Dalam sebuah Forum Grup Diskusi (FGD) bulan Juli lalu, seorang pelaksana program dari salah satu organisasi non-pemerintah memaparkan capaian program pencegahan radikalisme yang telah diselenggarakan sepanjang tahun 2020 sampai 2021. Di antara serangkaian kegiatan dan strategi yang telah dilakukan, salah satunya adalah kolaborasi bersama dengan media-media Islam daring.
“Kami telah bekerja sama dengan sejumlah media-media Islam ternama dan mendorong penulis-penulis dari akar rumput untuk mengarus-utamakan narasi Islam moderat di dunia maya,” kata pelaksana program. Di akhir program, ia melaporkan bahwa kampanye media daring itu telah memperoleh ratusan ribu pembaca.
Akan tetapi, apakah capaian ratusan ribu pembaca dapat dikatakan sebagai indikator bahwa Islam moderat berhasil diarus-utamakan? Atau jangan-jangan, besarnya jumlah pembaca lebih merupakan indikasi keberhasilan media Islam moderat dalam menjadi ‘ruang gema’ baru yang sama konservatifnya dengan rival mereka?
Dalam jagat maya yang segalanya serba dimoderasi oleh algoritma, besarnya jumlah angka viewers dan pengikut bisa mengecoh. Tidak semua pelaku media mengetahui profil pembaca mereka, kecuali pelaku media yang menyewa platform seharga khusus dengan kelengkapan fasilitas statistik demografi dan psikografi pembaca, sehingga strategi penyebaran konten bisa didesain lebih personal dan rigit.
Jadi, variasi profil pembaca pasti ada, dan persentasenya juga ada. Tapi mengetahui profil pembaca secara akurat adalah privilese tersendiri bagi pelaku media, sejak platform yang digunakan menyediakan ragam derajat akurasi profil.
Misalnya, sebuah media Islam X mungkin boleh mengklaim atas keberhasilannya mendominasi narasi keagamaan di kota Y yang konon pegumulan konservatisme agamanya cukup kuat, lantaran data statistik platformnya menunjukkan traffic tertinggi selama 6 bulan berturut-turut. Klaim ini belum tentu benar. Sebab tingginya traffic di suatu kota tidak berarti pembalikan spektrum keberagamaan sedang terjadi di kota itu. Tetapi, boleh jadi, tingginya traffic di kota Y justru berasal dari kunjungan berkala oleh mereka yang satu ideologi visi-misi media Islam bersangkutan.
Dengan kata lain, butuh lebih dari satu indikator statistik agar klaim itu bisa dikatakan valid. Kemenangan Donald Trump di pilpres Amerika 2016 silam salah satunya ditopang oleh manajemen data profil pemilih kristiani secara rapi melalui integrasi multi-aplikasi bernuansa religi, sehingga tim kampanye punya peta spektrum ideologi pemilih yang diukur berdasarkan riwayat sikap mereka di jagat maya saat berhadapan dengan konten/isu tertentu.
Di Indonesia, kontestasinya berbeda. Walaupun belakang mulai muncul sejumlah penelitian yang mengungkap bahwa komputasi propaganda juga ikut memainkan isu agama, namun kontestasi antar ideologi Islam yang sebenarnya lebih merupakan soal kepiawaian antar ustadz dalam mengemas konten masing-masing, dan soal strategi agar konten produksi masing-masing pihak bisa berada di posisi prioritas dari proses algoritmik di sebuah layanan pencarian maupun di beranda media sosial.
Sederhananya, persaingan narasi di jagat maya antar kelompok ideologi Islam di Indonesia belum sesofistik sebagaimana persaingan narasi di pilpres Amerika ataupun Brexit tahun 2016 dengan pengerahan Cambridge Analytica sebagai gurita utama di balik sukses pengumpulan dan pengolahan data para pemilih. Kecuali jika narasi agamis tertentu diturunkan oleh tim kampanye elektoral yang telah bekerjasama dengan layanan jasa olah data, dengan maksud membentuk polarisasi.
Selama ini, ada kecenderungan di mana digitalisasi dipandang secara positivistik, khususnya dalam kerangka dalam-ke-luar, yakni sebuah selebrasi dan euforia pengguna atas kehadiran teknologi yang memungkinkan proses dakwah ‘lebih canggih’. Di samping itu, logika pemanfaatan yang digunakan pun berupa pemidahan patriotika analog ke patriotika digital.
