Logo Halal Baru Kemenag: Antara Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Logo Halal Baru Kemenag: Antara Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Bagaimana jika logo halal baru ditinjau dari teori nilai dalam filsafat: Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan?

Logo Halal Baru Kemenag: Antara Kebenaran, Kebaikan dan Keindahan

Logo halal baru ditetapkan oleh BPJPH (Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal) Kementerian Agama sebagai penanda simbolik peralihan kuasa atas label halal produk dari tangan MUI ke tangan Kemenag. Berbagai narasi dan wacana terkait penerbitan logo baru ini pun pecah, terutama di media sosial. Sebagaimana wajarnya, setiap policy yang dikeluarkan pemerintah dalam konteks negara demokrasi tidak akan luput dari ketidak setujuan.

Dinamika seperti ini adalah bukti bahwa nilai demokratis masih hidup di negara ini. Namun demikian perang wacana tanpa arah di sosial media hanya akan menimbulkan kekacauan lain, bukan justru mengarah pada kebijaksanaan baru yang kreatif, sebagaimana yang diharapkan dari kebebasan dalam demokrasi. Menghindari hal itu, peran akademisi dan para ahli adalah memetakan dialektika dan titik perdebatan secara tepat, atau dalam khazanah turats Islam biasa disebut dengan istilah manath khilaf.

Salah satu metode yang sering saya gunakan dalam memetakan suatu isu adalah dengan menggunakan teori nilai dalam filsafat, yaitu: kebenaran, kebaikan dan keindahan. Sederhananya pertama kali perlu dilihat apakah permasalahan tersebut berada dalam perdebatan benar-salah, baik-buruk atau indah-tidak indah? Meskipun nyatanya ketiga unsur nilai tersebut berkelindan satu dengan lainnya. Dalam dunia dakwah, teori ini terejawantahkan pada jargon “kebaikan harus disampaikan dengan perkataan yang baik dan tutu kata yang indah.” Ketiga nilai tersebut terhubung dalam susunan herarki yang menempatkan kebenaran sebagai unsur paling esensial, kemudian menyusul setelahnya kebaikan lalu keindahan.

Nilai estetik (keindahan) dalam logo halal baru BPJPH Kemenag masih nisbi dan diperdebatkan, di level ini hampir setiap orang memiliki standar masing-masing. Meskipun sebenarnya keindahan tidak mutlak relatif, ada nilai-nilai universal yang bisa disepakati bersama untuk mengukur tingkat estetika. Misalnya, ketika keindahan diukur dengan parameter sufistik, maka yang disebut indah adalah segala yang mengantarkan untuk mengingat Yang Maha Indah. Menurut hemat saya, di level ini logo halal baru tidak terlalu bermasalah, meskipun preferensi setiap orang berbeda.

Penilaian berikutnya adalah level kebaikan, pada lapisan nilai ini menjadi lebih kompleks daripada sebelumnya, sebab untuk menentukan kebaikan tidak mungkin hanya bertumpu pada satu disiplin ilmu saja, perlu melibatkan disiplin ilmu lain untuk menemukan konteks yang tepat. Dari kaca mata fikih bisa kita ambil kesimpulan bahwa label halal merupakan sebuah kebaikan, dengan dasar dalil Al-Qur’an:

كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا (البقرة: 168)

“Makanlah kalian dari yang ada di bumi yang halal dan thayyib…” (Q.S. Al-Baqarah: 168)

Jika ada perintah untuk mengonsumsi yang halal, maka dengan kaidah al-wasail laha ahkamu al-maqashid bisa disimpulkan bahwa label halal, yang merupakan perantara untuk bisa membedakan makanan halal dari yang haram untuk dikonsumsi, dihukumi juga sebagai sebuah keharusan. Hukum fikih tidak stagnan, ia bisa berubah sesuai kondisi dan variabel yang terlibat, dengan menambahkan variabel “baru” maka hukumnya pun bisa bergeser.

Titik kontroversi logo halal baru utamanya terletak di level ini, pasalnya penggunaan bentuk dan simbol-simbol tertentu dinilai oleh sebagian masyarakat kurang universal, kecenderungan menonjolkan simbol falsafah Jawa dengan bentuk gunungan wayang dan corak sorjan, dinilai mengarah pada sikap jawasentris yang kontra produktif untuk kehidupan berbangsa.

Pembahasan tentang logo ini menjadi lebih esensial ketika menyentuh ranah kebenaran, di ranah ini kita bisa menjawab kritik bahwa logo tersebut kurang universal, dengan argumen bahwa yang paling penting dalam label adalah kegunaannya. Selama tujuan utama terpenuhi, yaitu untuk penanda produk halal, maka bukan musykil apapun bentuknya. Namun jika pembahasan ini ditarik pada level yang lebih dalam lagi, maka akan kita jumpai lembar-lembar diskusi lama tentang seberapa penting sertifikasi halal di negara mayoritas muslim? Atau dengan tarik menarik antara label halal dan label haram.

Penulis mencatat dalam salah satu momen majelis Ihya Umlumuddin bersama Syekh Taha Habsyi (allah yarham), menurut pandangannya dalam sebuah negara mayoritas muslim yang dibutuhkan bukanlah label halal, melainkan label haram. Yang mana label produk non-halal sudah pernah diterapkan di Indonesia dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No.280/Men.Kes/Per/XI/1976 sebagai langkah awal menuju penetapan label halal yang berlaku selama ini.

Bagaimanapun diskusi yang berkembang terkait penerbitan logo halal baru Kemenag tidak boleh apatis terhadap masukan yang ada, terutama untuk mengembalikan marwah sertifikasi halal di Indonesia. Label halal yang bernilai ibadah karena dimaksudkan untuk memudahkan umat Islam dalam menentukan produk, justru bergeser menjadi komoditas pasar yang digunakan untuk branding produk-produk tertentu, bahkan untuk produk yang seharusnya zatnya tidak dihukumi halal-haram, seperti lemari es. (AN)