Memaknai Doa KH Hasyim Asy’ari untuk Melawan Pandemi

Memaknai Doa KH Hasyim Asy’ari untuk Melawan Pandemi

Doa ini soal perasaan. Mereka yang bebal tidak akan mengerti. Upaya kita adalah melakukan disiplin amalan fisik dan berdoa sebagai ikhtiar batin.

Memaknai Doa KH Hasyim Asy’ari untuk Melawan Pandemi

Ada doa yang dipercaya sebagai ijazah seorang ulama terkenal, KH Hasyim Asyari, untuk kita semua sewaktu menemui masa-masa sulit. Belakangan, doa tersebut semakin menjamur, seiring dengan kalutnya bayang-bayang pandemi Corona.

Doa itu kira-kira begini:

لي خمسة أطفي بها  # حر الوباء الحاطمة

المصطفى والمرتضى   # وابناهما وفاطمة

(Li Khomsatun, uthfi-u biha
Harrol waba-il hathimah

Almusthofa, wal murtadlo
Wabnahuma wa Fathimah)

KH Ahmad Ishomuddin menerangkan bahwa doa masyhur tersebut bersumber dari kitab Majmu’ah al-Ahzab al-Syadziliyah tulisan al-Kamsykhanawi yang berumber dari kumpulan hizb susunan al-Quthb Abi al-Hasan al-Syadzili.

Kita meyakini bahwa setiap doa tentunya hanya patut disandarkan kepada Allah Yang Maha mengabulkan doa-doa. Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya, kita melakukannya tidak lain untuk mendapatkan ridha dari Allah.

Namun betapa banyak orang yang melaksanakan ibadah seraya menggantungkan pengharapannya kepada ibadah tersebut. Lebih-lebih kepada doa-doa atau ibadah-ibadah yang diyakininya memiliki keampuhan tersendiri.

Ibn Athaillah, murid dari Abu Abbas al-Mursi pewaris tarekat al-Syadziliyah, menyatakan bahwa pertanda dari menggantungkan diri pada amal adalah pupusnya harapan saat mendapati keterpelesetan. Bahwa kita hanya dibolehkan untuk begantung kepada Allah semata tidak kepada yang lain, termasuk amalan-amalan. Bergantungnya seseorang kepada amalnya tidak lain adalah wujud keterpelesetan. Sementara keterpelesetan besar ini dapat diketahui dengan adanya perasaan hilangnya harapan ketika ia terpeleset dalam amalannya.

Pernyataan Ibn Athaillah ini perlu kita pegang kuat sebagai pengingat agar kita tidak terpeleset menggantungkan diri pada amalan tertentu. Idealnya fokus ketika berdoa dan beribadah adalah kepada Allah. Untuk itu himbauan dari Ibn Athaillah ini agar kita tidak terlalu berfokus kepada ritus peribadatan sehingga lupa dengan tujuan utama kita dalam beribadah.

Sebagai contoh adalah al-Ghazali yang mengungkapkan dalam Ihya’ bahwa terlalu berfokus pada tajwid dapat menjadikan seorang lalai terhadap petunjuk dalam Al-Qur’an. Padahal tujuan utama membaca Al-Qur’an adalah untuk mendapatkan petunjuk dari Allah, bukan sekedar untuk membacanya sesuai tajwid. Tentu saja membaca mengikuti tajwid penting dan mesti diperhatikan, akan tetapi ada yang lebih asas daripada itu, yakni petunjuk Al-Qur’an itu sendiri.

Lantas bagaimana melepaskan diri dari bergantung pada amalan seraya tetap mengerjakan amalan tersebut? Apalagi jika suatu amalan dibubuhi dengan embel-embel tertentu, kesembuhan misalnya.

Jawabannya tentu tidak sesederhana melafalkan surat al-Ikhlash.

Memaknai surat al-Ikhlas berarti memaknai sifat-sifat absolut milik Allah. Kita dapat lepas dari menggantungkan diri kepada amalan bukan dengan pelafalan melainkan dengan pemaknaan.

Saat ini kita meyakini bahwa ijazah dari KH. Hasyim Asy’ari memang ampuh untuk meredakan pandemi. Namun, bermodal keyakinan dan pelafalan saja tentu tidak cukup. Butuh pemaknaan atas apa yang kita lakukan.

