Menengok Lagi Sistem Taraddudi, Sepenggal Kisah Pilu Transportasi Haji Masa Lampau

Menengok Lagi Sistem Taraddudi, Sepenggal Kisah Pilu Transportasi Haji Masa Lampau

Menengok Lagi Sistem Taraddudi, Sepenggal Kisah Pilu Transportasi Haji Masa Lampau

Siang ini beranda saya berisi kabar menyedihkan. Ada sebagian jemaah Haji yang masih belum terangkut ke Mina, setelah transit di Mudzdalifah. Transportasi Haji merupakan permasalahan yang masih mengintai hingga hari ini. Tidak sedikit permasalahan dalam perjalanan haji diawali dari persoalan transportasi.

Kyai saya pernah cerita kepada saya soal bagaimana kompleksnya perjalanan Haji. Menurutnya, salah satu permasalahan besar dalam Haji adalah masalah transportasi. Bisa dibayangkan, bagaimana memindah orang sebanyak 200 ribu lebih dalam rentang waktu 8 jam saja. Ditambah, perpindahan ini terjadi di Arafah-Mina yang hanya berjarak sekitar 8-9 kilometer.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, di pertengahan dekade 2000-an, pemerintah Arab Saudi mencoba sistem Taraddudy. Sistem ini mengadopsi model Shuttle yang mengharuskan bus-bus yang mengantarkan berhenti di tempat pemberhentian yang telah ditentukan, dan terus berputar hingga seluruh jemaah di perkemahan Arafah habis terangkut.

Bus dari Arafah hanya mengantarkan hingga Mudzdalifah, sebaliknya bus lain yang dari Mudzdalifah dari jalur yang berbeda akan mengantarkan jemaah Haji Indonesia ke Mina.

Sebelum dicoba ke jemaah haji Indonesia, model transportasi yang sama pernah diujicoba ke jemaah haji Turki, dan sukses total. Untuk informasi, jemaah haji Turki kala itu hanya sekitar 80.000 jemaah saja.

Sebelum uji coba Taraddudy, jemaah Haji diangkut memakai bus yang sama dari Arafah hingga ke Mina, dan hanya mampir sebentar di Mudzdalifah. Banyak persoalan yang muncul dan terus menumpuk setiap tahunnya dari model transportasi ini, seperti jemaah Haji tidak Mabit (Bermalam) di Mudzdalifah, hingga bus yang tersesat mencari lokasi perkemahan jemaah yang dibawa.

Untuk itu pemerintah Arab Saudi memberlakukan sistem Taraddudy.

Sayangnya, entah siapa yang harus disalahkan, ada kesalahan perhitungan dari sistem tersebut, yakni kelelahan supir bus dan jumlah jemaah yang diangkut tidak maksimal. Walhasil, sistem tersebut gagal. Menurut cerita kyai saya, sepertinya lebih dari separuh jemaah masih belum terangkut kala subuh.

Sebagian besar jemaah Haji Indonesia saat itu memutuskan untuk berjalan kaki menuju Mina. Sebab, jika semakin lama menunda, maka panas di tengah gurun pasir adalah tantangan paling besar, ditambah ketiadaan tempat berteduh. Di tengah perjalanan menuju Mina, banyak bus yang telah ditinggalkan pengemudinya berhenti di sembarang tempat.

Kala itu, jemaah haji bimbingan kyai saya waktu itu dibagi dua, untuk yang masih kuat berjalan akan jalan kaki menuju Mina, sedangkan bagi jemaah yang uzur dan sebagian yang muda ditugaskan untuk mendampingi, masih menunggu bus untuk mengangkut mereka ke Mina. “Setelah salat Ashar baru seluruh jemaah saya waktu itu baru selesai sampai di Mina” ujar kyai saya.

Kegagalan sistem Taraddudy tersebut tidak ada laporan apakah memakan korban jiwa atau tidak. Di sisi lain, Menteri urusan Haji di pemerintah Arab Saudi langsung mundur. Kegagalan ini tidak membuat pemerintah Arab Saudi jera dan meninggalkan sistem tersebut. Mereka mempelajari dan memperbaiki seluruh kekurangan sistem transportasi tersebut. Cerita kyai saya, sistem tersebut baru benar-benar berjalan lancar tiga tahun pasca kejadian kegagalan tersebut.

Haji dan perkembangan model dan sistem transportasi tidak bisa dipisahkan. Moda transportasi, seperti kapal laut, bus, hingga pesawat terbang adalah bagian dari sejarah Haji. Bahkan, ia memberikan warna baru dalam beragam hukum-hukum baru dalam prosesi Haji. Taraddudy adalah usaha pemerintah Arab Saudi menjamin seluruh jemaah Haji, dalam hal ini Indonesia, dapat menjalankan prosesi Mabit dengan baik.

Mungkin sebagian kita lupa bagaimana perdebatan soal miqot (batas berniat haji/umrah dan memakai ihram), kala pesawat terbang dipakai sebagai moda transportasi Haji. Di tahun 1990-an, saya pernah mendengar seorang ulama menentang keras keputusan yang memperbolehkan berihram dan berniat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Padahal, miqot untuk jemaah haji asal Asia Tenggara adalah sebuah daerah bernama Yalamlam.

Hari ini kita Haji dan moda transportasi telah menghadirkan pengalaman baru, dengan kehadiran kereta cepat. Seorang teman yang sedang meneliti umrah dan haji menyebutkan bahwa pengalaman dan citra yang dihadirkan kereta cepat itu selaras dengan selera konsumsi kelas menengah yang bisa membayar mahal untuk kesempatan ke tanah suci.

Itulah Haji. Ia memiliki sisi manusiawi yang cukup kental. Maka, ketika pemerintah Arab Saudi mencanangkan program Vision 2030, di mana salah satunya adalah mulai mengandalkan pendapatan dari wisata religi untuk menggantikan minyak sebagai pemasukan negara, maka kita akan disuguhi beragam perubahan wajah kota Mekah-Madinah hingga beragam fasilitas di dalamnya, termasuk moda transportasi. Coba saja bandingkan cerita jemaah haji di dekade 2000-an dengan jemaah yang baru saja berangkat hari ini.

Kisah-kisah para jemaah, yang hari ini semakin mudah tersebar dan tersimpan dengan adanya media sosial, seakan menceritakan kepada kita bahwa Haji adalah perjalanan agung, unik, bahkan juga mistis. Sebuah film negeri Perancis berjudul The Grand Voyage memotret sisi kemanusiaan yang tak hilang, termasuk soal kapitalisme yang melingkupinya, bahkan bersisian dengan ritual Haji yang agung.

 

Fatahallahu alaina futuh al-arifin