Negara developmentalis (termasuk Indonesia) memang cenderung menaruh perhatian lebih pada aspek manfaat digitalisasi, alih-alih aspek struktural dari kehadiran digitalisasi. Dalam konteks komunitas muslim, tidak banyak yang bisa dilakukan atas kehadiran struktur digitalisasi yang menghendaki ketimpangan dan peminggiran berbasis kepemilikan akses data.
Jumlah mayoritas dalam demografi tidak berarti penting untuk dipertimbangkan sebagai penentu kemana dan bagaimana struktur digitalisasi seharusnya berdiri. Alih-alih demikian, justru kemayoritasan jumlah kelompok muslim terbatas sebagai produsen dan konsumen konten, yang dalam kerangka ekonomi politik digital, determinan bagi putaran kapitalisme digital melalui distribusi posisi pekerjaan non-strategis di lingkungan digital.
Contoh sederhananya, produksi karya grafis dan sinematik keislaman, yang dalam konteks Indonesia, lebih dominan diproduksi oleh pekerja dari ideologi Islam perkotaan, daripada kelompok tradisional. Sebagai ujung tombak komunikasi dan persuasi wacana, bargain mereka mungkin lumayan diperhitungkan, namun posisi sosial-politiknya tetap sebatas aktor produsen dalam bingkai ‘manufaktur baru’, dan tetap tidak dapat dibandingkan dengan bargain pengaruh sosial-politik, misalnya katakanlah, Alexander Nix, pemilik Cambridge Analytica.
Akan tetapi, kalaupun membayangkan, misalnya, struktur digitalisasi di Indonesia dipegang oleh salah satu ideologi Islam tertentu, sepertinya lumayan meragukan apakah alat ini akan digunakan secara dewasa, mengingat Islam di Indonesia memiliki riwayat tribalisme, tirani mayoritas (majoritarian tyranny), dan kedekatan dengan tendensi ultra-nasionalis.
Kemuliaan dan keluhuran Islam yang sering dijanjikan ilmu dakwah pun tidak bisa menjamin hal itu, lantaran dalam ilmu dakwah sendiri memiliki keretakan epistemik mendasar. Ilmu dakwah sering menyederhanakan penyebab perbaikan perilaku sosial sebagai dampak dari pengaruh transenden praktik dakwah.
Indikatornya juga kerap mengandalkan ukuran-ukuran permukaan yang bersifat positivis. Di lain sisi, ilmu dakwah juga tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri ketika ditodong masalah ambiguitas kemurnian antara satu praktik dakwah dan lainnya saat ideologi secara gamblang ikut bermain di belakangnya.
Ketika berhadapan dengan struktur digital sebagai fenomena sosial, ilmu dakwah tidak memiliki daya penjelas selain berusaha sekedarnya membasuh perbendaharaan ilmu sosial dan ilmu komunikasi dengan perbendaharaan rohani, yang justru tidak pada tempatnya, dan mengaburkan hal yang seharusnya dibedah secara kritis sambil membumi.
Dalam konteks implikasi akademik, keretakan epistemik tersebut menimbulkan ironi kepemimpinan ilmu-ilmu sosial umum dalam menjelaskan masalah ekonomi politik digitalisasi, sedangkan ilmu dakwah melayang-layang dengan apologetika.
Dalam konteks implikasi sosial, merebut alat algoritmik layaknya cara Marxian merebut struktur politik tentu tidak mungkin (do-able), sebab bukan hanya soal pokok masalahnya yang memang berbeda, namun juga itu terlalu ajaib untuk terjadi di Indonesia.
Implikasi sosial sebenarnya adalah, hilangnya self-criticism dalam membangun dan memanfaatkan teknologi digital: dari mulai program One Day One Juz (ODOJ) yang tergelincir pada ekhibisionisme narsistik, hingga obsesi menyebar konten positif dan dakwah ramah yang ternyata melanggengkan ruang gema. Saat implikasi sosial ini tetap berlangsung, tidak menutup kemungkinan, kerja-kerja media yang dilakukan berputar dalam tempurung.
Sebuah media Islam kelahiran tahun 2020 misalnya, mendorong pengarusutamaan narasi kesantrian dan kebangsaan. Di ulang tahunnya yang pertama, pengelolanya menceritakan kenaikan puluhan ribu pengunjung dan pembaca. Di ulang tahun kedua, angkanya mendekati ratusan.
Namun dalam satu minggu ada saja tema nasionalisme, ulasan dalil khilafah, dan tema-tema yang sudah bisa ditebak alur tema dan arah argumentasinya kemana. Bukankah hal ini pada akhirnya hanya berputar dalam tempurung yang sama dan kedap untuk menggapai kelompok yang berbeda? (AN)