Memahami Makna di Balik Ritual Ibadah Haji

Memahami Makna di Balik Ritual Ibadah Haji

Memahami Makna di Balik Ritual Ibadah Haji
Jamaah haji asal Indonesia siap berangkat ke Makkah (foto: Elik/Islamidotco)

Ibadah haji merupakan gambaran perjalanan kehidupan umat manusia. Itu kalau kita melihat ibadah setahun sekali ini secara filosofis.

Praktik-praktik ritual haji menunjukkan makna-makna simbolik yang sangat erat dengan arti kehidupan manusia. Karena itu, melaksanakan ibadah haji tidak cukup hanya sekadar memenuhi tuntutan syariat semata tanpa memahami makna-makna yang terkandung di balik praktik manasik kehidupan.

Di dalam al-Qur’an, perintah agar umat Muslim melaksanakan ibadah haji bertujuan agar mereka menyaksikan berbagai manfaat dan menyebut nama Allah pada hari-hari yang ditentukan (QS al-Hajj/22:28). Pesan ayat ini menyebutkan setidaknya dua dimensi haji, yaitu manfaat dan dzikir. Dengan demikian, menunaikan ibadah haji bukan hanya berdzikir, melainkan momentum untuk mengambil pelajaran penting dari nilai-nilai haji, seperti: persamaan, persaudaraan, ketauhidan, keikhlasan, komitmen, dan sebagainya.

Persamaan

Ibadah haji diawali dengan niat. Semua ibadah juga begitu. Tetapi intinya adalah umat Muslim harus berniat menanggalkan semua pakaian kehormatan, dan diganti dengan kain ihram, yakni dua helai kain berwarna putih tanpa jahitan.

Pakaian erat kaitannya dengan status sosial. Seseorang yang mengenakan pakaian tertentu akan menunjukkan identitas dirinya. Misalnya, pakaian hijau loreng menunjukkan identitas TNI, jas berdasi identik dengan eksekutif, baju koko berpeci menunjukkan identitas santri. Pakaian dapat membedakan status sosial manusia, sedangkan kain ihram yang berwarna putih merupakan simbol persamaan di antara sesama manusia.

Filosofinya, manusia di hadapan Allah SWT adalah sama, karena kemuliaan seseorang bukan terletak pada harta kekayaan, pangkat dan jabatan, atau bentuk fisik, melainkan didasarkan pada kualitas amalnya. Ini seperti ditegaskan dalam al-Qur’an:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

“Wahai manusia, sungguh Kami ciptakan kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sungguh, orang yang paling mulia di antara kamu menurut Allah adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha mengetahui, Maha teliti” (QS al-Hujurat/49:13).

Pernyataan ayat tersebut diperkuat sabda Rasulullah SAW:

إن الله لاينظر إلى أجسامكم ولا إلى صوركم ولكن ينظر إلى قلوبكم (رواه مسلم)

“Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan ketampanan kamu, tetapi Dia akan melihat ketulusan hatimu” (Riwayat Muslim).

Pakaian melambangkan pola, preferensi, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu. Pakaian menciptakan “batas palsu” yang menyebabkan “perpecahan” di antara umat manusia. Selanjutnya, dari perpecahan itu timbul konsep “aku”, bukan kami atau kita”. Jika sudah timbul konsep aku, maka akan terjadi diskriminasi, egoisme dan individualistik. Konsep kami/kita menunjukkan kebersamaan, keterbukaan, dan kepedulian terhadap sesama. “Aku” dipergunakan di dalam konteks-konteks seperti: rasku, kelasku, kelompokku, kedudukanku, keluargaku, nilai-nilaiku, dan bukan “aku” sebagai manusia (Ali Shariati, Haji, 1983: 11).

Ketika miqat, jamaah haji harus melepaskan semua pakaian yang mereka kenakan sehari-hari. Mungkin ada pakaian yang melambangkan kekejaman dan penindasan, kelicikan, tipu daya, atau penghambaan. Tinggalkan semua pakaian itu di miqat, dan kenakanlah dua helai kain. Yang sehelai ditaruh di atas bahu, dan yang sehelai lagi dililitkan ke pinggang. Di sini tidak ada mode atau bahan-bahan yang khusus. Kain ini terbuat dari bahan yang sangat sederhana. Setiap orang mengenakan pakaian ihram yang sama, sehingga tidak terlihat perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Inilah gambaran bahwa manusia di saat menghadap Allah hanya kain kafan yang melekat pada jasadnya, sedangkan harta benda dan tahta tidak ada yang dibawa. Mereka akan bertemu pada waktu yang sama di tempat yang sama, dan Allah adalah tujuan perjalanan (QS al-Nur/24:42).

