Siang itu langit tampak mendung ketika saya menggeber motor menuju bagian selatan Yogyakarta. Kami sebenarnya sudah membuat janji temu agak lama. Tapi tak pernah berjodoh dengan waktu. Kesepakatannya, saya yang menyambangi rumahnya di Jalan Imogiri, Bantul.
Tapi, kesempatan itu akhirnya tiba juga sekitar bulan November lalu. Dia adalah kawan sekaligus guru bahasa Prancis saya. Sejak pertama kenal, orangnya memang nyentrik dari kebanyakan orang yang pernah saya temui. Dia tak makan daging. Suka mengomel kalau ada di antara muridnya belanja pakai kantong plastik. Tapi harus saya akui, dia baik. Itulah kenapa saya dan beberapa kawan kadang menggodanya dengan memanggil “Madame barbare mais très gentille”.
Namanya Kirana. Biasa dipanggil Kiran. Setiba di rumahnya, saya mengobrol banyak hal sambil makan mie ayam (tentu saja semua ayam bagiannya dioper semua ke mangkok saya). Selesai makan, dia memberi pesan kepada saya yang hendak beranjak, “Kalau mau buang sampah tisu dan kertas-kertas di sini, kalau sampah plastik di situ.”
Rapi sekali batinku. Tak banyak masyarakat kita yang sadar soal pemisahan sampah seperti ini. Kalaupun sadar, mereka biasanya menyerah di awal, karena sekalipun sudah dipilah tapi khawatir bakal bercampur kembali di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Lihat itu di halaman belakang,” lanjut Kiran. “Ada dua jemuran. Jemuran baju dan jemuran plastik.”
Benar saja. Pemandangan sampah plastik yang dijemur berjejer terasa asing dipandang. Tapi itulah upayanya untuk mengurangi laju sampah plastik. Optimismenya itu bukannya tanpa sebab. Kiran bercerita, setiap sampahnya sudah terkumpul, ia selalu menyetornya ke Daur Resik, sebuah layanan pengelolaan sampah anorganik yang menukar sampah pilahan dengan uang.
“Biasanya, kalau udah numpuk, sampahnya aku setor ke drop point terdekat,” kata Kiran.
Apa yang dilakukan Kiran sebenarnya sudah pernah saya temui pada aktivitas teman-teman Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan (selanjutnya: Dapur Gendong). Dapur umum ini adalah inisiatif Berkah Gamulya. Didirikan untuk tujuan meringankan perekonomian para buruh gendong perempuan di beberapa pasar tradisional di Jogja yang terdampak pandemi.
Mas Mul, panggilan akrab saya padanya, mengumpulkan para relawan untuk memasak dan membagikan makan siang kepada lebih dari seratus buruh gendong perempuan. Gerakan ini sudah berlangsung setahunan.
Ketika Dapur Buruh Gendong pindah ke belakang kantor Sekretariat Nasional Jaringan GUSDURian, banyak plang himbauan dari kardus yang ditempel di sana-sini:
“Sampah plastik buang di sini,”,
“Puntung rokok harap kumpulkan di sini,”
“Sampah kertas buangnya di sini,”
hingga plang bertulis “Khusus sampah organik” yang ditempel di karung goni yang berisi kulit bawang, batang sawi, bonggol wortel, dan sejenisnya.
Di dapur yang beroperasi sejak jam 7 pagi itu juga terlihat satu ember besar jelantah (minyak goreng bekas pakai) yang telah dikumpulkan berhari-hari. Semua sampah dapur dipilah dan dilokalisir dengan baik untuk disetor di kemudian hari.
Beberapa waktu lalu, saya mampir ke Dapur Buruh Gendong yang sudah mendapat tempat baru di sekitar Fakultas Ekonomi UII. Saya bertemu Mas Mul, mengobrol tentang setoran sampah dapur di sela-sela kesibukannya menyiapkan layar besar untuk menonton istighosah bersama untuk Darurat Kekerasan Seksual yang diadakan oleh KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia).
“Kami sudah lama sekali setor sampah pilahan ke Daur Resik. Bedanya, sejak pindah kemari Dapur Buruh Gendong menjadi lokasi drop point. Jadi pihak Daur Resik datang ke sini setiap dua minggu sekali untuk mengambil sampah dapur kami dan warga sekitar sini yang ingin menyetor,” jelasnya.
Mas Mul juga bercerita kalau Daur Resik mempunyai dua pilihan “pembayaran” untuk setiap sampah yang disetor, yaitu diganti dengan uang tunai atau didonasikan. Daur Resik mempunyai program beasiswa pendidikan untuk anak-anak yang membutuhkan di Klaten. Beasiswa itu berasal dari donasi para pelanggan Daur Resik yang menyetor sampah dan memilih untuk mendonasikan hasilnya.
