Benarkah Physical Distancing Merupakan Kebijakan Anti-Agama?

Benarkah Physical Distancing Merupakan Kebijakan Anti-Agama?

Orang yang memproduksi konten, atau sengaja membingkai kebijakan pemerintah terkait physical distancing menjadi spiritual distancing adalah mereka yang tidak becus mengendalikan syahwat

Benarkah Physical Distancing Merupakan Kebijakan Anti-Agama?

Siapa yang menyana jika Ramadhan 1441 H/2020 M kali ini akan dibarengi dengan wabah Covid-19? Ramadhan di tengah pandemi menyebabkan masyarakat melakukan penyesuaian. Gaung menyambut Ramadhan di sudut-sudut kota dan desa pun tidak tidak terlihat. Masjid-masjid yang biasanya dipenuhi jamaah karena banyak yang memusatkan diri untuk ibadah di masjid, kini juga harus menyesuaikan diri demi mencegah kemadlaratan yang lebih luas. 

Allah mewajibkan puasa kepada umat Islam bukanlah tanpa alasan. Artinya, ada banyak alasan dan hikmah yang bisa diambil dan diterima oleh umat Islam atas kewajiban melaksanakan ibadah puasa ini. Para ulama tafsir seperti Ibnu Katsir (1301-1372 M) dalam karyanya Tafsir Alquran al-‘Adzim, Imam al-Qurtubi (1214-1273 M) dalam Jami’ li Ahkam Alquran, Wahbah Zuhaili hingga ulama tafsir kontemporer seperti Muhammad Abduh (1849-1905 M) dan Rasyid Ridha (1865-1935 M) dalam tafsir Al-Manar mengartikan Ramadhan sebagai bulan yang penuh pendidikan, kepedulian sosial, kepekaan diri seorang hamba atas instruksi Allah Swt, dan bulan yang penuh dengan keberkahan. Bahkan banyak penelitian yang menyimpulkan bahwa puasa dapat meningkatkan kesehatan seseorang.

Hakikat Puasa

Secara bahasa, puasa berarti “menahan diri”. Sedangkan menurut syara’, puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya dari mula terbit fajar hingga terbenam matahari yang dijalankan semata-mata atas perintah Allah, serta disertai niat dan syarat-syarat tertentu. Ini pengertian puasa sebagaimana diungkapkan oleh jumhur ulama. 

Tegas kata, antara Ramadhan dan puasa tidak ada perbedaan yang prinsipil. Ramadhan adalah bulan puasa dan puasa lebih pada aktivitas yang dikerjakan di bulan Ramadhan.

Puasa di bulan Ramadhan merupakan bagian ibadah kedua setelah shalat dalam rukun Islam. Posisi penting ini menarik untuk ditelaah lebih dalam. Oleh karena itu,  dalam kesempatan ini penulis akan menguraikan beberapa pendapat ulama tafsir tentang pengertian atau hakikat puasa. 

Menurut Ibnu Katsir, puasa mengandung manfaat bagi kesucian, kebersihan, dan kecermelangan diri dari percampuran dengan keburukan dan akhlak yang rendah. Dengan demikian, puasa akan mengantarkan seseorang untuk meninggalkan dan membumihanguskan sifat rakus dan sombong. Selain itu, masih menurut Ibn Katsir, puasa juga dapat mensucikan badan dan mempersempit gerak setan.

Sedangkan menurut Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti dalam Tafsir Jalalain, puasa dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal dan biang keladi maksiat. Lebih lanjut, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menerangkan bahwa puasa adalah upaya pengendalian diri seorang hamba terhadap dua syahwat yang ada dalam diri manusia, yaitu syahwat seks dan syahwat perut yang bertujuan untuk mendidik iradat dan dapat mengekang nafsu.

Bukan “Dalil” Spiritual Distancing

Pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia, juga dunia, menyebabkan segenap pemimpin negara sebagai kelompok yang ditunjuk dan diamanahi untuk mempin negerinya masing-masing mengambil kebijakan guna menghadapi covid-19. Di Indonesia, kebijakan itu mewujud dalam bentuk physical distancing (jaga jarak fisik), bekerja, beribadah dan belajar di rumah (work from home/ stay at home), serta wajib menggunakan masker ketika terpaksa harus keluar rumah.

Sayangnya, kebijakan tersebut dibingkai oleh oknum atau kelompok yang nir-akhlak menjadi faktor kebosanan. Bahkan yang mencengangkan, kebijakan itu diframing atau ditafsirkan secara sempit sebagai pembatasan spiritual (spiritual distancing). Larangan shalat jamaah, menggelar pengajian yang melibatkan banyak umat dan sejenisnya, sekali lagi, dibingkai menjadi kebijakan yang seolah-olah anti-agama.

Kelompok yang berkoar-koar bahwa himbauan tidak boleh shalat berjamaah di masjid dan menggelar acara keagamaan secara besar sebagai kebijakan anti-agama biasanya menggunakan narasi-narasi yang mengarah pada provokasi. Hal ini sebagaimana yang viral di media sosial:

“Tetaplah berjamaah di Masjid!! Jangan mau ditakut-takuti dengan ancaman virus Corona. Masjid adalah rumah Allah dan virus Corona adalah ciptaan Allah. Disini logika keimanan kita diuji. Klo kalian bener2 beriman, untuk apa takut?”

Provokasi di tengah pandemi juga tidak berhenti sampai di ranah agama, melainkan juga pada aspek kehidupan lainnya. Provokasi biasanya telah menyulut emosi seseorang sehingga pada kondisi seperti ini, akal sehat seringkali dikesampingkan sehingga tidak jarang pula masyarakat yang justru ikut terprovokasi. Puncaknya, kegaduhan dan perhatian utama masyarakat untuk melawan Covid-19 terbelah. Tentu saja kondisi seperti ini tidak diinginkan.

Oleh sebab itu, uraian singkat ini hendak menegaskan bahwa social/physical distancing bukan berarti bermakna spiritual distancing. Pemahaman ini adalah pemahaman mayoritas manusia di muka bumi, termasuk ulama sebagai ‘penjaga’ agama dan panutan umat. Berkaitan dengan ini, Nabi Muhammad Saw bersabda: 

إِنَّ أُمَّتِى لَا تَجْتَمِعُ عَلَى ضَلاَلَةٍ

Sesungguhnya umatku tidak akan mungkin bersepakat dalam kesesatan.” (HR. Ibnu Majah No. 3950. Sanad hadits ini dha’if jiddan). Secara subtantif, hadis ini bisa dijadikan pedoman karena isi hadis ini memberikan petunjuk kepada umat Islam untuk selalu mengikuti jamaah, terutama jamaah yang di dalamnya dipenuhi oleh orang-orang alim-ulama yang tulus menyampaikan risalah Islam.

Dari sini dapat dipahami bahwasannya, kebijakan pemerintah tidak bisa dibingkai dalam arti menjaga jarak dalam hal spiritual (anti agama). Karena jika demikian yang terjadi, tidak hanya oknum saja yang menolak, melainkan mayoritas pemuka agama akan menolak. Dengan demikian, phycial distancing bukan spiritual distancing dalam arti anti-agama.

Spirit Puasa

Penulis sepakat dengan pendapat yang mengatakan bahwa spirit puasa di antaranya adalah ruang melatih diri untuk menjaga jarak dengan nafsu dan membatasi emosi negatif dengan praktek menahan lapar dan haus.

Membatasi diri dari berita yang bermuatan provokasi menjadi spirit Ramadhan. Hal ini senada dengan hakikat Ramadhan atau puasa itu sendiri. Sebagaimana yang dikupas pada uraian sebelumnya, bahwa Ibnu Katsir menegaskan bahwa hakikat puasa adalah meninggalkan dan membumihanguskan sifat rakus dan sombong mensucikan badan dan mempersempit gerak setan. Provokasi adalah ‘perbuatan’ setan. Sehingga, gerakan setan itu harus dipersempit dengan menjalankan ibadah puasa sesuai syarat dan ketentuanya.

Puasa juga dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal dan biang keladi maksiat. Hakikat puasa yang disampaikan oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti ini sesungguhnya bisa dikontekstualisasikan lagi dengan membendung provokasi di media sosial. Sebab, kebanyakan provokasi ini disebarkan di media sosial. Dan orang yang turut terprovokasi dan menyebarkan provokasi ini bisa jadi adalah mereka yang tak bisa membendung syahwatnya. 

Puasa, dengan demikian, bisa dimaknai sebagai membendung syahwat pengguna media sosial agar tidak terjerambab pada kubangan provokasi yang diproduksi oleh oknum yang bejat dan tidak bertanggung jawab.

Yang menarik, hakikat puasa, sebagaimana disampaikan oleh Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar, adalah pengendalian diri seorang hamba terhadap dua syahwat yang ada dalam diri manusia, yaitu syahwat seks dan syahwat perut yang bertujuan untuk mendidik iradat dan dapat mengekang nafsu.

Keterangan Buya Hamka di atas jika dikontekstualisasikan dengan konsep provokasi distancing, maka puasa seyogianya berarti menjauhkan seseorang untuk melakukan aktivitas yang dilarang oleh agama, seperti menebar provokasi dan adu domba. 

Patut diduga keras bahwa orang yang memproduksi konten, atau sengaja membingkai kebijakan pemerintah terkait physical distancing menjadi spiritual distancing adalah mereka yang tidak becus mengendalikan syahwat model kedua (syahwat perut). Karena ingin memenuhi keinginan perut, maka ia ‘melacurkan diri’ untuk bergabung ke seseorang atau kelompok yang ingin membuat keonaran dengan modus provokasi.

Oleh sebab itu, puasa menjadi perisai seseorang untuk mengendalikan syahwat yang ada pada dirinya, yang apabila tidak dikendalikan dengan baik, maka ia akan tersesat dan melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak dan sesuatu yang dilarang agama. Mengendalikan syahwat perut dalam kaitannya tidak ikut-ikutan memproduksi dan menyebarkan provokasi sebagai hakikat puasa.

BACA JUGA Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba? Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini