Sejarah Konflik Israel-Palestina (4): Perang Enam Hari yang Bersejarah

Sejarah Konflik Israel-Palestina (4): Perang Enam Hari yang Bersejarah

Negara-negara Arab mulai gerah dengan sikap angkuh Israel. Mereka mulai membantu Palestina untuk melatih para gerilyawan Palestina.

Sejarah Konflik Israel-Palestina (4): Perang Enam Hari yang Bersejarah

Penolakan kepulangan warga Palestina ke tanah airnya oleh pemerintah Israel menuai kecaman. Negara-negara Arab mulai gerah dengan sikap angkuh Israel. Mereka mulai membantu Palestina untuk melatih para gerilyawan. Usaha ini terutama disponsori oleh Mesir yang melatih gerilyawan Palestina di Gurun Sinai. Kelompok gerilyawan ini kemudian aktif melakukan serangan ke berbagai wilayah Israel.

Pada 1964, Organisasi Pembela Palestina (PLO) berdiri. Cita-citanya adalah untuk memerdekakan Palestina dari kependudukan Israel dengan batas wilayah sesuai yang direkomendasikan oleh PBB pada tahun 1947. Memusnahkan Zionisme dari tanah Palestina juga menjadi tujuan PLO.

Gelagat Mesir dalam mendanai dan melatih gerilyawan Palestina mulai tercium oleh Israel. Karenanya, Israel memutuskan untuk menyerbu Mesir terlebih dahulu. Dimulailah Perang Enam Hari pada 5 Juni 1967. Israel mengawali peperangan dengan dua gelombang serangan udara yang menghancurkan 286 pesawat tempur Mesir. Tiga hari berikutnya, Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser menyepakati gencatan senjata.

Merespon serangan Israel atas Mesir, Yordania mengirimkan pasukannya untuk menyerang Tel Aviv. Israel menghimbau Yordania agar tidak ikut campur. Himbauan tersebut diabaikan, akhirnya Israel melakukan serangan balik terhadap Yordania. Pada 8 Juni, Israel berhasil menguasai Tepi Barat dan menandakan mundurnya pasukan Yordania.

Pada saat bersamaan, Suriah juga mengirimkan tentara dan artilerinya dari arah Dataran Golan. Artileri Suriah menghujani wilayah Israel dengan serangan bertubi-tubi. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Mesir dan Yordania, militer Israel menuju Dataran Golan untuk menghadapi serangan Suriah. Tidak lama kemudian, Suriah menyerahkan Dataran Golan pada Israel sebagai tanda kekalahan.

Perang Enam Hari selesai dengan kemenangan mutlak di tangan Israel. Perang ini membuat Israe menguasai Jalur Gaza dan Gurun Sinai yang sebelumnya dikuasai Mesir serta Tepi Barat dan Dataran Golan dari Yordania. Terdapat kurang lebih satu juta warga Palestina yang kini tinggal di bawah kekuasaan Israel setelah Perang Enam Hari.

Perang Enam Hari banyak mengubah nasib Palestina. Kekuatan dan kecanggihan militer Israel seakan bukan tandingan bagi negara-negara Arab di sekitarnya. Pasca kekalahan ini, kelompok separatis Palestina sedikit mengubah fokusnya menjadi hanya membebaskan Jalur Gaza dan Tepi Barat sebagai langkah awal mendirikan negara Palestina yang merdeka atas kependudukan Israel.

Konflik dan Usaha Perdamaian

Banyak peristiwa yang terjadi pasca Perang Enam Hari. Berbagai konflik yang memakan korban terus mewarnai hubungan Israel-Palestina. Meskipun begitu, beberapa upaya coba dilakukan berbagai pihak untuk merekonsiliasi konflik dua bangsa ini. Pada 1978, Mesir menyepakati gencatan senjata dengan Israel. Sebagai upaya perdamaian, Israel mengembalikan Gurun Sinai ke tangan Mesir setelah dikuasainya sejak 1967.

Selain itu, perjanjian damai ini juga membicarakan pembentukan pemerintahan yang otonom di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Namun, Palestina tidak menyepakati usulan perjanjian damai tersebut. Para pemimpin Palestina menginginkan negara yang merdeka sekaligus menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibukotanya.

Salah satu masalah besar dalam konflik Israel-Palestina adalah status kota Yerusalem. Pada 1980, Israel menyatukan Yerusalem Barat dan Timur sekaligus mengklaim kota itu sebagai ibu kota negara Yahudi tersebut. Dengan ini, Israel enggan melepaskan Yerusalem Timur ke tangan Palestina. Tidak ada kata sepakat dari dua bangsa tersebut tentang kota Yerusalem.

Kebuntuan ini terus melahirkan berbagai bentuk kekerasan. Pada 1982, pecah perang Lebanon. Pada 1987, terjadi intifada (perlawanan rakyat Palestina terhadap pendudukan Israel di Jalur Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem Timur). Kekerasan-kekerasan yang memakan korban jiwa ini berlangsung hingga 1993 saat ditandatanginya Perjanjian Oslo di AS.

Pada 9 September 1993, Yasser Arafat sebagai ketua PLO mengirim surat pada PM Israel, Yitzhak Rabin. Inti suratnya adalah PLO mengakui hak hidup Israel dan secara resmi meninggalkan cara-cara perjuangan bersenjata. Selama proses perdamaian, kedua pihak diwajibkan merundingkan solusi bagi kedua negara, Israel dan Palestina.

Hasil dari perjanjian damai ini, Israel memberikan otoritas pada Palestina untuk mengatur sendiri wilayahnya, yaitu Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dengan syarat Palestina mengakui keberadaan Israel dan meninggalkan cara-cara kekerasan dalam perjuangan. Sayang, pada 4 November 1995, Yitzhak Rabin dibunuh oleh anggota gerakan Yahudi radikal yang tidak setuju perjanjian damai ini.

Kelompok garis keras HAMAS di Palestina juga tidak begitu menyukai diplomasi damai. Terkadang mereka masih melancarkan serangan ke wilayah Israel sampai hari ini. Mereka yang garis keras dalam beragama terkadang adalah mereka yang paling sulit menerima perdamaian karena keegoisannya sendiri.

Tetapi proses perdamaian antara Israel dan Palestina berjalan ke arah yang benar meskipun sangat amat lambat. Diakuinya Palestina oleh PBB dan dukungan banyak negara untuk kemerdekaan Palestina merupakan sebuah kemajuan terhadap kemanusiaan yang menolak penindasan dan penjajahan.

Keputusan Donald Trump yang mengklaim Yerusalem adalah ibukota Israel adalah kebijakan yang sangat tidak bijak. Keputusan ini malah memperburuk usaha perdamaian di daerah rawan konflik ini. Sentimen Yerusalem adalah wacana yang paling sensitif ketika membicarakan konflik Israel-Palestina. Oleh sebab itu, seharusnya AS sebagai negara adikuasa menimbang dengan bijak sebelum mengumumkan sesuatu yang kontroversial.

Yerusalem adalah Kota Suci tiga agama. Sudah seharusnya ia diperlakukan selayaknya hal suci lainnya. Diperlakukan agung dan dirawat kebersihannya. Jelas bukan dengan cacian tak kunjung habis masing-masing pihak.

Alangkah benar perkataan Gandhi, “Jika sebuah mata harus dibalas dengan sebuah mata, hanya akan membuat seluruh dunia ini buta”. Sejarah sudah mencatat bahwa logika seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada. Mau sampai kapan?

Wallahu A’lam.