Matinya Kebenaran Karena Para Penjilat

Matinya Kebenaran Karena Para Penjilat

Kebenaran akan selalu diksaksikan oleh nurani manusia, seperti kata Rumi mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran dari pada indra penglihatan.

Matinya Kebenaran Karena Para Penjilat

Para penjilat saya istilahkan dengan istilah jilatisme. Mungkin kata jilatisme bukan kata yang familier terdengar atau dibaca. Istilah ini saya maknai pada sikap atau pendirian yang menyuarakan dan memperjuangkan kebenaran bukan karena kebenaran itu sendiri, tapi membenarkan atau menutupi kebenaran yang sesuai ambisius dan seleranya. Mungkin bahasa yang agak vulgar orang yang meyakini untuk mendapatkan popularitas, jabatan dan kekuasaan dengan cara cari muka dan mengabaikan prinsipnya.

Akibatnya tak lagi bicara kebenaran sebagaimana mestinya, justru intelektualnya digunakan sebagai cara untuk “mengemis” popularitas dan jabatan, sehingga nalar kebenaran dan idealisme tunduk dan membisu. Dia sedang membangun pencitraan atau dikekang jabatannya. Yang paling disesalkan jika kaum terdidik dan kalangan intelektual turut menciptakan “tradisi buruk” ini di masyarakat. Jika kalangan intelektual dan orang yang terdidik turut menjilat dan  “iman intelektualnya” juga tergadaikan, pada siapa lagi berharap kebenaran dan nilai kemanusiaan itu diperjuangkan?

Pertanyaan ini mengingatkan saya pada Kuntowijoyo kurang lebih pernah melontarkan sebuah ultimatum agar kalangan intelektual (khususnya) tak semuanya berbondong-bondong untuk mencurahkan gagasannya masuk dalam politik praktis. Dengan alasan, agar kekuatan umat yang begitu besar tak menghambat perkembangannya.

Saya memaknai ultimatum ini bukan sebagai larangan tapi “alarm” bahwa pada jabatan yang sifatnya politis menjadi pertaruhan intelektual apakah masih bisa memperjuangkan nilai kemanusiaan atau keadilan, karena tak ada yang lebih penting dari politik kecuali perjuangan kemanusiaan.

Dalam bahasa lain, perjuangan politik itu memperjuangkan dua hal yaitu hirashah al-din (menjaga dan memprioritaskan nilai agama) dan siyasah al dunya (mengatur kehidupan duniawi). Karena itu, menggunakan intelektual dalam politik dengan benar itu adalah kerja suci dan mulia, mereka mulia karena melanjutkan estafet kenabian, mengurus kepentingan agama, dan kemaslahatan manusia.

Atau justru dengan politik membuat ia mengotori dirinya sendiri? Al-Asymawi mengatakan kemuliaan dan kesucian politik adalah kehendak Tuhan sendiri, tapi manusialah yang merusak tujuan mulia tersebut.  Hal ini pula yang diyakini Mahatma Gandi bahwa penyebab kemerosotan kualitas kehidupan dalam kehidupan manusia adalah politik tanpa prinsip, pendidikan tanpa karakter, ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan.

Oleh karena itu, sebuah kecelakaan sejarah jika kalangan intelektual terbuai dengan kepentingan semu lalu mengabaikan prinsip kebenaran, abai pada kemashlahatan. Mengapa dianggap sebagai kecelakaan sejarah? Didasarkan pada dua hal: Pertama, warisan intelektual adalah warisan kenabian. Alasan itu, menjadi tak dibenarkan jika kalangan terdidik atau intelektual mampu tergoda oleh rayuan popularitas dan kepentingan semu, sebab keberadaan intelektual dalam kehidupan tak ubahnya obor ditengah kegelapan yang memberi setitik cahaya terang bagi dirinya dan orang lain.  Seperti ungkapan Albert Camus salah satu peraih Nobel dari Perancis bahwa sosok intelektual sejati adalah orang yang pikirannya menjaga pikirannya sendiri.

Kedua, intelektual dan ilmuan keberadaannya bukan ia yang mencari popularitas atau kekuasaan tapi kekuasaanlah yang mendekatinya. Dalam lintas seduran sejarah Nabi Sulaiman misalnya, bisa mendapatkan kekuasaan, hidup dengan kekayaan melimpah karena ia menjaga “intelektualismenya” dalam membangun ummatnya kala itu.

Logika terbalik dari semua itu bahwa orang yang mengemis jabatan dan meng-gadaikan intelektual dan prinsipnya ia tak akan bisa survive (bertahan) lama, sebab nasibnya selalu ditentukan ia berpihak dan membela siapa. Jika yang ia bela dan perjuangkan sudah tak berkuasa atau tak punya power, saat itu pula ia tak punya nyali bahkan dicatat dalam sejarah manusia sebagai “penjilat”.

Alhasil intelektual yang konsisten berjuang menyuarakan keadilan, tak goyah dengan rayuan “murahan” jabatan, atau berharap diberi jabatan. Seorang intelektual harus tetap memperjuangkan kebenaran. Biarlah sejarah manusia yang membuktikannya sebagai pejuang. Kebenaran akan selalu diksaksikan oleh nurani manusia, seperti kata Rumi mata hati punya kemampuan 70 kali lebih besar untuk melihat kebenaran dari pada indra penglihatan.