Ramadhan tahun ini, tentu, tidak seperti lazimnya yang telah lalu. Kemeriahan tidak terlalu nampak, bahkan di beberapa wilayah justru sebaliknya. Suasana menjadi sepi disebabkan oleh kebijakan yang diambil pemerintah sehubungan dengan adanya wabah corona di Indonesia sejak awal tahun lalu.
Tidak hanya kemeriahan yang berkurang bahkan hilang, namun juga kegaduhan pun turut menghilang dengan kehadiran Ramadan di tengah pandemi. Kegaduhan yang saya maksud tidak lain adalah tindakan-tindakan persekusi dan kesewanang-wenangan yang kerap kali dilakukan oleh sekelompok orang yang merasa paling Islam.
Misalnya, sweeping warung makan secara paksa baik oleh aparat maupun organisasi keislaman pada umumnya. Rasanya tidak perlu saya sampaikan contoh-contoh kasus seperti itu yang seringkali terjadi selama Ramadan sejauh ini. Bahkan, karena saking seringnya, rasanya tindakan tersebut sudah menjadi fenomena lumrah yang terjadi di bulan Ramadan.
Tindakan-tindakan yang demikian, ironinya, justru dilakukan dengan dalih untuk menghormati Ramadan sebagai bulan suci dan mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa. Padahal, puasa secara esensi adalah sebuah ibadah yang mengajarkan dan menuntut seorang hamba untuk mengekang dorongaan nafsu yang tidak sekedar pada kebutuhan jasmani saja, seperti makan dan minum. Dan, di atas itu semua, puasa mengajarkan manusia untuk mampu mengekang dorongan nafsu yang mengarah pada kepuasan yang bersifat rohani, seperti, keinginan untuk mendapatkan pujian, sanjungan dan penghormatan.
Selain itu, ibadah puasa juga mengandung nilai sosial yang luhur seperti menumbuhkan rasa kepedulian sosial bagi setiap individu. Dengan berpuasa seseorang merasakan rasa haus dan lapar. Hal ini, paling tidak, kemudian dapat menjadi sebuah bahan perenungan untuk lebih mengerti makna hidup.
Kembali ke soal Ramadan tanpa tindakan sweeping warung makan. Terkait dengan hal itu, pernah terbersit dalam benak saya; jangan-jangan mereka yang tetap berjualan pada saat Ramadhan memang tidak mempunyai pilihan lain, karena mereka harus memenuhi tuntutan kebutuhan hidup dan ekonomi. Sama halnya dengan mereka yang saat ini terpaksa harus tetap bekerja di luar rumah meskipun dalam kondisi wabah seperti sekarang ini.
Jika benar demikian, maka saya kira sangat tidak elok mereka yang secara paksa melakukan sweeping terhadap pedagang makanan yang masih membuka lapaknya di bulan Ramadan. Tindakan tersebut tentu saja adalah sebuah pembangkangan dalam berpuasa.
Pembangkangan dalam artian bahwa seseorang yang beribadah puasa–seperti yang telah saya singgung sebelumnya–seharusnya mampu melawan nafsunya untuk tidak menuruti dorongan nafsunya, termasuk nafsu untuk ingin dihormati. Justru, mereka seharusnya peduli dengan para penjual makanan yang bernasib demikian dan mencari solusi alternatif untuk kebaikan bersama.
Alih-alih mencari solusi, umumnya yang terjadi justru sebaliknya. Pokoknya untuk menghormati Ramadhan, semua warung harus tutup (titik). Hal ini sebenarnya merupakan sebuah sikap yang egois. Bagaimana kemudian dengan mereka, para pemilik warung makan non-muslim, dan pelanggannya non-muslim juga, apakah mereka juga harus tutup dan menahan lapar seharian, padahal mereka kan tidak kena pasal kutiba ’alaykum al shiyam?
Namun, dengan datangnya Ramadan di tengah kondisi wabah covid-19 ini, aksi sweeping terhadap warung makan tidak terjadi lagi, setidaknya sependek pengetahuan saya.
Terkait dengan hal itu, meskipun wabah covid-19 ini telah merugikan banyak orang, namun di sisi lain, jika dicermati dengan seksama, wabah ini juga memberikan pelajaran berharga. Salah satunya adalah bulan Ramadan ini tidak warnai dengan tindakan sewenang-wenang sebagian masyarakat muslim yang memaksakan kehendaknya dengan dalih sebuah penghormatan semu pada bulan suci dan mereka yang berpuasa.
Akhirnya, marilah sejenak mengheningkan cipta. Sebab, absennya aksi sweeping yang sewenang-wenang justru tidak lahir dari sebuah kedewasaan masyarakat dalam beragama. Sebaliknya, ia justru lahir karena efek domino dari sebuah wabah yang telah merenggut banyak hal, termasuk nyawa saudara-saudara kita, dan memberikan kerugian besara dalam banyak segi kehidupan masyarakatnya. Wallahu a’lam
BACA JUGA Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba? Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini