Menanam Duit Demi Haji

Menanam Duit Demi Haji

Menanam Duit Demi Haji
Ka’bah dan Makkah al-Mukarramah

Memasuki tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda memberikan syarat tambahan bagi para calon haji. Bukan cuma perkiraan ongkos dan bekal hidup selama di Tanah Suci, tapi harus ada semacam jaminan uang kontan sebesar 500 gulden per jemaah.

Perkara cek-ricek soal ini menjadi tugas asisten wedana, penanggung jawab wilayah administratif di atas kecamatan, namun berada di bawah kabupaten.

Biasanya, calon haji diminta datang ke kantor kawedanan untuk diwawancarai. Proses ini, dijadikan pula sebagai syarat pengambilan tiket kapal dan pas-haji.

Dialah Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, sebagai salah satu pejabat tersebut. Sebelum naik pangkat sebagai Bupati Serang dan Batavia, ia dikenal sebagai pejabat yang akrab dengan bumiputera.

Sekali waktu, datanglah petani lugu di tengah kerumunan calon haji. Setelah antre cukup lama, kini gilirannya diwawancara telah tiba.

“Anda tahu syarat tambahan naik haji?” tanya Pangeran Aria, sebagaimana ditulis dalam memoar Herinneringen van Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat yang dikutip M. Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia (2007).

Petani itu menjawab, “Tahu, Tuan.”

“Coba tunjukkan uang sebesar 200 ringgit (setara 500 gulden) itu,” tanya Aria lagi.

“Maaf tuan, saya butuh waktu untuk mengumpulkan dan menyetorkannya kembali ke sini. Paling tidak dua hari,” katanya.

Pangeran Aria penasaran, dan bertanya, “Mengapa bisa begitu?”

Jadi begini, tuan. Selain berladang, saya berjualan kayu bakar. Setiap sen dari penjualan itu saya tanam di berbagai sudut kebun duku. Saya menabung 5 atau 10 sen dari setiap penghasilan 15 sampai 20 sen. Setelah 25 tahun, barulah tabungan saya berjumlah 50.000 sen (setara 500 gulden),” jawab si petani.

“Lalu, waktu dua hari untuk apa?” tanya asisten wedana.

“Untuk menggali dan mengumpulkan setiap sen itu. Belum lagi untuk mengangkutnya perlu mencari vrachtkar (semacam gerobak). Setelah itu, uang harus dibawa ke Cilegon untuk ditukar dengan uang perak, atau uang kertas bank,” terang petani.

Mendengar keterangan petani, Pangeran Aria tersenyum pasrah.[]

Sobih Adnan, santri Cirebon penikmat sastra dan sejarah. Bekerja sebagai content editor di Metro TV