Setelah menanggalkan pakaian beserta semua tanda-tanda yang membedakan seseorang dari yang lain-lainnya, barulah jamaah haji boleh bergabung dengan orang banyak. Dalam keadaan ihram ini, setiap orang meleburkan dirinya, dan mengambil bentuk baru sebagai manusia. Semua ego dan kecenderungan individual telah terkubur. Semua orang menjadi satu “ummah” yang berjuang untuk tujuan bersama. Semua keakuan telah mati di miqat, dan yang berkelanjutan adalah “kita”, yang berarti telah terbentuk persamaan dan kebersamaan.

Sebelum menunaikan ibadah haji, manusia lupa kepada persamaan di antara sesama mereka. Kekuasaan, kekayaan, organisasi, keluarga, tanah, ras menjadi pemisah dari label “persamaan” sebagai manusia yang asalnya dari diri yang satu, yaitu Adam (QS al-Nisa/4:1). Pengalaman haji membuat mereka dapat menemukan diri mereka sendiri, bahwa mereka semua adalah “satu”, dan masing-masing di antara mereka tidak lebih dari pada seorang “manusia”. Dari sini tumbuh kesadaran untuk saling berinteraksi, sehingga perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, bahasa, dan warna kulit terintegrasi dalam semangat humanisme: saling menghormati, saling memahami, saling membantu, silih asih, silih asah, silih asuh.

Miqat merupakan titik awal dari sebuah perubahan dan revolusi besar. Karena itu, sebelum memasuki miqat, jamaah haji harus menyatakan niat: meninggalkan rumah, keluarga, dan pekerjaan untuk menuju rumah Allah (baitullah); meninggalkan hidup untuk memperoleh cinta; meninggalkan keakuan untuk berserah diri kepada Allah; meninggalkan penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan; meninggalkan diskriminasi rasial untuk mencapai persamaan, ketulusan, dan kebenaran; meninggalkan hidup sehari-hari untuk memperoleh kehidupan yang abadi; dan meninggalkan sikap mementingkan diri sendiri untuk menjalani kehidupan yang penuh bakti serta tanggung jawab (Ali Shariati, Haji, 1983: 16).

Ketauhidan

Setelah berniat dan memakai kain ihram, para jamaah haji menuju Masjid al-Haram untuk melakukan thawaf. Di dalam thawaf, jamaah haji mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ka’bah diibaratkan sebagai matahari, dan yang thawaf  sebagai planet-planet yang mengelilinginya. Jika bumi berhenti berputar tidak mengelilingi matahari, maka aktivitas kehidupan umat manusia pun akan terhenti. Ini mencerminkan, bahwa manusia dalam hidupnya harus memiliki ikatan yang kuat dengan Allah SWT di mana pun berada, kapan saja, dan dalam kondisi apa pun.

Manusia tidak boleh terlepas dari ikatan akidah: ikatan tempat berangkat, dan ikatan tempat kembali yang sama, yang lurus dan tidak ada dualisme antara tempat berangkat dan kembali. Kedua tempat itu adalah Allah Yang Maha Tunggal. Karenanya, seluruh aspek kehidupan manusia tidak boleh terputus ikatannya dengan Allah SWT. Apabila ikatan manusia dengan Allah terputus, maka terlepaslah dari pengawasanNya, yang berarti ia jauh pula dari lindunganNya. Al-Qur’an menyatakan:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ ٱلَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلۡأَرۡحَامَۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيۡكُمۡ رَقِيبٗا ١

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan dari padanya Dia menciptakan pasangannya (Hawa), dan dari keduanya Dia memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah, yang dengan namaNya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sungguh, Allah Maha mengawasimu” (QS al-Nisa/4:1).

Thawaf menunjukkan ketauhidan kepada Allah yang harus selalu dipegang teguh, sebab tauhid berfungsi sebagai pembentuk moral, dan pada gilirannya ia mengendalikan tingkah laku manusia. Hal ini sesuai dengan tujuan sentral al-Qur’an, yaitu “menciptakan tata sosial yang mantap dan adil berlandaskan etika” (Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an: 37).

Ka’bah adalah sebuah bangunan yang sangat sederhana, tanpa disain dan dekorasi. Ka’bah terbuat dari batu-batuan hitam yang disusun secara berlapis-lapis. Bentuknya persegi dan kosong, sesuai dengan perkataan Ka’bah sendiri berarti “kubus”. Kesederhanaan bangunan Ka’bah tanpa warna-warni dan ornamentasi, karena Allah yang Maha Agung tidak mempunyai bentuk dan warna, serta tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya. Allah menegaskan dengan firmanNya: “Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia” (QS al-Ikhlash/112:4).

Bagaikan sebuah batu yang dikelilingi air sungai yang membahana, Ka’bah dikelilingi oleh lautan manusia yang berada dalam kondisi penuh haru. Dengan posisinya di tengah-tengah, kumpulan manusia mengelilingi Ka’bah dalam sebuah gerakan yang sirkular. Ka’bah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah, sedangkan orang-orang yang thawaf bergerak mengelilinginya, melambangkan aktivitas dan transisi makhluk-makhluk ciptaanNya. Allah adalah pusat eksistensi dan titik fokus dari dunia yang fana ini. Semua makhluk bergantung kepadaNya (QS al-Ikhlash/112:2).

Persaudaraan

Salah satu ajaran Islam yang sangat mendasar adalah “persaudaraan”. Dalam QS al-Hujurat/49:10 disebutkan:

إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara mereka (jika terjadi perselisihan), dan bertakwalah kepada Allah, semoga kamu mendapatkan rahmatNya”.

Thawaf dalam ibadah haji mengandung pesan moral agar jamaah haji menjalin persaudaraan dengan sesama muslim khususnya, dan umat manusia pada umumnya. Perbauran jamaah haji pada saat melaksanakan thawaf, yang datang dari seluruh penjuru negeri dengan beraneka ragam:  suku, bangsa, bahasa, warna kulit, adat istiadat, kultur, budaya, status sosial dan sebagainya, menggambarkan prinsip persaudaraan yang harus diterapkan dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat. Seorang haji tidak boleh diskriminatif ketika memilih teman bergaul, yang didasarkan pada pertimbangan ras, organisasi, atau status sosial.

Rasulullah SAW menyampaikan pesan kepada para jamaah haji dalam khutbah di Arafah dengan menekankan kewajiban menghormati darah dan kehormatan seseorang, yang sekarang dikenal dengan hak asasi manusia (HAM). Rasul juga meminta perhatian jamaah haji agar meninggalkan sistem ekonomi jahiliyah yang diwujudkan dalam praktik riba, dan berpesan kepada orang-orang mukmin untuk melindungi serta menghormati hak-hak perempuan. Isi khutbah Rasul dalam haji wada’ berkenaan dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial.

Tradisi tersebut dilanjutkan oleh para sahabat setelah Rasulullah saw wafat. Umar bin Khattab memanggil Amr bin Ash (Gubernur Mesir) pada musim haji untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anaknya yang melanggar hukum atas pengaduan warga Mesir, bahwa ia telah dijebloskan ke penjara oleh anak Amr bin Ash tanpa ada kesalahan. Umar bin Khattab menghukum anak gubernur itu dengan cambukan di hadapan para jamaah haji sambil berkata: “Wahai Amr, mengapa engkau memperbudak manusia, padahal ia telah dilahirkan ibunya sebagai orang merdeka” (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, 1999: 60-61).

Pada masa khalifah Utsman bin Affan, musim haji dijadikan momentum untuk mencari keadilan bagi warga negara, dan mengeksekusinya melalui penegakan hukum sesuai dengan kasus pelanggarannya. Utsman bin Affan pernah mengirim surat ke semua daerah kekuasaan Islam. Ia mengimbau seluruh rakyat untuk mengadukan segala perilaku birokrat yang korup dan merugikan. Di antara isi suratnya berbunyi: “Bila ada yang pernah dicaci maki atau dizhalimi, maka datanglah pada musim haji, supaya ia dapat mengambil haknya dari aku dan dari para pejabatku” (Jalaluddin Rakhmat, Renungan-Renungan Sufistik, 1999: 61).

Semangat humanisme yang dibangun oleh Rasulullah saw dan para sahabat merupakan manifestasi dari nilai-nilai haji yang mengusung “persaudaraan”. Gerakan dalam thawaf yang dilakukan oleh jamaah haji, seolah-olah dilakukan oleh satu unit atau satu kelompok manusia, karena di dalamnya tidak ada identifikasi individual. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, serta yang berkulit hitam dengan yang berkulit putih. Inilah transformasi seorang manusia menjadi totalitas umat manusia. Semua “aku” bersatu menjadi “kita” yang merupakan umat dengan tujuan menghampiri Allah.