Karena, kalau kata Fakhruddin al-Razi, kekuatan keimanan itu bertumpu pada daya pandang dan visi. Lebih-lebih kita meyakini bahwa hanya Allah yang dapat menyembuhkan, menghidupkan dan mematikan. Jalan kita untuk meyakini suatu doa dapat berkhasiat tiada lain adalah dengan memaknainya.

Mencoba memaknai sama dengan mencoba memahami. Perasaan muncul melalui pemahaman. Keintiman tidak akan bisa wujud tanpa didahului perasaan. Sementara masalah rasa di hati tidak banyak yang mau tahu.

Susahnya modal paling penting dalam memaknai suatu bait adalah perasaan, kemudian pengetahuan. Tanpa perasaan, kita tidak mengetahui apa-apa meskipun telah menguasai pengetahuan itu sendiri.

Ingat kata-kata Ygritte pada Jon Snow, you know nothing dalam serial Game of  Thrones. Atau, “Ini soal perasaan, kau tidak akan mengerti,” kata Eko Triono dalam cerpennya Agama Apa yang Pantas bagi Pohon-pohon.

***

Bagiku lima sosok yang teredam dengannya

Gejolak wabah pembinasa

Beliau Rasul yang terpilih dan Beliau yang diridhai

Serta kedua putranya juga Fatimah   

Berdoa kepada kelima sosok di atas sembari menganggap bahwa kelimanya adalah penyembuh penyakit tentu bukan tujuan bait ini diciptakan. Setiap orang yang beriman pasti mengetahui bahwa Yang Maha menyembuhkan hanya Allah SWT. Lantas mengapa bait ini menyebut bahwa lima tokoh ini menjadi peredam wabah mematikan bagi si pelantun? Lagi-lagi ini soal rasa.

Sufyan bin Uyainah menyatakan bahwa ketika orang-orang shalih disebut maka rahmat akan turun. Adapun lima tokoh dalam bait tersebut adalah penghulu dari orang-orang shalih.

Menyebut nama-nama mereka sama dengan memanggil kemuliaan, kecerdasan, kebijaksanaa, keberanian, serta keanggunan sekaligus untuk masuk ke dalam hati kita. Pengetahuan mengenai pribadi mereka adalah keniscayaan untuk dapat merasakan hadirnya pribadi-pribadi tersebut di dalam hati. Tentu bukan di sini tempatnya untuk menerangkan mengenai profil tokoh-tokoh besar tersebut.

Menyebut nama-nama para tokoh mulia adalah cara mengenang yang paripurna. Hanya dengan nama potongan-potongan sejarah mengenai pribadi mereka akan hadir memenuhi hati para perindu. Gambaran profil pribadi-pribadi yang berjuang bukan untuk pribadi mereka sendiri bisa hadir menguatkan kita yang tengah berjuang untuk pribadi sendiri.

Membandingkan para tokoh tokoh mulia dengan diri memang ironis. Mereka adalah cahaya kejora, sementara kita hanya batu hitam yang kesusahan bahkan untuk sekedar memantulkan kembali sinaran dari mereka.

Di titik ini kita rasakan perjuangan kita kecil semata. Terlebih untuk sekedar berdiam diri di rumah. Namun setidaknya kita pernah merasakan perjuangan untuk tidak membahayakan orang lain di sekitar kita.

Bagi kita yang telah melakukan tindakan preventif sebagai bentuk tawakkal kemudian melihat di sekeliling kita ada yang ‘tidak memiliki perasaan’, jangan kita berkecil hati dan putus harapan. Lebih-lebih jika ada yang merasa kebal sebab melantunkan bait ini seraya menerjang himbauan dan anjuran.

Sekali lagi, ini soal perasaan. Mereka yang bebal tidak akan mengerti. Upaya kita adalah melakukan disiplin amalan fisik dan berdoa sebagai ikhtiar batin. Seperti yang telah dikatakan oleh Ibn Athaillah bahwa kita tidak bergantung pada amalan, meskipun kita tetap mengamalkannya, kita hanya bergantung kepada Allah yang keputusan-Nya adalah wujud kasih-Nya.

BACA JUGA Amalan Anti Corona Berdasar Surat-surat Pilihan Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya