Klaim Kebenaran Sendiri Sebagai Kebodohan dan Kesombongan

Klaim Kebenaran Sendiri Sebagai Kebodohan dan Kesombongan

Klaim Kebenaran Sendiri Sebagai Kebodohan dan Kesombongan

Pandangan-pandangan keagamaan yang membid’ahkan (mensesatkan orang lain) atau bahkan mengkafirkan orang lain dalam sejarah pemikiran Islam selalu muncul dari kepicikan dan kedangkalan dalam memahami teks-teks agama. Ia lahir dari orang-orang yang memahami teks-teks keagamaan secara literal konservatif dan mensakralkannya. Mereka menolak rasio, anti aforisme/metaforisme (majaz), dan anti sejarah teks dan sosial. Akibatnya makna teks-teks di luar yang literal (yang lahiriyah) menjadi tak mereka pahami dan mereka tolak. Mereka menganggap pemahaman non literal itu sebagai kesalahan.

Imam Abu Hamid al Ghazali (w. 1111 M), pemikir besar sepanjang sejarah kaum muslimin Sunni, telah lama menginformasikan kepada kita tentang cara pandang kaum literalis tersebut. Beliau menyebutnya sebagai pemahaman orang-orang yang terbatas ilmunya. Mungkin kita bisa menyebutnya sebagai pandangan orang-orang yang “al-Juhhal”. Muhammad Abdul memaknai kata ini sebagai kebodohan, kesombongan dan egois.

Dalam karya monumentalnya; “Ihya Ulum al-Din”, beliau mengatakan :

“Perhatikanlah dengan seksama, bahwa orang yang menganggap bahwa al Qur’an hanya memiliki makna lahir (literal), maka dia tengah menceritakan tentang keterbatasan ilmunya sendiri. Biarlah itu benar untuk dirinya sendiri. Akan tetapi dia melakukan kekeliruan besar manakala semua orang harus ditarik ke dalam pemikirannya yang terbatas itu. Betapa banyak hadits Nabi dan ucapan para sahabat Nabi yang menyatakan bahwa al Qur’an memiliki makna-makna yang sangat luas. Dan ini hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang pandai. Ibnu Mas’ud mengatakan : “Siapa saja yang ingin mengetahui keilmuan para ulama generasi awal dan yang mutakhir, maka bacalah al-Qur’an dengan seksama dan mendalam. Hal ini tidak mungkin bisa hanya dengan memaknainya secara literal”.

Pernyataan Imam al Ghazali tersebut sungguh menarik sekaligus arif. Ia tidak hendak mengecam orang-orang yang berpandangan literalis. Ia membiarkan pemahaman itu menjadi sikap pribadi orang itu sendiri atau kelompoknya. Tetapi ia mengkritik tajam jika orang itu memaksakan pemahaman dirinya tersebut kepada orang atau kelompok lain yang telah memiliki pikiran yang berbeda. Dan tentu saja merupakan kesalahan sangat besar jika dia/mereka sampai melakukan kekerasan terhadap pandangan di luar dirinya dan mengkaim hanya pemahan dirinya saja yang benar.

Dalam waktu yang sama al Ghazali juga menginformasikan kepada kita semua bahwa teks-teks al Qur’an tidak bisa dimaknai secara tunggal. Satu kata dalam al Qur’an mengandung sejumlah kemungkinan makna. Membatasi kehendak Tuhan yang diungkapkannya dengan simbol-simbol bahasa (Al-Quran) adalah “kebodohan” dan kesombongan yang nyata. Para ulama masa awal (al-Salaf al shalihin) tidak pernah membatasi pemaknaan terhadap ayat-ayat al Qur’an dan lebih dari itu adalah rendah hati dan toleran. Fakta sejarah menunjukkan beragam pendapat ulama tentang satu tema atau makna satu teks. Dari sumber yang sama mereka memaknai dan mengambil kesimpulan yang berbeda, karena ada sejumlah faktor yang mengitari teks dan pembacanya. Mereka saling menghargai pandangan yang lain, karena mereka mengerti dan cerdas serta rendah hati.