“Biasanya kami dapat 80-90 ribu rupiah. Tapi di Dapur Gendong, kami memilih untuk mendonasikan semua hasilnya,” terang Mas Mul ketika saya tanya berapa hasil yang didapat setiap setor dua minggu sekali.
Para relawan di Dapur Gendong sendiri berasal dari beragam latar belakang. Mulai dari koki restoran yang terkena PHK masal ketika pandemi melanda, atau pemilik katering yang terpaksa menutup usahanya saat pandemi, para mahasiswa, hingga beberapa seniman dan aktivis gerakan sosial.
Farid Stevy adalah salah satunya. Seniman sekaligus vokalis Festivalist tersebut sering mendukung gerakan yang dilakukan Dapur Gendong, seperti membuat desain kaos untuk penggalangan donasi. “Farid Stevy malah lebih dulu berlangganan setor sampah ke Daur Resik. Lalu setelah tahu kalau Dapur Gendong menjadi drop point, dia selalu datang kemari untuk setor sampah pilahannya,” kata Mas Mul.
Sesekali kami berdua menengok layar saat jeda mengobrol. Mendengarkan seorang penyintas kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang sedang menceritakan pengalaman buruknya. Mas Mul kemudian melanjutkan:
“Sampah pilahan yang sudah dikumpulkan di Daur Resik nantinya akan dijual kembali ke perusahaan daur ulang. Sesuai dengan jenis sampahnya. Kalau sampah seperti minyak jelantah, nanti juga bisa didaur ulang jadi biodiesel atau jadi bahan campuran sabun. Yah, bisa dibilang ini social entrepreneurship.”
Sampai sini, sebenarnya saya kurang sepakat dengannya. Apa yang dilakukan gerakan pengelolaan sampah seperti Daur Resik, Rapel-id, Bank Sampah Migunani2, dan lain sebagainya lebih tepat disebut eco-socio-entrepreneurshipkarena sekaligus berorientasi pada profit, sosial, dan (tentu saja) ekologi.
Isu ekologi menjadi penting sekali hari ini. Terlebih, permasalahan sampah. Lebih utama lagi, sampah yang sulit terurai seperti plastik.
Menurut World Economic Forum, sebagaimana dikutip Greenpeace, setidaknya ada 32 persen sampah plastik yang tidak ditangani dengan baik sehingga berakhir mencemari lingkungan, baik darat atau lautan. Tanpa data pun, sebenarnya kita bisa menilai sendiri: berapa banyak ikan mati dengan sampah mengendap di perutnya, berapa banyak sungai rusuh penuh limbah pabrik dan rumah tangga, juga pemandangan mengerikan lainnya.
Masalahnya, selain dampak langsung yang bisa kita rasakan (seperti banjir, katakanlah), ada juga dampak jangka panjang yang akan dirasakan generasi anak-cucu kita (seperti ancaman mikro-plastik, katakanlah). Di luar itu, sebenarnya ada satu dampak lain yang jarang dibahas, bahkan mungkin tak terpikirkan oleh kebanyakan orang, yaitu dosa jariyah.
Gagasan ini baru saya sadari ketika mendengar obrolan Roy Murtadho dengan Rara Sekar dan suaminya, Ben. Obrolan yang berlangsung di perpustakaan pesantren milik Gus Roy itu, memunculkan banyak sekali pencerahan di kepala saya, mulai dari isu lingkungan dan ruang hidup, keserakahan korporasi dan para politisi jahat di Indonesia, hingga maraknya diskriminasi dan intoleransi di Bogor.
Gus Roy sendiri adalah pengasuh Pondok Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar di Bogor. Ia juga seorang aktivis lingkungan, penulis, sekaligus orang yang percaya bahwa agama (Islam) tidak bisa dipisahkan dari persoalan lingkungan hidup.
“Anda terpikir tidak, sejak kita lahir, sudah berapa banyak sampah yang sudah kita hasilkan? Ke mana sampah itu pergi? Berapa banyak makhluk yang dirugikan oleh sampah kita?” tanyanya bertubi-tubi.
“Lalu ketika kita mati, sampah kita belum juga terurai dan terus merugikan banyak makhluk. Popok kita ketika masih bayi, pakaian kita, sampah makanan kita; semuanya. Kalau amal jariyah itu ada dalam Islam, tidak menutup kemungkinan sampah-sampah itu akan menjadi dosa jariyah bagi kita. Dosa yang terus mengalir,” pungkasnya.
Hidup manusia tanpa menghasilkan sampah memang terdengar mustahil. Tapi bukan berarti tak ada harapan. Langkah-langkah kecil kita untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilah dan mendaur ulang sampah yang sulit terurai, atau bahkan sekadar mau belajar dan mencari tahu tentang sebab-akibat yang terjadi lingkungan hidup kita, barangkali bisa memberi dampak besar bagi generasi mendatang.