Salah satu corak penafsiran yang digunakan oleh para ahli tafsir, dalam menafsirkan Al-Qur’an diantaranya adalah corak penafsiran Isyari. Penafsiran Isyari merupakan salah satu corak dalam penafsiran, yang menafsirkan Al-Qur’an dengan sebuah pemaknaan yang bukan berasal dari makna lahiriyahnya saja, tetapi karena adanya isyarat samar yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual, yaitu para sufi. Biasanya hal ini terdapat dalam kitab-kitab tafsir sufistik.
Salah satu kitab tafsir yang bercorak sufistik, adalah kitab Latha’if al-Isyarat karya Imam Al-Qusyairi. Imam Al-Qusyairi sendiri merupakan seorang tokoh sufi besar Islam, yang berasal dari Naisabur. Yang pemikiran dan kitab-kitabnya, menjadi rujukan dalam kajian tasawuf di dunia. Beliau lahir di Naisabur pada tahun 375 H/ 986 M. dan wafat pada tahun 465 H/1072 M.
Dalam menyusun kitab Latha’if al-Isyarat, Imam al-Qusyairi menggunakan pendekatan penafsiran yang bercorak tasawuf (Penafsiran Isyari), tetapi manhaj (metode) yang digunakan oleh Imam Al-Qusyairi dalam menyusun kitabnya berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang bercorak sufi lainnya.
Dalam kitabnya tersebut, Imam Al-Qusyairi mencoba memadukan antara potensi kalbu dengan akal, sehingga kitab tersebut mudah untuk dipahami karena menggunakan redaksi yang sederhana, jelas dan ringan.
Nama Latha’if al-Isyarat dipilih Imam Al-Qusyairi, dikarenakan kata isyarat biasa digunakan sebagai sebuah bahasa bagi pecinta yang dicintai. Bahkan, kata isyarat juga akan membawa kepada bentuk penyanjungan kepada yang dituju. Namun, tidak dengan bahasa yang verbal. Sebab, sebuah bahasa tidak bisa mewakili rasa cinta yang sangat mendalam dari seorang pecinta kepada yang dicintai. Sebagaimana firman-firman Allah SWT yang mengandung rahasia, dan hanya bisa di ungkap dengan pendekatan-pendekatan tasawuf.
Sebagaimana para ahli tafsir lainnya, Imam Al-Qusyairi dalam penafsirannya juga menukil berbagai riwayat dari para pendahulunya. Beliau juga sering mencantumkan beberapa riwayat hadis, baik itu yang bersifat shohih maupun daif, hanya saja beliau tidak mencantumkan perawinya dari segi isyari atau qouli. Dalam tafsirnya, Imam Al-Qusyairi juga sering memakai redaksi قيل atau يقال. Selain itu, ia sering mencantumkan nama para ulama sufi yang beliau kutip dalam penafsirannya.
Kaidah-kaidah bahasa dan sastra digunakan oleh Imam Al-Qusyairi hanya pada ayat-ayat yang tidak bisa dipahami jika tidak menggunakan kaidah tersebut. Hal itu juga beliau lakukan terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan ilmu kalam. Dalam tafsirnya tersebut, Imam Al-Qusyairi juga hanya menyampaikan pendapat ulama-ulama fikih pada ayat-ayat hukum, tanpa membahasnya lebih khusus.
Dalam kitab tafsir Latha’if al-Isyarat, sering juga menyajikan kisah-kisah Israilliyat, khususnya kisah-kisah para Nabi dan umat terdahulu. Kitab tafsir Latha’if Isyarat berbeda dengan yang kitab lainnya, dan berada di luar kebiasaan.
Saat para penafsir yang lain selalu berpedoman pada perangkat atau ilmu tentang tafsir, seperti bahasa Arab, Nahwu, Shorof. Tafsir Latha’if al-Isyarat menampilkan sebuah model yang berbeda, di mana tafsir ini menafsirkan sebuah ayat dengan berdasarkan pengaruh dari perasaan seorang sufi. Yaitu sebuah pemahaman, yang didapat setelah melakukan mujahadah dengan berpegang teguh pada karunia Allah SWT.
Sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah tafsir Latha’if al-Isyarat, metode yang digunakan Imam Al-Qusyairi adalah sebagai berikut: Pertama, dengan menukil ucapan, pendapat atau kaidah dari orang shaleh yang diyakini sebagai orang yang suci. Kedua, dengan pemahaman Imam Al-Qusyairi yang merupakan seorang yang ahli tasawuf.
Tafsir Latha’if al-Isyarat, merupakan kitab tafsir yang menjelaskan tentang isyarat-isyarat yang terkandung dalam Al-Qur’an, dengan pemahaman yang dilakukan oleh ahli ma’rifat, baik itu dari ucapan mereka maupun kaidah yang mereka buat.
Tafsir Latha’if al-Isyarat sepenuhnya adalah tafsir yang bercorak Isyari (sufistik) banget, dan berbeda dengan tafsir-tafsir sufistik lainnya. Misalnya seperti tafsir Ruh al-Ma’ani karya Al-Alusy, yang tidak semuanya ditafsirkan dengan Isyari, melainkan perpaduan Isyari dengan lughowi (bahasa).
Selain menjadi rujukan dalam kajian ilmu tasawuf, kitab tafsir Latha’if al-Isyarat juga mempunyai hubungan erat dengan kajian psikologi Islam. kitab tafsir Latha’if al-Isyarat juga menjadi acuan kitab-kitab tafsir pada masa selanjutnya yang bercorak sufi. Tercatat pada abad ke 7 H, ada dua kitab tafsir terkenal yang banyak dipengaruhi tafsir Lathai’if al-Isyarat, yaitu ‘Ara’is al-Bayan fi Haqaiq Al-Qur’an karya Ruzbihan bin Abi Nasr al-Baqli asy-Syairazi, dan tafsir Bugyat al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an karya Umar bin Muhammad bin Abdillah as-Suhrawardi.
Sebagaimana teologi yang dianut oleh para pengikut sufi, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah. Kitab tafsir yang bercorak sufistik ini dalam menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan teologi, menolak keras paham Mujassimah. Dan dalam menafsirkan huruf-huruf Muqattha’ah yang ada di awal-awal surah, para ahli tasawuf mempunyai pandangan tersendiri.
Misalnya dalam Latha’if al-Isyarat, Imam Al-Qusyairi ketika memberikan penafsiran tentang “Alif, Lam, Mim” awal Surah Al-Baqarah. Beliau berpendapat bahwa menurut para ahli hakikat, huruf Muqattha’ah merupakan huruf pembuka dari nama-nama-Nya. Misalnya huruf “Alif” berarti “Allah”, huruf “Lam” menunjukkan pada nama-Nya yang “Lathif”, sedangkan huruf “Mim” menunjukkan nama-Nya “Majid dan Mulk”. Walaupun begitu, beliau tetap mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut hanya Allah SWT yang mengetahui maknanya.
Wallahu A’lam.