Merenungi Kebenaran Melalui “Cermin” Jalaluddin Rumi

Merenungi Kebenaran Melalui “Cermin” Jalaluddin Rumi

Konsep kebenaran yang berbeda-beda dijelaskan secara apik oleh Jalaluddin Rumi melalui teori “cermin” miliknya.

Merenungi Kebenaran Melalui “Cermin” Jalaluddin Rumi
Jalan menuju kebenaran itu beragam.

Menurut Jalaluddin Rumi, kebenaran itu ibarat cermin yang terjatuh hingga pecah berkeping-keping. Kemudian tiap-tiap kita memungut satu pecahan yang berbeda-beda bentuknya.

Saya sering mendengar tokoh agama mengatakan, “teruslah belajar sehingga kita akan semakin dekat dengan kebenaran.” Petuah ini membuat saya berpikir bahwa selama ini, kita belum benar-benar berada dalam kebenaran itu. Dan selama kita tidak tergugah untuk belajar, maka selama itu pula kita akan berada di zona abu-abu antara kesesatan dan kebenaran.

Tentang kebenaran, minggu lalu saya terlibat percakapan dengan Umbu, rekan Protestan saya, tentang konsepsi murtad-mualaf. Saya mengatakan bahwa seorang mualaf itu bisa jadi sudah menemukan kebenaran versinya dalam Islam.

Umbu bertanya soal proses menemukan “kebenaran” itu sehingga ia menjadi mualaf. Ia bertanya, “Lalu, ketika ia merasa menemukan kebenaran di agama lain, apakah itu berarti dia juga mualaf?”

Saya sebetulnya bisa menjelaskan dengan jawaban teologis. Namun, sepertinya jawaban seperti itu tidak akan memuaskannya. Akhirnya, saya berpikir-pikir lagi soal “kebenaran” ini.

Penjelasan daya tangkap kebenaran yang berbeda-beda ini dapat diuraikan melalui proses-proses penciptaan. Bahwa dalam menciptakan makhluk-Nya, Allah memutuskan untuk membuatnya berbeda-beda, tidak ada yang sama persis, dan semuanya mempunyai karakternya masing-masing.

Sebagaimana wadah yang diisi air, ada yang berupa gelas, teko, ember, bak mandi hingga tandon air. Meskipun isinya sama-sama air, namun bentuk air akan mengikuti formasi wadahnya masing-masing. Begitu juga dengan manusia.

Sejak Nabi Adam hingga manusia yang terlahir pada detik ini, mereka mempunyai wadah tangkapan cahaya kebenaran dari Allah yang berbeda beda. Begitu juga ketika orang memahami Islam, yang tentunya akan berbeda-beda.

Saya teringat konsepsi “pecahan cermin” milik Jalaluddin Rumi yang menurut saya sangat elegan dalam menjelaskan konsep kebenaran yang berbeda-beda. Menurut Rumi, kebenaran itu ibarat cermin yang terjatuh hingga pecah berkeping-keping. Kemudian tiap-tiap kita memungut satu pecahan yang berbeda-beda bentuknya.

Tentunya, setiap pecahan cermin itu merefleksikan satu kebenaran yang sama. Namun, karena masing-masing kita hanya memegang satu pecahan, maka ia belum bisa menampilkan gambaran kebenaran yang utuh.

Nah, upaya yang tepat untuk mendapatkan gambaran yang utuh adalah kita harus mengumpulkan atau meminjam pecahan cermin yang kita temukan masing-masing dan kemudian menggabungkannya. Dengan begitu, pantulan refleksi kebenaran akan lebih mendekati sempurna.

Selain itu, langkah efektif untuk mendapatkan kebenaran yang nyaris sempurna adalah kita harus rajin melakukan “studi banding” terhadap pemahaman orang yang berbeda dengan kita. Dengan begitu kebenaran kita akan semakin komplit. Karena, bisa jadi pemahaman yang kita yakini saat ini tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, pemahaman orang yang berbeda dengan kita bisa jadi tidak sepenuhnya salah.

Teori Rumi menjawab keresahan saya seperti yang tertulis di paragraf paling awal tulisan ini. Namun, tampaknya teori itu melahirkan pertanyaan baru jika digunakan untuk membaca pertanyaan Umbu, rekan saya yang Protestan itu.

“Artinya, di dalam Wahabi ada kebenaran? Atau bahkan di dalam ISIS ada kebenaran?”

Saya mencoba memformulasi pertanyaan baru mengacu pada logika pertanyaan Umbu. Namun, sejenak saya berpikir bahwa pertanyaan tersebut mempunyai perspektif yang kurang pas. Pertanyaan yang lebih tepat adalah: “Mengapa ada fenomena Wahabi dan ISIS dalam dunia Islam?”

Jika merujuk pada teori Rumi, maka keduanya sedang memegang satu potongan cermin. Masalahnya, mereka langsung mengklaim bahwa potongan cermin itu adalah refleksi kebenaran yang utuh dan mutlak tanpa mencoba untuk merangkainya dengan potongan-potongan cermin yang lain. Kelompok konservatif itu sudah merasa paling benar sendiri melalui secuil potongan kebenaran dengan mengabaikan potongan-potongan lainnya.

Menurut Charles Kimball, seorang Guru Besar Studi Agama Universitas Oklahoma, fenomena itu masuk ke dalam salah satu gejala “When Religion Becomes Evil” (Ketika Agama Menjadi Petaka). Klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim), menurut Kimball, berarti menafikan sama sekali kemungkinan kebenaran yang ada pada pihak lain.

Ketika ini terjadi, maka pada saat itulah agama telah menjelma menjadi bencana. Kimball mendeteksi bahwa ragam kekerasan atas nama agama yang terjadi selama ini kerap bermula dari adanya klaim kebenaran seperti itu.

Di sinilah kita perlu merenungkan nasihat Ibnu Arabi bahwa apabila terdapat satu juta manusia yang berusaha memahami Islam, maka akan ada satu juta potensi kebenaran pula. Dengan catatan, orang tersebut tidak mengikuti hawa nafsunya.

Artinya, tidak boleh ada satupun manusia yang berhak memonopoli kebenaran. Tidak ada satupun manusia yang diperkenankan memaksakan pihak lain untuk bercermin melalui cerminnya sendiri.

Melalui Jalaluddin Rumi, ajakan untuk terus belajar untuk semakin dekat dengan kebenaran yang hakiki menjadi masuk akal. Dalam hemat saya, luaran dari konsep Rumi itu bukanlah untuk sampai atau mendapatkan sebuah kebenaran final yang sejati. Namun, konsep itu justru sebagai nasihat untuk terus memperdalam pengetahuan, bersikap terbuka pada semua gagasan, dan larangan untuk berhenti belajar. [NH]