Meneladani Kehidupan Rasul, Manakah yang Boleh dan yang Terlarang?

Meneladani Kehidupan Rasul, Manakah yang Boleh dan yang Terlarang?

Apakah semua hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad, baik yang bersifat pribadi maupun hal-hal yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat Arab, harus atau wajib kita teladani?

Meneladani Kehidupan Rasul, Manakah yang Boleh dan yang Terlarang?

Sudah jamak diketahui bahwa Nabi Muhammad adalah suri tauladan (uswah) bagi para umatnya. Namun faktanya, Nabi Muhammad Saw. hidup dan bersosial di lingkungan dan budaya yang tentunya berbeda dengan era zaman kita.

Tentu ini juga mejadi pertanyaan besar bagi kita, lantas, apakah semua hal yang berkaitan dengan Nabi Muhammad, baik yang bersifat pribadi maupun hal-hal yang berkaitan dengan sosial budaya masyarakat Arab, harus kita teladani?

Dalam hal ini Imam al-Qarafi dinilai sebagai salah satu Ulama yang berhasil mengklasifikasikan posisi Nabi Muhammad Saw dalam kehidupannya. Menurut al-Qarafi, Nabi Muhammad Saw dapat berperan sebagai rasul, mufti, hakim agung, pemimpin masyarakat atau manusia biasa.

Dengan klasifikasi yang dirumuskan oleh al-Qarafi ini kita bisa memilah mana keteladanan Nabi yang wajib kita ikuti dan mana keteladanan yang sifatnya mubah untuk diikuti.

Adapun lebih jelasnya, mari simak penjelasan berikut:

Pertama, kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul. Maka semua ucapan dan sikapnya pasti berkaitan dengan wahyu dari Allah Swt.

Kedua, sebagai mufti. Fatwa beliau berdasarkan pemahaman beliau terhadap teks keagamaan yang beliau telah diberi wewenang untuk menjelaskannya kepada para umatnya. Dan fatwa nabi berlaku umum bagi seluruh umatnya.

Ketiga, sebagai hakim. Maka semua keputusan hukumnya secara formal pastilah benar. Namun adakalanya secara material salah. Hal ini karena ulah oknum yang diputuskan berhasil mengelabuhi dengan bukti-bukti palsu.

Keempat, sebagai pemimpin masyarakat tertentu. Kepemimpinan beliau selalu disesuaikan dengan kondisi masyarakat tertentu yang dipimpinnya. Dan bisa jadi model kepemimpinannya berbeda untuk masyarakat lainnya yang berbeda pula.

Kelima, pribadi. Posisi beliau dalam hal ini memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah merupakan kekhususan beliau yang tidak boleh ditiru oleh umatnya, seperti menikah lebih dari empat orang, puasa wishal (puasa tanpa berbuka hingga esok hari), kewajiban shalat tahajud (qiyamul lail), dan larangan menerima zakat. Sedangkan sisi kedua adalah sisi beliau sebagai manusia seperti memiliki selera yang berbeda dan lain sebagainya.

Dengan posisi Nabi Muhammad Saw yang berbeda-beda seperti yang diungkapkan al-Qarafi di atas, Quraisy Sihab dalam buku Secercah Cahaya Ilahi: Hidup Bersama Al-Quran menyebutkan bahwa kita harus memilah dan memilih posisi nabi yang harus kita teladani.

Menurut Quraisy Sihab, selama suatu hal tidak berkaitan dengan posisi pertama, kedua dan kelima (sisi khusus nabi) maka perlu diteliti lagi. Jika hal itu dilakukan Nabi Muhammad dengan landasan berupaya mendekatkan diri kepada Allah, seperti melepas alas kaki ketika shalat, maka hal itu sah dan perlu diteladani.

Namun jika hal itu tidak didasarkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, seperti pakaian rasul, parfum rasul, makanan rasul, rambut rasul dan lain sebagainya, maka hal ini hanya berstatus mubah untuk diikuti. Bukan wajib.

Oleh karena keteledanan tersebut hanya mubah, maka bagi yang telah melakukan dan meneladani, tidak etis untuk terlalu fanatik atau malah menyalahkan orang lain yang belum melakukan keteladanan itu.

Akan tetapi jika ada seseorang yang mengikuti dengan landasan dan niat untuk meneladani nabi, maka ia akan diberikan balasan atau pahala oleh Allah Swt atas niat keteladanan yang ia lakukan.

Wallahu A’lam