi

Mengamalkan Teologi Gamal al-Banna di Tengah Pandemi

Mengamalkan Teologi Gamal al-Banna di Tengah Pandemi

Gamal al-Banna, adik dari Hasan al-Banna pendiri kelompok Ikhwanul Muslimin, lahir di Mahmudiyyah, Mesir, pada 15 Desember 1920. Dia memiliki corak pemikiran independen, progresif, pluralis dan sosialis. Pada 1981, adik dari pendiri Ikhwanul Muslimin ini menginiasasi berdirinya gerakan Persatuan Buruh Islam Internasional. Secara gerakan, kelompok ini berafiliasi dengan kelompok buruh lainnya yang ada di Yordania, Maroko, Pakistan, Sudan dan Bangladesh (al-Asy Ari, Empirisma, 2016: 125).

Secara biografis, Hasyim Saleh dalam Syakhsiyah Gamal al-Banna (2004: 07) menyandingkan sosok Gamal al-Banna dengan Marthin Luther King, seorang reformis protestan. Menurutnya, Gamal al-Banna adalah pionir gerakan revivalisme Islam sebagaimana Marthin Luther dalam Agama Kristen yang menginiasiasi reformasi keagamaan. Mengapa demikian? Sebab Gamal al-Banna mampu menggali rasionalitas, pencerahan dan reformasi agama dari akar ajaran al-Qur’an yakni tauhid.

Paradigma tauhidik menjadi landasan pemikiran pluralisme Gamal al-Banna. Hal ini tampak pada bukunya yang berjudul Ta’addudiyyah Fi Mujtama’ Islami. Gagasan pluralisme berparadigma tauhid ini bisa dimaknai sebagai ijtihad Gamal al-Banna untuk mentransformasikan sakralitas nilai-nilai ilahiah (tauhid) yang bersifat abstrak ke dalam level sosial-empirik. Harapannya, ajaran Islam yang fundamental ini relevan untuk menjawab tantangan zaman (sholih fi kulli zaman).

Bisa dikatakan, Gamal al-Banna menginginkan nilai-nilai tauhid menjadi basis nalar sosial-budaya masyarakat muslim—dalam bahasa Moeslim Abdurahman disebut teologi transformatif. Gagasan pluralisme Gamal al-Banna berupaya membebaskan umat Islam dari sikap tradisionalistik yang acap kali mengekang kebebasan dan mendorong umat muslim bersifat ekslusif dan intoleran dengan keberagaman.

Gamal al-Banna dalam buku Ta’addudiyyah Fi Mujtama’ Islami (2001: 07) menjelaskan ketika Allah SWT. memanifestasikan diri-Nya sebagai Dzat Yang Maha Tunggal, secara otomatis entitas selain Allah swt bersifat mejemuk, heterogen, plural dan tidak tunggal. Hanya Sang Pencipta yang tunggal, sedangkan makhluk-makhluk-Nya, seperti manusia, pasti beragam dan berbeda baik secara fisik, gender, maupun cara pandang/pemikiran.

Ketika umat Islam bersaksi tentang Keesaan Allah SWT—Katakanlah, Dialah Allah Yang Maha Esa (qul huwallahu ahad)—secara tidak langsung, persaksian tersebut bentuk penerimaan atas kemajemukan manusia sebagai makhluk dari Zat Yang Maha Esa. Kemajemukan itu merupakan hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa kita nafikan dari kehidupan. Penolakan terhadap kemajemukan sama halnya penolakan kepada keesaan Allah swt.

Menurut Gamal al-Banna, ajaran tauhid dalam Islam hanya menghendaki Allah SWT semata yang Esa/Tunggal. Sifat tersebut tidak boleh melekat pada makhluk-makhluk-Nya baik alam semesta, manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Hadzihi al-shifah al-waahidiyyah ‘ala ghairihi amrun la yajuzu. Ketika ada yang berupaya melekatkan sifat esa tersebut kepada makhluk-Nya, ia menilai perbuatan itu sebagai syirik kepada Allah SWT.

Lebih lanjut, Gamal al-Banna menjelaskan bahwa peradaban Islam itu sendiri tidak menyimpang dari peradaban kemanusiaan. Dalam narasi sejarah Islam klasik, orang-orang muslim bisa hidup berdampingan dengan orang-orang non-muslim. Nabi Muhammad—teladan umat—mampu menempuh jalan konstitusional untuk berdamai dan hidup berdampingan dengan orang-orang non-muslim, sehingga terbentuk Piagam Madinah (Sjadzali, 1990: 15).

Sebagaimana Pancasila, Piagam Madinah merupakan common platform yang mempertemukan berbagai kepentingan penduduk Madinah yang heterogen. Menurut W. Montgomery Watt (1988: 85), sejarah sosial umat Islam klasik telah. mencermikan kehidupan yang pluralistik. Negara Madinah telah dihuni oleh beragam suku bangsa di antaranya Bangsa Yahudi, Bangsa Arab, kaum Nasrani, kaum paganis, kaun Anshar dan kaum Muhajirin. Fakta historis tersebut mengindikasikan bahwa pluralisme itu sendiri telah hidup dan mengalir dalam urat nadi peradaban Islam.

 

Aktualisasi Selama Pandemi

Pluralisme atau multikulturalisme merupakan paham yang menerima perbedaan dalam kesederajatan (Suparlan, 2002: 98). Ketika kita menerima keberagaman, secara moral kita dituntut untuk bergotong-royong, saling tolong-menolong, dan saling menghargai. Gagasan pluralisme berparadigma tauhid ala Gamal al-Banna sangat relevan untuk dibumikan selama pandemi.

Artinya, kita perlu bergotong-royong dan membantu siapapun yang tertimpa wabah COVID-19—baik secara moral atau materil—tanpa memandang sekat-sekat primordial. Mengingat, virus Corona menyerang siapapun tanpa memandang ikatan keagamaan, kebudayaan, kesukuan dan kebangsaan. Kesalehan sosial tersebut dinilai sebagai bentuk penghambaan kita kepada Allah yang Maha Esa (ketauhidan dan keislaman yang kaffah).

Perlu disadari bersama, bahwa keberagaman dapat menjadi kekuatan transformatif sosial yang besar untuk mengikis beragam krisis sosial selama pandemi. Semboyan bhinneka tunggal ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) menegaskan perbedaan bukanlah suatu halangan untuk mewujudkan persaudaraan, persatuan, tolong-menolong selama pandemi.

Apabila pluralitas dikelola dengan baik, ia akan menjadi kekuatan besar yang dapat mengentas beragam persoalan sosial selama pandami. Sebaliknya, ia akan menuaikan konflik dan menjadi beban baru bagi bangsa, mana kala tidak diatur dan dikelola dengan baik. Oleh karena itu, mari kita rawat keberagaman bangsa ini agar solidaritas kemanusiaan dan akal budi kita tetap terjaga dengan baik di tengah krisis pandemi. (AN)