Kultum Ramadhan: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Kultum Ramadhan: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Kemanusiaan sebelum keberagamaan benar-benar merupakan pesan rohani yang amat dahsyat untuk sungguh-sungguh kita refleksikan selalu.

Kultum Ramadhan: Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Sayyidina Ali bin Abi Thalib berkata kepada bawahannya, gubernur Mesir, yakni Al-Asytar al-Nakha’i: “Manusia ada dua jenis: saudaramu yang sama dalam agama atau sama denganmu dalam penciptaan (kemanusiaan).”

Ucapan itu juga sering dinarasikan begini: “Semua kita adalah sesaudara dalam keimanan; jikapun tidak sesaudara dalam keimanan, kita adalah sesaudara dalam kemanusiaan.” Melihat konteks obyek ucapan tersebut yang ditujukan kepada seorang gubernur, dapat diyakini bahwa maksud dan tujuanya adalah agar berbuat adil dan baik kepada semua rakyat, lintas iman.

Sebelum lebih jauh, perlu saya nyatakan di sini bahwa judul ini saya nukil dari kitab Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri, Al-Insaniyah Qabla al-Tadayyun. Jangan salah paham dulu. Jangan dikira ini ajaran untuk menyepelekan otoritas keimanan cum tauhid kepada Allah Swt. Mari lanjutkan baca dulu.

Habib Ali telah menerangkan pada bagian tulisan yang sesuai judul tersebut bahwa statement ini bukanlah berarti keimanan atau keagamaan lebih belakang posisinya dibanding kemanusiaan. Bukan begitu.

Tetapi seyogianya dipahami dengan jernih bahwa perjalanan seseorang dalam memilih beriman dan bertakwa serta terus-menerus meningkatkan kualitasnya membutuhkan tegaknya fondasi nilai-nilai kemanusiaan yang baik sebagai lambaran riil hidup baginya yang niscaya sinambung dengan lelaku amal-amal salehnya. Karenanya, seyogianya sentuhan-sentuhan kemanusiaan perlu dihaturkan terlebih dahulu kepada orang-orang yang hendak memasuki Islam atau beranjak lebih dalam kepada peningkatan derajat keimanan dan ketakwaan.

Pada berbagai kejadian nyata di sekitar kita hari ini, beberapa kali kita menyaksikan sejumlah orang dari ormas-ormas tertentu mendakwahkan Islam tidak dengan menghamparkan sentuhan-sentuhan kemanusiaan itu.

Razia, bentakan, teriakan, makian, hingga gebukan, itu semua jelas bukanlah jalan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan universal–juga jelas bertentangan dengan al-Qur’an surat An-Nahl 125 (“Ajaklah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah/cinta….”) dan asas amar ma’ruf yang wajib dijalankan dengan cara-cara makruf, bukan dengan cara-cara mungkar agar tak menjadi gerakan amar munkar.

Tempo hari, di bulan Ramadhan 2020 ini, hal sejenis kembali terjadi. Sebuah warung yang jualan makanan di siang hari digeruduk dengan kasar dan keras, penuh makian, bentakan, bahkan dikabarkan ibu penjualnya sempat dipukul pakai kayu. Na’udzubiLlah dari syiar Islam berkalang hawa nafsu begitu.

Mari renungkan: apakah benar dengan jalan-jalan kekerasan dan kasar begitu–tidak bersendikan sentuhan nilai-nilai kemanusiaan lebih dulu—lantas syiar makruf itu tertunaikan dan tegak dengan baik, penuh kesadaran? Tidak!

Yang ada justru adalah perlawanan, kebencian, kemuakan, yang bila terus dipendam karena terus terulang-ulang, sungguh rawan meledakkan clash kemanusiaan.

Pertanyaan reflektifnya: “bukankah Islam tidak mengajarkan kekerasan dan kekasaran? Bukankah Islam adalah rahmatan lil ‘alamin? Bukankah Rasulullah Saw tak melakukan makian-makian dan gebukan-gebukan begitu kepada mereka yang hidup di Madinah, di bawah lindungannya, walau tidak seturut beriman kepada syiar Islamnya?

