Aksi Standup Comedy Bintang Emon di Somasi kemarin sebenarnya bukan aksi terbaik sepanjang karirnya. Sebagian besar materi sepertinya tidak dipersiapkan dengan maksimal. Akibatnya, beberapa punchline kurang punya greget. Walaupun begitu, kritik-kritik yang terselip dalam materi guyonan Bintang Emon kemarin cukup diapresiasi warganet.
“Terima kasih sudah menyampaikan perasaan kami” tulis Netizen di salah satu konten Tiktok kemarin. Saya pun sempat menonton beberapa potongan video aksi Emon tersebut di beberapa platform media sosial. Tema paling menarik perhatian saya adalah soal Sepakbola.
Ya, sebagai olahraga paling diminati sebagian besar masyarakat Indonesia, tema sepakbola tentu selalu ramai diperbincangkan warganet. Kemarin, Bintang Emon mengulik soal kepemimpinan organisasi induk sepakbola Indonesia, PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
Jika anda adalah penggemar sepakbola Indonesia bisa dipastikan pernah merasakan geram, sedih, marah, hingga bahagia melihat perkembangan olahraga ini. Dinamika dalam PSSI jelas masuk dalam perasaan tersebut.
Bagaimana tidak, PSSI pernah tidak becus mengurus liga, ribut, terbelah, perebutan kursi ketua, sepakbola gajah, telat bayar gaji pelatih dan pemain, bahkan terakhir Timnas gagal latihan gara-gara belum bayar sewa lapangan. Walaupun beberapa prestasi pernah ditorehkan, namun rasanya permasalahan terlihat lebih banyak.
Kritik atas latar belakang pimpinan PSSI yang dilontarkan Bintang Emon kemarin sepertinya ingin mengetuk kesadaran kita. Keseriusan dan loyalitas ketua PSSI diharapkan menjadi langkah awal untuk perbaikan sepakbola kita. Sebab, ketua PSSI pernah dijabat dari berbagai latar belakang, bahkan pernah dipegang oleh tentara, juga belum bisa mewariskan persepakbolaan yang bagus di akhir jabatannya. Terlebih, ketua PSSI hari ini juga beberapa kali melakukan blunder, kaya waktu mengatakan ingin masuk ke ruang ganti timnas atau liga yang kacau.
“Federasi yang waras” begitu tulis Bung Yamadipati Seno. Selain federasi, dia juga menyebutkan faktor suporter juga turut berperan besar dalam keberhasilan Indonesia. Keduanya akan membuat ekosistem sepakbola kita menjadi lebih baik. “Sebuah ekosistem yang layak huni membantu biota di dalamnya berkembang dengan baik” tegas Bung Yama, nama bekennya, sebagai ganti sapaan akrab Seno.
Indonesia, menurut dia, harus mencontoh salah satu federasi sepakbola terbaik, adalah Jerman. Ketika hancur lebur di perhelatan EURO 2000, Federasi sepakbola Jerman langsung berbenah. Mereka berhasil menciptakan kultur dan ekosistem sepakbola yang baik dan terus belajar dari kegagalan mereka saat itu. Sebagai salah satu penggemar Timnas Jerman, saya mengikuti bagaimana kegagalan di Euro 2000 itu menghajar habis Jerman.
Mereka mendapatkan bahwa kegagalan regenerasi pemain dan taktik di seluruh tanah Jerman. Federasi, Liga, Klub, hingga suporter berubah bersama, untuk membuat kultur sepakbola yang kondusif. Kita, Indonesia, masih memiliki banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki persepakbolaan kita. Klub kita masih banyak bermasalah, mulai gaji, kontrak pemain, hingga regenerasi. Suporter kita memang luar biasa, tapi kita sering terjebak pada aksi-aksi kekerasan. Federasi kita sering “masuk angin” hingga tidak mengurusi sepakbola secara serius.
Kembali ke kritik Emon kemarin, persoalan kepemimpinan organisasi induk sepakbola kita juga tak kalah kompleks. Persoalan ketua PSSI sering berkisar ketidaktaatan atau inkompetensi atas sepakbola. Jadi, federasi kita, termasuk ketuanya, harus mulai taat peraturan dan menjadi waras agar tercipta ekosistem sepakbola yang bagus di Indonesia.
Ada cerita di sepakbola Inggris yang harus jadi renungan kita bersama. Pada dekade awal abad ke-20, pakaian resmi wasit berupa jas hitam. Seorang wasit yang tidak disebutkan namanya pernah didorong ke luar lapangan oleh James Marshal Seed, kapten Tottenham Hotspur FC, gara-gara sang wasit melepaskan jasnya karena kepanasan dan memimpin pertandingan hanya dengan kaos, yang memiliki kesamaan warna dengan seragam Spurs, julukan tim Tottenham, yakni putih. Seed mendesak sang pengadil lapangan untuk tetap memakai jas tersebut karena sudah menjadi peraturan sepakbola saat itu.
Berorientasi pada “Hasil” demi citra sebagai ketua umum seringkali menggiring ketua dan federasi kita masuk angin. Sebagian kita mungkin masih ingat kasus timnas kita yang diundang ke rumah salah satu ketua partai politik, demi menaikkan elektabilitas mereka. Inilah wajah sepakbola kita. Aturan ditabrak, diabaikan, bahkan diakali demi mencapai hasil. Belajarlah para ketua umum, lihat contoh kapten Spurs di atas.
Saya sangat setuju kalimat dari Bung Yama, “Pada akhirnya sepakbola adalah soal “kita”, bukan saja “aku” dan “kamu.” Sebagai suporter dan penggemar sepakbola kita juga pekerjaan rumah yang tak kalah besar, yuk sembari berharap dan mendesak federasi berubah, kita juga berubah menjadi mencintai sepakbola dengan damai dan kegembiraan, bukan kekerasan.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin