Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba?

Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba?

Tidak saja menahan lapar dan haus, tapi Ramadhan 2020 juga tercatat sebagai bulan suci untuk menahan egoisme, seperti nekat tarawih di masjid yang berada di zona merah

Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba?

“…Karenanya, mari kita bersama-sama menegakkan shalat Isya dan Tarawih di rumah masing-masing, sebab pagebluk virus Corona masih belum diangkat oleh Allah Swt, dan ini telah sesuai dengan himbauan pemerintah…”

Begitu kira-kira konklusi dari sebuah pengumuman yang—aslinya berbahasa Jawa krama—mendengung dari toa masjid kampung saya, selepas buka puasa. Terang saja, saya yang adh’aful iman dan memang jarang ke masjid jadi seolah punya dalil pembenaran.

See?

Saya lalu menjadi semakin riang gembira.

Tapi kegembiraan itu tidak berlangsung lama. Ya, himbauan untuk tidak tarawih di masjid itu sama artinya dengan saya yang harus menjadi imam shalat tarawih di rumah. Karena saya belum berkeluarga, maka makmumnya tentu saja adalah orang tua, saudara, dan ponakan saya.

Meski begitu, harus buru-buru saya tegaskan bilamana bukan karena sembahyang di rumah yang merenggut kebahagiaan, tapi menjadi imam itulah yang bagi saya adalah berat.

Maksudnya begini, shalat tarawih adalah satu hal, sedang menjadi imam shalat tarawih itu satu hal lainnya. Sementara makmumnya adalah famili, saya tidak mungkin menerapkan kecepatan di atas rata-rata—seperti halnya ketika shalat sendiri, misal, atau sewaktu jama’ah dengan teman sebaya.

Bukankah seorang imam yang baik itu selayaknya melihat seberapa jauh kemampuan makmumnya?

Alhasil, sembahyang saya jadi tidak biasa. Saya seolah jadi auto lebih saleh sekali dan lebih khusyu sekali dong

Di belahan bumi lain, ada beberapa orang yang justru tak mengindahkan anjuran pemerintah dan otoritas keagamaan setempat. Mereka nekat hendak menggelar shalat tarawih di masjid dan membayangkan bahwa Ramadhan kali ini sedang dalam situasi normal.

Serupa dengan itu, di Parepare Sulawesi, kabarnya sejumlah orang juga memaksa untuk sembahyang tarawih di masjid. Mereka, laki-laki dan perempuan, menembus barikade takmir dan melompat pagar masjid.

Padahal, kita semua tahu kalau kondisi hari ini dan beberapa hari ke depan, ntah sampai kapan, orang di himbau untuk tidak kumpul-kumpul. Ini disebabkan karena, haduh doi lagi doi lagi, ya, pandemi Corona sedang gagah-gagahnya merangsek dalam setiap lini kehidupan kita, mengintai pergerakan siapa saja yang menolak diam di rumah.

Malahan, di twitter beredar video amuk massa dengan keterangan bahwa mereka tidak terima terhadap seseorang yang menghimbau agar umat Muslim menahan sementara waktu sembahyang di masjid. Lalu di obrak-abrik lah properti pribadi si penghimbau yang bersangkutan.

Saya tidak habis pikir, kenapa himbauan untuk tidak shalat tarawih di masjid untuk sementara waktu bisa berujung pada chaos? Baik, kalau chaos terlalu berlebih, maka sebut saja ketegangan sosial.

Saya sempat menduga, barangkali saja mereka yang nekat tarawih di masjid adalah senasib dengan saya. Mereka sangat mungkin merasa tertekan jika, umpamanya, kudu menjadi imam shalat tarawih.

Tapi, ini pun juga tidak bisa dibenarkan di tengah pesatnya kemajuan teknologi yang belum pernah sedahsyat sebelumnya. Anda, misalnya, bisa saja menjadi imam shalat tarawih sekaligus menyanding layar gawai yang menunjukkan urutan bacaan surah-surah pilihan sepanjang shalat tarawih.

