Ulama Yaman belajar Nahwu Sharaf Kepada Kiai Makhrus Ali
Kiai Makhrus Ali, salah satu tiga tokoh pendiri Pondok Pesantren Lirboyo – Kediri, ketika berada di Makkah berdebat nahwu-sharaf dengan orang (ulama) Yaman. Berbekal al-Fiyah ibnu Malik, Kiai Mkhrus berhasil membuat orang Yaman bertekuk lutut dan mengakui kealiman kiai yang tak pernah belajar ke Arab ini. Di akhir perdebatan, orang Yaman ini mengajak Kiai Makhrus ke Yaman untuk mengajar nahwu-sharaf kepada orang-orang Yaman. (Sumber: official twitter pesantren Lirboyo – Kediri)
Kiai Makhrus Ali belajar nahwu-sharaf pada Kiai Abdul Karim (Mbah Manaf), guru sekaligus mertuanya sendiri. Kiai Abdul Karim adalah murid Kiai Khalil Bangkalan, kiainya kiai-kiai besar tanah Jawa. Sejak di Bangkalan Kiai Abdul Karim sudah dikenal jago nahwu-sharaf. Al-Fiyah ibnu Malik, kitab nahwu-sharaf 1000 bait karya ulama Andalusia, sudah mendarah daging (tidak hanya hafal tapi tahu maksud dan artinya).
Menurut cerita, ketika mesantren di Bangkalan, ia hanya memiliki satu baju dan sarung. Jika bajunya kotor ia cuci sekaligus ia jemur di pinggir kali. Sambil menunggu bajunya kering ia berendam di kali sembari merapal al-Fiyah ibnu Malik. Beliau banyak menulis Tahrir Al-Fiyah yang sampai hari ini masih diajarkan kepada santri-santri Lirboyo.
Ada banyak kiai pesantren yang meskipun tidak belajar Arab di Tanah Arab tapi kualitas dan penguasaan Arabnya setara dengan ulama-ulama Timur Tengah. Sebut saja beberapa kiai seperti Kiai Ikhsan Jampes, Kiai Abi Fadhal, atau Kiai Sahal Mahfudz. Mereka menulis kitab-kitab berbahasa Arab dengan kualitas tinggi (Arab fusha).
Kiai Abi Fdhal (Ba Fadhal) menulis cerita Wali Songo dalam “Ahlal Musamarah”. Tentu saja, sebelum Kiai Fadhal menuliskannya, cerita Wali Songo tidak dikenal dan belum pernah ditulis ulama Timur Tengah. Kiai Abi Fadhal menuliskannya dengan kualitas Bahasa Arab Fusha. Tanpa penguasaan nahwu-sharaf yang baik (minimal dua disiplin ini), mustahil bisa menulis Arab dengan baik dan benar. Apalagi tak pernah mencicipi tanah Arab sama sekali. Bahkan, orang Arab sendiri belum tentu bisa menulis atau membaca Arab Fusha. Ada banyak cerita orang Arab tak bisa membaca al-Quran. Karena itu, ketika ada orang Yaman meminta belajar nahwu-sharaf pada Kiai Makhrus Ali.
Contoh paling mudah betapa Bahasa Arab kontemporer (arab pasaran) sudah banyak meninggalkan kaidah nahwu-sharaf adalah lagu “Deen as-Salamnya” Sulaiman Mughni ciptaan Saif Fadhil yang di Indonesia dipopulerkan Nisa-Sabyan.
Nisa menyanyikannya “Killa hadza Ardl” yang seharusnya “Kullu Hadzihil al-Ardl” atau “Abtahiyat wa Salam” seharusnya “Bi Tahiyyat wa Bi Salam” atau “Ansyuru Ahlal Kalam” harusnya “Unsyuru Ahlal Kalam” dst.
Ini banyak terjadi di lagu-lagi gambus berbahasa Arab yang dinyanyikan artis-artis Arab-Indonesia. Mereka kebanyakan menulis kembali syair-syair lagunya berdasarkan pendengaran mereka. Akibatnya tak sedikit yang keliru. Bahkan ketika orang Arab sendiri yang mendengarkan banyak yang tidak mengerti arti dan maksudnya.
Lebih ironis lagi, banyak orang Indonesia yang menyangka lagu-lagu gambus sebagai lagu salawat. Padahal syair-syair lagunya bercerita tentang percintaan, patah hati, bahkan cabul dan tidak senonoh (seperti banyak lagu-lagu dangdut koplo).
Karena itu, pondok pesantren hari ini, idealnya, di samping sebagai lembaga yang mengkaji dan mentransformasikan keilmuan dan pengetahuan keislaman tradisonal juga sebagai lembaga pendidikan yang ikut menyelamatkan bahasa Arab al-Quran (Arab Fusha) di tengah erosi dan kemunduran bahasa Arab di tanah kelahirannya.
Sehingga, pesantren-pesantren akan melagirkan ulama-ulama sekaliber Kiai Makhrus, Kiai Ikhsan, Kiai Abi Fadhal, Kiai Sahal juga kiai-kiai top Nusantara lainnya yang murni lahir dari pesantren tradisional.
Namun, entah masa depan pesantren hari ini akan seperti apa setelah kurikulum dan metode pembelajarannya “diobrak-abrik” Depag dengan memunculkan produk baru seperti pesantren muadalah, pesantren diniyah formal, madrasah, dll.
Wallahu Alam