Dan, bukankah Rasulullah Saw justu berwelas-asih, menjalankan nilai-nilai kemanusiaan, yang kemudian berhasil menarik nurani orang-orang untuk memeluk agamanya? Lantas, ajaran siapakah sebenarnya yang kita ikuti jika kita tidak menjalankan nilai-nilai kemanusiaan lebih dulu sebagai tikar lambaran bagi peluang besar untuk syiar keimanan dan keislaman?”

Dalam hadis riwayat Musnad Ahmad, dituturkan seorang lelaki datang ke Mekkah di awal lahirnya Islam. Dia telah mendengar berita tentang Nabi Muhammad Saw, lalu menemuinya. Seorang laki-laki itu langsung bertanya:

“Siapa Engkau?”

Rasulullah Saw menjawab, “Utusan Allah Swt.”

“Siapa yang mengutusmu?”

“Allah Swt.”

“Dengan apa dia mengutusmu?”

“Dengan menyambung tali silaturrahim, menghentikan pertumpahan darah, mengamankan jalan, menghancurkan berhala, dan menyembah Allah Swt semata serta tidak menyekutukanNya dengan sesuatu pun.”

Ia lalu berkata, “ini adalah sebaik-baik yang Engkau bawa, dan aku bersaksi kepadamu bahwa aku beriman kepadamu dan membenarkanmu.”

Habib Ali menerangkan bahwa riwayat tersebut mencerminkan hal-hal kemanusiaanlah yang pertama kali dihamparkan oleh Rasulullah Saw sebelum ketauhidan yang diletakkan di bagian akhir bahkan. Tiga pilar kemanusiaan tersebut adalah, pertama, menyambung tali silaturrahim; ikatan sosial (keamanan sosial), kedua, menghentikan pertumpahan darah; nilai kehidupan (jaminan kehidupan), dan ketiga, mengamankan jalan; yaitu jalan-jalan umum (keamanan dan ketertiban umum). Barulah kemudian dinyatakan “menghancurkan berhala dan menyembah Allah Swt semata.

Bukankah ini adalah sebenar-benarnya penghamparan nilai-nilai luhung kemanusiaan di depan keberagamaan seseorang dan kita semua bahkan?

Bukankah ini selaras betul dengan perintah amar ma’ruf nahi munkar maupun dakwah Islam dalam al-Qur’an yang mewajibkan kita untuk menjalankannya dengan (1) hikmah (cinta kemanusiaan), (2) nasihat-nasihat yang baik, dan (3) (jika diperlukan) perdebatan yang dibingkai dengan ahsan (lebih baik, kebaikan, atau kerahmatan cum kemanusiaan).

Fakta naqli ini akan makin tak terbantahkan kalau kita wedarkan lagi di sini bagaimana hamparan nilai-nilai kemanusiaan diluaskan seluasnya oleh Rasulullah Saw saat Fathu Mekkah. Orang-orang musyrik Quraisy yang memusuhi Beliau Saw selama ini di tengah ketaklukan mereka kepada 10.000 prajurit Islam–yang digambarkan oleh Abu Sufyan sebagai kekuatan yang tak terdandingi kekuatan manapun—bukannya dipaksa dengan kasar dan keras lebih dahulu untuk wajib memeluk Islam, melainkan dijamin keselamatan dan keamanan jiwanya, juga hartanya, anak-turunnya, dan seluruh yang melekat padanya.

Hadza yaumul marhamah wa laisa hadza yaumul malhamam wa antum tulaqa, ini adalah hari kasih sayang dan bukanlah hari pembalasan kebencian, dan kalian semua bebas!” begitu pekik Rasulullah Saw di hadapan kaum Quraisy. Bukankah ini adalah sebenar-benar hamparan nilai-nilai kemanusiaan hingga berhasil menyentuh nurani kaum Quraisy untuk kemudian dengan penuh kesadaran memeluk agama Islam?

Surat Ali Imran 159: “Maka disebabkan rahmat dari Alah Swt lah kamu bisa bersikap lemah lembut kepada mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampunan bagi mereka, dan berembuklah dengan mereka dalam urusan itu….

Habib Ali membenderangkan renungannya dengan ungkapan berikut:

Kondisi orang-orang yang kehilangan prioritas-prioritas hak hidup dengan baik, kebebasan memilih dan memperoleh keadilan, tidak dapat menjadi jalan baginya dalam memahami keagungan hubungan dengan hakikat tauhid yang murni, atau merasakan lezatnya iman kepada Allah Swt. Tanpa ‘jaminan kehidupan’, ‘keamanan sosial’, dan ‘keamanan umum’, manusia tidak dapat memiliki kebebasan memilih yang matang. Oleh karena itu, pilihannya tidak dapat menjadi pilihan yang sebenarnya, tetapi menjadi seperti darurat dan terpaksa secara maknawi.

Bahkan akal yang merupakan tempat menerima perintah tidak dapat melihat perkara dengan bebas dan mandiri ketika tidak ada rasa aman, sehingga pilihannya tidak menjadi pilihan yang sebenarnya dan keputusan-keputusannya tidak matang.

Hati yang merupakan rumah dan gudangnya iman tidak dapat menemukan ketenangannya ketika tidak berdasarkan pada ajaran-ajaran fitrah manusia yang benar ini. Karenanya, betapapun seseorang mengira bahwa imannya telah kuat, tetapi dia tidak peduli kepada ikatan-ikatan kemanusiaan, maka bangunan keimanan di hatinya hanyalah berada di tepi jurang yang akan segera runtuh pada awal guncangan yang menimpanya.

Iman itu menetap di hati manusia. Perhatikan dengan baik kata-kata ini: ‘Iman itu menetap di dalam hati mansuai!’

Maka bila tanpa ‘hati manusia’, tidak ada ketetapan yang hakiki bagi iman, serupa apa pun bentuk ibadah yang dilakukannya atau bagaimanapun ia membaca firman Allah Swt dengan tartil….”

Mari renungkan dalam-dalam, dalam-dalam….

Saya telah banyak membicarakan tentang muasal bibit Khawarij pasca Perang Hunain yang terkait dengan seseorang yang ikut berperang bersama Rasulullah Saw, bernama Abdullah bin Dzil Khuwaisirah. Saya juga telah banyak menyinggung tentang luar biasanya ilmu dan amal ibadah sang pembunuh Sayyidina Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Muljam. Saya takkan mengulanginya di sini.

Akan tetapi, jika sirah kedua nama itu dirujukkan kepada sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri  dan disahihkan Bukhari dan Muslim ini (“….kalian merasa shalatnya, puasanya, dan bacaan al-Qur’annya tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan shalat, puasa, dan bacaan al-Qur’an mereka, namun mereka keluar melesat dari agama ini seperti anak panah keluar dari busurnya…”) dan disublimkan dengan nasihat rohani Habib Ali di atas (“bila tanpa ‘hati manusia’, tidak ada ketetapan yang hakiki bagi iman, serupa apa pun bentuk ibadah yang dilakukannya atau bagaimanapun ia membaca firman Allah Swt dengan tartil”), kita dapat menarik kesimpulan kokoh betapa sungguh nyata sentuhan-sentuhan kemanusiaan mesti selalu kita kedepankan kepada siapa pun dalam kehidupan ini –termasuk dalam rangka syiar, dakwah, dan amar ma’ruf nahi munkar.

Al-Insaniyah Qabla al-Tadayyun, kemanusiaan sebelum keberagamaan, benar-benar merupakan pesan rohani yang amat dahsyat untuk sungguh-sungguh kita refleksikan selalu.

Tepat pada konteks inilah saya kira nasihat (perintah) Sayyidina Ali bin Abi Thalib kepada anak buahnya (seorang gubernur) yang tentu memiliki power dan otoritas penuh kepada seluruh orang di bawah kekuasaannya menjadi sangat relevan dan berharga bagi urgensi pengibaran nilai-nilai kemanusiaan di atas tendensi apa pun.