Atau, bagaimana kalau ada kemungkinkan lain? Rindu, misal.

Ya, mereka mungkin saja merasa rindu dengan suasana tarawih di masjid. Maklum, Ramadhan itu setahun sekali.

Namun, ini saya kira juga keliru. Lha gimana, Anda hendak memuaskan hasrat kerinduan, tetapi di saat yang sama justru menantang maut lewat aksi kumpul-kumpul. Kemungkinannya lalu ada dua. Anda menularkan atau tertular Covid-19. Keduanya tentu sama-sama buruk, kendatipun itu berangkat atas nama rindu.

Sederhana saja, bagaimana mungkin Anda mengatakan hendak mengobati rindu, sedangkan Anda tidak mempertimbangkan kalau bisa saja itu adalah rindu terakhir Anda. Virus ini adalah soal nyawa. Kalau Anda sendiri yang mangkat barangkali tidaklah menjadi soal. Ini mungkin terlihat heroik. Bertaruh nyawa demi rindu boskuh

Masalahnya, dengan Anda ngotot keluar rumah, itu sama saja memperlebar potensi keterjangkitan orang lain. Alhasil, alih-alih heroik, Anda justru turut bertanggungjawab atas pesebaran virus itu. Dalam istilah yang kelewat ekstrem, bukankah ini sama dengan, maaf, pembunuhan berdarah dingin?

Lagi pula, ngomong-ngomong soal shalat tarawih di masjid, lihatlah catatan sejarah Islam awal: Nabi Muhammad Saw sembahyang tarawih di masjid hanya beberapa hari di awal Ramadhan saja. Selebihnya ya di rumah. Mengapa?

Saking sayangnya kepada umatnya, Nabi Saw khawatir kalau-kalau yang sunah dipandang sebagai sebuah kewajiban.

Kelak, terdapat sebuah bid’ah ketika Sayyidina Umar bin Khathab mengorganisir tarawih berjamaah di masjid. Dan, sejak bid’ah itu memulai debutnya, umat Muslim lalu ramai-ramai tarawih di masjid, hingga sekarang.

Jadi, kalau Anda masih nekat untuk tarawih di masjid, pada dasarnya Anda sedang menselebrasikan sebuah bid’ah. Lhoh, bukankah itu adalah bid’ah hasanah?

Seratus. Anda benar sekali kalau berpikir begitu.

Sayang sekali, beberapa dari mereka yang nekat tarawih berjamaah di masjid di tengah pagebluk Corona adalah mereka-mereka yang juga menolak laku bid’ah hasanah lain, seperti ritual tahlil, yasin, mencium tangan para tetua, dan sebagainya atas nama agama.

Tampak inkonsisten, bukan?

Poinnya adalah kita terkadang sulit membedakan mana ibadah yang murni dan yang tidak murni. Saya lalu bertanya, shalat kita itu sebetulnya dipersembahkan untuk menghamba kepada Tuhan, atau justru kepada hawa nafsu yang menang-menangan?

Akhir kalam, puasa kali ini memang tampak spesial. Tidak saja menahan lapar dan haus, tapi Ramadhan 2020 juga tercatat sebagai bulan suci untuk menahan egoisme, dalam berbagai level dan wujudnya.

Moga-moga saja kita semua lulus dalam uji kompetensi menahan hawa nafsu dan seleksi alam ini. Allahummaghfir li ummati Sayyidina Muhammad, Allahummarham ummata Sayyidina Muhammad, Allahummastur ummata Sayyidina Muhammad, Allahummajbur ummata Sayyidina Muhammad, Allahumma Ashlih ummata Sayyidina Muhammad…

BACA JUGA Mudah Shalat Tarawih di Rumah, Bacaan & Tata Cara Mudah untuk Shalat Tarawih Sendiri Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini