Anda mungkin membaca catatan ini di pagi hari, atau sambil duduk santai melepas senja, ditemani secangkir kopi. Sebelum membaca catatan ini mungkin anda tidak pernah berpikir apakah secangkir kopi di hadapan anda itu halal atau haram menurut ketentuan hukum Islam.
Memang, belakangan ini pernah ada perdebatan tentang kebolehan kopi Luak, kopi yang diproduksi dari tai musang. Tapi itupun segera dianggap halal oleh fatwa ulama dengan berbagai alasan. Secara umum umat Islam zaman sekarang tidak pernah mempermasalahkan apakah kopi haram atau halal untuk dikonsumsi, termasuk anda dan saya.
Tapi tidak demikian untuk para santri, pelajar, ulama dan rakyat biasa di Yaman, Aleppo, Kairo, Intanbul atau Mekah dan Medina pada sekitar tahun 1500an.
Para Sufi di negeri Yaman diyakini sebagai kelompok yang pertama-tama menyeduh dan membiasakan meminum kopi sejak awal 1400an. Tentu kebiasaan minum kopi sudah lebih tua dari itu.
Hanya saja, kebiasaan “ngopi”, kegiatan meminum kopi untuk tujuan berkumpul atau tujuan sosial lain selain untuk dikonsumsi, baru dimulai abad ke-15 di Yaman oleh para Sufi. Untuk apa?
Sama seperti anda meminum kopi malam hari untuk menunggu siaran sepak bola tengah malam, para Sufi meminum kopi agar kuat berdzikir semalaman. Kopi membuat mata melek. Sebagian sufi bahkan menjadikan kegiatan menyeduh kopi sebagai bagian dari ritual dzikir mereka.
Dari negeri Yaman inilah kebiasaan menyeduh dan meminum kopi menyebar ke seluruh dunia Muslim, untuk pertama kalinya sebelum kemudian ke seluruh dunia seiring dengan datangnya kolonialisme dan lantas globalisasi.
Dan jangan lupa, jika kopi yang anda minum adalah jenis Arabica, maka itu karena jenis tersebut adalah yang dahulu di konsumsi orang-orang di kawasan Arabia.
Ketika kopi menyebar ke dunia Muslim saat itu, bahkan sudah biasa di konsumsi di Kairo dan Al-Azhar, Makah dan Madinah, perdebatan kehalalan minuman yang satu itu muncul. Bahkan kontroversi tentang kopi ini bukan kontroversi biasa saja.
Kopi nyatanya pernah menjadi isu serius. Ralph S. Hattox, sarjana yang menulis buku dengan judul Coffee and Coffeehouse, the Origin of a Social Beverage in the Medieval Near East bahkan menyebut kontroversi seputar kopi ini dengan sebutan “the Great Coffee Controversy”.
Cerita dan perdebatannya tentu saja panjang sekali sehingga tidak mungkin dibahas di sini. Namun sederhananya cerita tentang kontroversi itu begini:
Khāʿir Beg pada tahun 1511 adalah perwakilan kesultanan Mamlūk di Mekah yang bertugas sebagai kepala pengawas pasar (muḥtasib). Mungkin semacam badan pengawas obat dan makanan serta pengawas perdagangan secara umum pada masa itu.
Beg menyaksikan bagaimana kopi tiba-tiba menjamur di pasaran. Warung-warung kopi, yang dalam istilah Hottox disebut sebagi Coffeehouses, semacam tempat orang duduk kongkow menikmati kopi sambil berosialiasi dan membunuh waktu, tiba-tiba juga menjadi trend.
Ia lalu merasa bingung bagaimana menyikapi merebaknya jenis minuman yang sebelumnya jarang bahkan tidak di kenal di Mekah itu. Ia juga merasa perlu meregulasi kegiatan berkumpul dan bersosialisasi di warung kopi yang sebelumnya tidak pernah ada pula.
Atas restu penguasa Mamlūk yang berpusat di Kairo, Beg memutuskan untuk mengundang para ahli hukum Islam dan para ulama untuk berkumpul dan mencoba memecahkan dua persoalan: pertama, apakah kopi diperbolehkan (halal atau mubah) atau haram?
Kedua, terlepas dari status boleh atau tidaknya mengkonsumsi kopi, ulama harus memutuskan hukum apakah diperbolehkan melakukan kongkow-kongkow, kumpulan bersosialisasi dan kegiatan lain yang terkait dengan konsumsi kopi.
Dengan kata lain, untuk yang kedua ini ulama diminta untuk memutuskan kebolehan setiap kumpulan yang terkait dan terinspirasi kopi. Mungkin untuk memudahkan imajinasi anda, ulama saat itu diminta untuk menentukan status kebolehan atau keharaman ngopi dan nongkrong di kafe.
Anda mungkin tidak pernah membayangkan bahwa bertemu dan berkumpul dengan kawan di warung kopi ditemani secangkir kopi pada masa Beg di awal abad ke 16 adalah sebuah kegiatan haram, sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh para ulama. Tapi itulah keputusan ulama yang berkumpul atas inisiatif Khāʿir Beg.
Lebih jauh ijtima ulama itu menyarankan otoritas Mamlūk untuk memberantas kongkow-kongkow sambil ngopi.
Apakah anda pernah membayangkannya? Bahkan oleh saya sebelum membaca studi tentang kopi dalam hukum Islam tidak pernah terbayangkan pula.
Tentu ada alasan praktis-politis di balik fawa ulama Mekah atas haramnya kongkow di warung kopi. Kita tidak perlu membahasnya di sini sekarang.
Namun hal penting yang ingin saya sampaikan adalah: pada suatu masa, ngopi di kafe pernah secara hukum diharamkan dalam tradisi hukum Islam di satu wilayah Muslim.
Jika ada ulama yang berpandangan demikian sekarang mungkin saja akan jadi bahan tertawaan. Tapi itulah keputusan ulama Mekah pada abad ke 16!
Untuk pertanyaan tentang kehalalan kopi itu sediri, para ulama di Mekah waktu itu berbeda pendapat, seperti pada umumnya persoalan dalam hukum Islam disikapi.
Secara umum pendapatnya mengikuti prinsip dasar jurisprudensi (uṣul fiqh) Islam: kopi diperbolehkan sampai ada bukti yang menunjukan sebaliknya. Jika kopi mengandung unsur dan zat yang memabukan atau zat yang mengandung racun yang berbahaya bagi tubuh, maka kopi menjadi haram.
Catatan sejarah menunjukan bahwa perdebatan itu akhirnya melibatkan juga ahli kedokteran—dunia medis di dunia Muslim waktu itu sangat maju.
Menariknya, kesaksian ahli kedokteran di Mekah waktu itu mengatakan bahwa kopi mengandung banyak unsur yang merugikan dan bahkan membahayakan tubuh. Dan, karena itu pula ijtima ulama di Mekah atas prakarsa Beg di awal abad 16 itu berkesimpulan bahwa kopi haram dan larang.
Atas fatwa itu, Beg segera mengeluarkan larangan peredaran dan konsumsi kopi di Mekah. Ia bahkan membakar warung-warung penjual kopi. Ia juga menjatuhi hukum cambuk orang yang ketahuan mengkonsumsinya.
Tentu ada banyak contoh bagaimana normativitas, pelembagaan, determinasi dan praktik hukum Islam berubah dan berevolusi. Perbudakan, perlakuan tawanan perang, kewajiban jizya untuk non-Muslim dan lain-lain sering dijadikan contoh dinamika perubahan hukum dalam islam. Tapi di sini secara sengaja mengambil kasus kopi karena belum banyak yang mengetahuinya, selain juga contoh ini cukup kontras dalam keseharian kita.
Apakah anda pernah membayangkan bahwa pada suatu masa, meninum kopi dan nongkrong di warung kopi bersama teman pernah dinyatakan dilarang? Saya yakin anda tidak pernah membayangkannya. Tapi itulah dinamika tradisi.