Membayar Utang Puasa Orang yang Meninggal

Membayar Utang Puasa Orang yang Meninggal

Membayar Utang Puasa Orang yang Meninggal
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah Saw. Pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’ atas namanya.

Shalat dan puasa termasuk rukun Islam. Kalau kita ibaratkan Islam itu sebuah rumah, Shalat adalah tiangnya. Karena itu, siapa yang menunaikan shalat berarti menegakkan Islam, sebaliknya yang meninggalkan shalat secara tidak langsung telah merobohkan agamanya.

Meskipun demikian, dalam kenyataan masih saja dijumpai orang yang menyepelekan dua kewajiban tadi –terutama shalat- dengan meninggalkan secara total atau mengerjakan sesuka hati.

Kalau keluarga kita meninggal dunia, padahal semasa hidupnya pernah meninggalkan puasa dan shalat, walinya atau anggota keluarga yang laindapat mengqadha’ atas nama si mayit.

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim diceritakan, suatu ketika Rasulullah Saw. Pernah ditanya seorang perempuan perihal ibunya yang meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa nadzar; apakah dia boleh mengqadha’ atas namanya.

Akhirnya beliau menjawab, “ berpuasalah sebagai ganti ibumu (suumiy ‘an ummiki)”. Dalam hadist lain riwayat Imam Muslim, ARsul juga bersabda, “Barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan masih menanggung puasa, maka walinya berpuasa atas namanya”.

Kedua hadits ini jelas memperbolehkan orang yang masih hidup mengqadha’ puasa orang yang telah meninggal dunia. Dalam hal ini, shalat disamakan dnegan puasa dengan jalan qiyas (analogi).

Selain mengqadha’, dapat pula dnegan membayar fidyah, yakni satu mud (sekitar enam ons) beras yang diambil dari harta peninggalan si mayit itu lalu disedekahkan kepada fakir/miskin (I’anah Ath-Tholibin, Juz II, h. 244, Asy-Syarwani, Juz III, h. 439).

Dengan diperbolehkan mengqadha’ dan membayar fidyah, bukan berarti lantaskita bisa enteng meninggalkan shalat dan puasa, toh nanti kalau meninggal dunia ada yang mengganti. Tetapi hal itu harus dipahami sebagai bukti betapa tingginya kedudukan atau niai shalat dan puasa dalam Islam.

Di samping itu, menggantungkan nasib kepada orang lain, apabila yang berhubungan dnegan urusan agama yang berkaitan dnegan kehidupan yang kekal di akhirat, sudah barang tentu tindakan yang sembrono dan berbahaya sekali. Lagi pula, kalau si mayit meninggalkan shalat dan puasa tanpa udzur, meskipun pada akhirnya ada wali atau keluarga yang mengqadha’ atas namanya, ia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah Swt. Sebba, meninggalkan shalat tanpa udzur di samping mengqadha’ yang bersangkutan harus bertaubat.

Padahal dengan datangnya ajal, kesempatan tobat telah tertutup (Madzahib Al-Arba’ah, I, h.491).

Sumber: K.H. MA. Sahal Machfudz, Dialog Problematika Umat, h. 145-146, Khalista, Surabaya, 2013.