Makan Gratis: Dari Era Nabi, Sahabat, Khalifah, Hingga Prabowo

Makan Gratis: Dari Era Nabi, Sahabat, Khalifah, Hingga Prabowo

Makan Gratis: Dari Era Nabi, Sahabat, Khalifah, Hingga Prabowo
Makan Bergizi Gratis (Foto: Melihat Indonesia)

Makan Bergizi Gratis (MBG) yang mulai diluncurkan pada 6 Januari 2025 menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Program ini bertujuan menyediakan makanan bernutrisi bagi siswa di sekolah-sekolah negeri, terutama yang berada di wilayah terpencil dan kurang mampu. Harapannya, dapat meningkatkan konsentrasi belajar dan gizi anak-anak Indonesia, MBG dicanangkan sebagai solusi untuk menekan angka malnutrisi.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, tradisi memberikan makanan secara cuma-cuma kepada orang lain bukanlah hal yang asing. Tradisi ini mencerminkan kedermawanan dan kepedulian sosial yang menjadi bagian dari ajaran Islam. Bahkan, tindakan ini memiliki dimensi spiritual yang mendalam, sebagaimana tercermin dalam berbagai riwayat dan kitab-kitab klasik. Jika dibandingkan dengan konsep makan gratis modern, seperti yang digagas oleh Presiden Prabowo, ada perbedaan mendasar dalam tujuan dan pelaksanaannya.

Makan Gratis di Masa Nabi dan Para Sahabat

Pada masa Nabi Muhammad SAW, memberi makan kepada orang lain adalah salah satu bentuk ibadah dan ekspresi solidaritas sosial. Rasulullah SAW sendiri sering menyediakan makanan bagi tamu, orang miskin, dan kaum dhuafa. Dalam Shahih Bukhari, Rasulullah bersabda: “Orang terbaik di antara kalian adalah yang memberikan makanan kepada orang lain dan menyebarkan salam.” (HR. Bukhari, no. 6236). Hal ini menunjukkan bahwa memberikan makanan bukan hanya soal memenuhi kebutuhan fisik, tetapi juga mempererat hubungan sosial.

Salah satu contoh nyata dari tradisi ini adalah perhatian Nabi terhadap Ahlus Shuffah, kelompok fakir miskin yang tinggal di Masjid Nabawi. Mereka sering menerima makanan dari Rasulullah SAW maupun para sahabat. Dalam kitab Fathul Bari karya Ibnu Hajar al-Asqalani, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW kerap mengutamakan kebutuhan mereka meskipun beliau sendiri hidup dalam kesederhanaan.

Kedermawanan ini berlanjut pada masa para sahabat. Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, dikenal sering berjalan malam untuk memastikan tidak ada rakyatnya yang kelaparan. Dalam Tarikh al-Tabari dan Siyar A’lam an-Nubala’ karya Adz-Dzahabi, disebutkan kisah Umar yang membawa makanan kepada seorang ibu yang tidak mampu memberi makan anak-anaknya. Umar bahkan menerapkan kebijakan pemberian makanan gratis kepada masyarakat miskin sebagai bentuk tanggung jawab pemimpin kepada rakyatnya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin dari Bani Umayyah, membawa kebijakan ini lebih jauh. Dalam kitab Tarikh Khalifah Umar bin Abdul Aziz karya Ibnu Abdil Hakam, diceritakan bahwa ia mendirikan dapur umum untuk memastikan tidak ada seorang pun yang kelaparan di bawah pemerintahannya. Kebijakan ini tidak hanya memenuhi kebutuhan dasar masyarakat, tetapi juga menciptakan rasa keadilan dan kesejahteraan sosial.

Memberi makan kepada orang lain memiliki dasar teologis yang kuat dalam Islam. Al-Qur’an dalam surah Al-Insan ayat 8-9 memuji orang-orang yang memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan:

“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan. Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kalian maupun ucapan terima kasih.”

Ayat ini menegaskan bahwa motivasi utama dari memberi makan adalah mencari ridha Allah, bukan penghargaan duniawi. Hal ini menciptakan dimensi spiritual yang mendalam dalam setiap tindakan kedermawanan.

Perbandingan dengan Program Makan Gratis Presiden Prabowo

Konsep makan gratis yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto dalam program pemerintahannya memiliki semangat yang serupa, yaitu untuk memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan. Namun, ada perbedaan mendasar dalam tujuan dan pelaksanaannya.

Pada masa Nabi dan para sahabat, pemberian makanan dilakukan secara langsung oleh individu atau komunitas kecil dengan motivasi spiritual. Tidak ada sistem birokrasi atau program terstruktur; segala sesuatu didasarkan pada rasa tanggung jawab pribadi dan kolektif. Misalnya, Nabi dan para sahabat memberikan makanan kepada siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang latar belakang sosial atau politik.

Sebaliknya, program makan gratis modern seperti yang digagas Presiden Prabowo melibatkan mekanisme negara. Program ini dikelola melalui kebijakan yang terorganisir, dengan pendanaan dari anggaran negara. Tujuannya adalah menciptakan jaringan perlindungan sosial yang lebih luas dan sistematis. Fokusnya bukan hanya pada aspek solidaritas, tetapi juga sebagai strategi untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi secara nasional.

Namun, program ini juga menuai kritik. Banyak pihak menilai bahwa program makan gratis ini terlalu kontroversial dan membebani keuangan negara, sehingga program-program lain yang juga penting harus ditangguhkan. Selain itu, kebijakan ini dianggap bersifat politis dan populis, lebih bertujuan untuk menepati janji kampanye daripada menjadi solusi jangka panjang yang berkelanjutan. Transparansi dan efektivitas dalam implementasi program ini juga menjadi tantangan besar yang perlu diperhatikan. Pada beberapa hari setelah program makan bergizi gratis ini dimulai, sudah mulai muncul masalah, mulai dari menu yang kurang proporsional hingga sasaran sekolah yang kurang maksimal. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan program ini membutuhkan perencanaan yang lebih matang dan evaluasi berkelanjutan agar benar-benar dapat memberikan manfaat yang maksimal.

Wallahu a’lam.