“Guru, kami menghadiri pengajian di tempat lain, pengajian fiqh, tafsir, hadits, dan lainnya, tetapi mengapa rasanya berbeda dengan pengajian anda? Padahal anda hanya mengajarkan akhlak dan adab?” pertanyaan ini diajukan oleh seorang murid kepada gurunya, Syaikh Ali Daqar.
“Wahai anakku, kalau bukan karena perlu aku tidak akan berbicara mengenai hal ini. Begini, pengajian yang kamu dengar ini tidak ada apa-apanya jika bukan karena dukungan 10 juz al-Qur’an sebelum fajar yang aku niatkan semoga apa yang aku katakan bermanfaat bagi umat.”
Syekh Ali Daqar, siapa beliau ini? Masyarakat Hauran, perbatasan Suriah dan Yordania; dan orang-orang Damaskus menjulukinya sebagai “Pria yang digunakan Allah untuk menghidupkan umat.”
Syaikh Ali lah yang mulai menghidupkan hati umat pada saat ghirah keberagamaan umat Islam luntur akibat pergolakan politik dan kawasan Syam yang compang camping usai Perang Dunia I.
Syaikh Ali memang tidak bicara muluk-muluk dan tidak mengajarkan keilmuan yang berat kepada umat. Beliau mengajar dan mendidik umat dengan salah satu pilar terbesar Islam: Akhlak. Tapi yang lebih penting adalah rahasia di balik pengajarannya: beliau melumuri usaha pecerdasan ini dengan keberkahan 10 juz al-Qur’an menjelang fajar. Ini yang, saya kira, lebih penting. Kisah di atas dikisahkan oleh Prof. Musthafa Saied al-Khin yang dikutip oleh Ustadz Saef Alemdar di dinding fesbuknya, pada suatu ketika.
Para ulama sejati senantiasa menyelesaikan urusan dirinya terlebih dulu sebelum mengurus orang lain, atau dalam istilah Emha Ainun Nadjib, “mereka yang telah selesai dengan dirinya sendiri”. Mereka tidak lagi direpotkan dengan urusan citra diri, reputasi, dan remah-remah keduniawian. Mereka keras terhadap diri sendiri, namun lembut kepada orang lain.
Mereka terlebih dulu membebani dirinya dengan segala macam perilaku yang bisa memudahkan umat. Ibaratnya, mereka memanjat pohon kelapa, memetik buahnya, lalu mengolahnya dengan segenap kemampuannya. Tujuannya agar umatnya lebih mudah dan praktis menikmati olahannya. Mereka melihat umat dengan kacamata hakikat, sedangkan kepada dirinya sendiri mereka menerapkan standar syariat yang ketat.
Di Tebuireng, KH. Idris Kamali, salah seorang menantu KH. M. Hasyim Asy’ari, membuka kelas khusus (takhassus) untuk mendidik para santri pilihan. Syaratnya berat, selain harus menghafal beberapa juz al-Qur’an juga harus hafal 1000 bait Alfiah Ibn Malik. Syarat lainnya, para santri pilihan ini harus senantiasa bermakmum shalat jamaah di belakang Kiai Idris. Apabila ketahuan bolos tidak berjamaah, maka gugurlah status santri takhassus ini. Di kemudian hari, para santri Kiai Idris menjadi ulama di daerah masing-masing: Prof. Ali Musthafa Ya’qub (Jakarta), Prof. Tolchah Hasan (Malang), KH. Zubaidi Muslih (Jombang), KH. Abdurrasyid Maksum (Jakarta), Prof. Dr. Jamaluddin Miri (Surabaya), KH. Ismail Makmun (Tegal), KH. Ishaq Latif (Tebuireng), KH. Syuhada Syarif (Jember, saking cintanya kepada sang guru, saat sang putra lahir beliau menamakan buah hatinya dengan nama Haidar Idris, semata-mata tabarrukan[1] dan tafaulan[2] kepada sang guru), KH. Said Aqil Siraj (berguru saat Kiai Idris bermukim di Makkah) dan sebagainya.
Di antara keistimewaan yang dimiliki oleh Kiai Idris Kamali ini, beliau tidak pernah mengajar santri kecuali setelah shalat sunnah beberapa rakaat dilanjut dengan mendoakan para santrinya. Ini belum termasuk riyadlah batiniyah lainnya. Kiai Idris menyelesaikan urusan dengan dirinya, karena itulah beliau fokus, sangat fokus, mencurahkan perhatiannya, ilmunya, dan riyadlahnya kepada para santri.
Di Solo, ada Kiai Umar Abdul Mannan, sang pecinta al-Qur’an, yang meminta dituliskan daftar nama santri nakal, bukan untuk dihukum, melainkan dibacakan satu persatu dalam munajat malamnya, dimohonkan keberkahan ilmu agar para santri mbeling kelak menjadi manusia yang bermanfaat. Dan, benar, KH. A. Mustofa Bisri dalam sebuah ceramahnya pernah menyebutkan apabila ada seorang santri nakal Kiai Umar yang di kemudian hari menjadi pengasuh pesantren berkat munajat malam gurunya.
Kiai Idris dan Kiai Umar, bagi saya, adalah wujud konsistensi seorang mentor yang menempa para kadernya dengan ketelatenan di atas rata-rata dan tanpa mau memamerkan dukungan ini kepada para kadernya, apalagi mengungkit-ungkit jasanya. Sebagaimana Brom, pencerita asal Carvahall, yang dengan telaten membimbing Eragon yang lugu menjadi penunggang naga yang lincah dan tangguh dalam epos “Eragon”, demikian juga dengan manusia-manusia mulia yang saya sebutkan di atas.
Di dunia ini ada banyak manusia mulia semacam Syekh Ali Daqar, Kiai Idris Kamali dan Kiai Umar Abdul Manan. Mereka adalah server ruhani yang tidak pernah mati, yang menyediakan diri sebagai tumpuan mereka agar koneksi jiwa para santri dan umat tetap terjaga. Mereka adalah “manusia ruang” yang menyediakan perabot dengan segala bentuknya berjejalan di dalamnya. Manusia ruang—dalam istilah Cak Nun– tidak membutuhkan tempat, melainkan justru menyediakan tempat bagi siapapun yang bernafas, butuh tempat, butuh lokasi bersandar, butuh bimbingan ruhani, butuh didengarkan, butuh kenyamanan dan “butuh lainnya”. Banyak orang yang tak menyediakan ruang bagi orang lain, karena dirinya dipenuhi hanya oleh dirinya sendiri, ia sekadar perabot yang tak bisa ditempai oleh perabot lain, dan justru hidup untuk berebut ruang bagi dirinya sendiri belaka.
Karena sudah menjadi “manusia ruang”, maka para tokoh yang saya sebutkan di atas lebih memprioritaskan pengosongan ruang hatinya lalu diisi dengan empati dan simpati. Soal falsafah kosong-mengosong ini, saya jadi ingat Markesot—yang saya anggap sebagai alter ego-nya Cak Nun dalam serial “Markesot Bertutur”. Tatkala Markesot belajar silat kepada pendekar Mataram, alih-alih diajari ilmu menggunakan tombak, dia malah dicekoki ilmu filosofi tombak.
“Semakin panjang tombak seseorang,” kata pendekar itu, “berarti makin rendah ilmunya. Orang yang lemah, memerlukan alat yang panjang, sepanjang mungkin untuk melindunginya. Orang yang agak sakti, cukup pendek saja tombak pelindungnya. Orang yang top kesaktiannya, tak memerlukan senjata. Ia cukup hidup dengan tangan kosong.”
Tangan kosong adalah tangan yang jujur dan apa adanya. Tangan yang tak menggenggam apa-apa, tak memiliki apa-apa, tak dibebani apa-apa. Justru karena itu, pendekar tangan kosong malah disegani, karena ia telah menyelesaikan urusan dengan dirinya, dengan egonya.
WAllahu A’lam Bisshawab
[1] Mengambil keberkahan
[2] Menanamkan optimism kepada diri sendiri