Memiliki Anak adalah Pilihan bagi Pasangan Menikah, Bukan Paksaan

Memiliki Anak adalah Pilihan bagi Pasangan Menikah, Bukan Paksaan

Bagi pasangan menikah, punya anak atau tidak adalah pilihan. Bukan karena paksaan atau tekanan lingkungan

Memiliki Anak adalah Pilihan bagi Pasangan Menikah, Bukan Paksaan
menikah

“Ketika menikah, kamu ingin punya anak?” tanyaku suatu hari, sebelum saya dan pasangan membicarakan hal yang lebih serius tentang pernikahan.

“Ingin menunda atau pasrah?” begitu pertanyaan lanjutan, ketika ia menjawab keinginannya untuk (juga) memiliki anak.

Membicarakan anak di masa pendekatan memang terkesan gimana gitu. Tapi percayalah, hal ini membantu kita untuk memantapkan pilihan.

Yap, bagi saya, menikah adalah soal memilih. Karenanya, siapapun pasangan yang kita pilih, itu adalah yang terbaik bagi kita. Beruntunglah bagi pasangan yang menikah karena saling suka. Beruntung pula bagi pasangan yang bertemu karena dijodohkan, lalu menemukan kecocokan.

Seperti apapun metode pertemuan, yang jelas, laki-laki dan perempuan perlu memposisikan diri setara satu sama lain. Artinya, keputusan untuk menjalani pernikahan berikut perintilannya adalah keputusan bersama. Laki-laki adalah pendamping perempuan. Perempuan juga pendamping bagi laki-laki. Al-Quran pun menegaskannya, bahwa istri adalah pakaian bagi suami dan suami adalah pakaian bagi istri (Q.S al-Baqarah: 187).

Saya sangat menghormati keinginan sebagian orang yang memutuskan child free dan memberikan curahan kasih sayangnya pada anak terlantar. Namun saya juga menyampaikan kepada calon istri bahwa saya ingin mengasuh anak biologis. Soal kesiapan ekonomi,bagi saya tidak perlu serumit itu. Jalani saja. Apalagi saya kerap merasakan rezeki itu misteri. Ia datang dari hal-hal yang tak terduga. Min haitsu laa yahtasib. Namun memiliki perencanaan yang baik tentu lebih utama.

Selanjutnya, saya sampaikan juga pendapat saya soal konsep penundaan kehamilan. Saya pernah mendapat petuah dari kiai saya.

“Kamu yakin dititipi anak oleh Allah, kok berani nunda?”

Sebuah pertanyaan yang membuat saya mak deg. Anak adalah bagian dari titipan dari-Nya. Pernikahan adalah ikhtiarnya.

Pembicaraan mengenai kehadiran seorang anak memang terkesan tabu. Namun dalam menjalin hubungan asmara yang tujuannya menikah, hal ini justru perlu dikomunikasikan sedari awal. Mengapa? Karena bisa mempengaruhi komitmen bersama, apakah sebuah hubungan mau disudahi, atau mau jalan dulu sembari bernegosiasi satu sama lain.

Satu hal yang penting dipahami bahwa perempuan bukanlah pabrik anak. Melahirkan memang kodrat perempuan. Kodrat yang dimaksud bahwa hanya perempuanlah yang diberi hak istimewa memiliki rahim. Namun bukan berarti setiap perempuan ingin memiliki pengalaman melahirkan. Sebab melahirkan memiliki banyak konsekuensi dalam hidup perempuan. Proses melahirkan pun tidak sederhana karena melalui hari-hari panjang yang berdarah dan melelahkan.

Bayangkan saja. Ia akan mengalami perubahan signifikan dari berhentinya menstruasi, morning sick, berubahnya bentuk tubuh, hingga perjuangan dalam melahirkan si kecil. Belum lagi risiko lain seperti kehilangan pekerjaan (beberapa tempat kerja belum ramah perempuan), terbatasnya ruang gerak, dan lain sebagainya. Melahirkan adalah sebuah keputusan besar dalam hidup perempuan.

Konsekuensi ini sama sekali tidak dirasakan oleh lelaki. Dalam proses reproduksi, laki-laki hanya menyumbang momen beberapa detik atau menit. Selanjutnya, tubuh perempuanlah yang ‘bekerja’. Perempuan juga yang merasakan setiap jengkal tubuhnya merespons kehadiran sesuatu yang asing namun perlahan menjadi raja atau ratu di waktu selanjutnya.

Karenanya, jika seorang laki-laki memang menghendaki memiliki anak, sampaikan itu sejak awal. Kalau memiliki kesamaan persepsi, alhamdulillah. Kalau berbeda, tinggal dinegosiasikan. Kalau mentok dan sama sekali gak ada yang ngalah, yowes mau bagaimana lagi? Berpisah mungkin solusi terbaik.

Segampang itu kah berpisah? Ya ndak juga. Pasti ada nangisnya. Pasti ada sedihnya. Tapi sedih karena memiliki keputusan itu bisa membuat orang bangkit. Berbeda kalau memaksakan namun di tengah perjalanan masih jalan sendiri-sendiri malah mudharatnya berkelanjutan. Ingat, menikah itu artinya memutuskan hidup di satu bahtera yang sama.

Harus punya tujuan bersama. Kalau pun berubah, harus berubah bersama. Saling menerima. Saling meridhai.

Pun, setelah memiliki kesamaan mengenai anak, perlu juga mitigasi jika memang belum mendapat rejeki untuk dititipi. Ada banyak pasangan yang bertahun-tahun menikah namun belum dikaruniai seorang anak. Jika mengalami situasi tersebut, sepakati saja, apakah akan melakukan program atau cukup jalani saja.

Penting memahami bahwa proses mengandung tidak melulu soal medis. Bukankah banyak pasangan yang secara medis dinyatakan baik-baik saja namun belum dapat momongan? Sebaliknya, banyak pula yang secara medis dinyatakan kondisinya kurang baik, tapi justru mendapat kabar gembira.

Pada akhirnya, memiliki anak bukan hanya soal pilihan. Ada campur tangan ilahi yang menegaskan bahwa anak adalah bagian dari rezeki yang penuh misteri. Wallahua’lam.