Perjuangan yang ikhlas

Setelah selesai melaksanakan thawaf, jamaah haji melanjutkan sa’i, yaitu berjalan dan berlari-lari kecil antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Al-Qur’an menyebutkan, Shafa dan Marwah merupakan sebagian syiar (agama) Allah (QS alBaqarah/2:158). Secara harfiah, Shafa artinya suci, sedangkan Marwah berarti kemuliaan. Ini mengisyaratkan bahwa kesucian dan kemuliaan memiliki keterkaitan yang erat. Suci akan melahirkan sesuatu yang bernilai mulia, karena Allah SWT yang Maha Mulia adalah Maha Suci, sehingga kemuliaan akan diberikan kepada hamba-hambaNya yang menyucikan diri. Dalam al-Qur’an dinyatakan, Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri (QS al-Baqarah/2:222).

Dari tinjauan historis, sa’i merujuk kepada peristiwa perjuangan Siti Hajar bersama putranya, Ismail yang masih dalam gendongan, untuk mencari sumber air di lembah yang tandus, tidak ada tanam-tanaman dan tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Berbekal keyakinan yang kuat disertai ketulusan hati, Hajar yang berlari dari bukit Shafa menuju Marwah, dan dari Marwah ke Shafa dalam upaya mencari air, akhirnya ia menemukan sumber air yang sekarang dikenal dengan “air zamzam”. Kisah inspiratif dari seorang hamba Allah bernama Hajar, memberikan gambaran bahwa segala sesuatu yang diinginkan akan tercapai jika dilandasi niat yang ikhas dan mau bekerja keras, sebab Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri (QS al-Ra’d/13:11). Perjuangan harus diawali dengan kesucian, dan berakhir dalam kemuliaan. Nilai sebuah “kemuliaan” apabila mempeoleh keridhaan Allah SWT.

Ada do’a yang diamalkan Rasulullah saw setiap selesai shalat fardhu:

“Ya Allah, tidak ada yang dapat mencegah apa yang telah Engkau beri, tidak ada yang dapat memberi terhadap apa yang telah Engkau cegah. Tidak ada yang dapat menolak apa yang telah Engkau tetapkan, dan kemuliaan itu tidak ada nilainya sama sekali di hadapanMu”.

Komitmen dalam ketaatan

Di Arafah, jamaah haji berkumpul dengan semangat persatuan. Mereka datang dari penjuru negeri yang beraneka ragam: suku, bangsa, bahasa, warna kulit, kultur, budaya, adat istiadat, status sosial, dan sebagainya. Tetapi perbedaan tersebut diikat dengan tali “persatuan” (QS Ali ‘Imran/3:103). Di sini tidak ada si kaya, si miskin, pejabat, rakyat, yang kuat, yang lemah, yang tua, atau yang muda. Mereka berdiri sama tinggi, khusyu’ menyimak nasihat khutbah dengan kesadaran untuk mengenal Tuhan dan dirinya yang terjelma dalam “ma’rifatullah”. Arafah yang berarti “pengenalan”, menjadi puncak perjalanan manusia menemukan jati dirinya dan mengenal Allah SWT. Seorang Sufi mengatakan: “Barangsiapa telah mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya”. Rasulullah saw menegaskan bahwa haji itu adalah arafah (Riwayat Turmudzi, Nasa’i, dan Ibn Majah). Maksud hadis ini, wukuf di Arafah merupakan tiang dan rukun haji yang terpenting, sehingga yang tidak wukuf hajinya tidak sah.

Jamaah haji wukuf di Arafah hingga terbenam matahari, dan dari sini bertolak menuju ke Muzdalifah untuk mengumpulkan batu kerikil yang akan digunakan dalam melontar jumrah. Pelajaran yang dapat diambil, bahwasanya manusia memiliki musuh yang nyata dalam hidupnya, yaitu setan (QS al-Baqarah/2:168). Melontar jumrah yang dilakukan oleh jamaah haji di Mina pada dasarnya mencerminkan pernyataan ikrar permusuhan terhadap setan. Hal ini mengingatkan komitmen Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail yang tetap teguh dalam pendiriannya untuk taat pada perintah Allah tentang titah “menyembelih Nabi Ismail”, betapa pun godaan Iblis yang terus menerus memprovokasi agar tidak melaksanakan perintah tersebut. Dengan iman yang kuat dan ketaatan yang kokoh, Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Ismail melempari Iblis dengan batu sebagai komitmen tidak akan bersekutu dengan setan.

Ikrar jamaah haji untuk tidak bersekutu dengan setan dalam segala aktivitas kehidupannya, akan menjadi ironis jika sepulang dari tanah suci malah berteman dan bersahabat dengan setan. Karena itu Imam Nawawi mengatakan, indikator haji mabrur adalah “haji yang tidak dinodai dengan dosa”. Seorang haji yang keluar dari komitmen dalam ketaatan menjalankan perintah Allah, dan menjauhi laranganNya, berarti telah mengkhianati nilai-nilai ibadah haji yang seharusnya diapilkasikan dalam amaliah sehari-hari.