Di perang Uhud, ketika peperangan kedua terjadi, Rasulullah menjadi sasaran empuk serbuan pasukan musuh. Thalhah yang saat itu sedang memantau keadaan Rasul langsung sigap menuju arah tersebut. Pipi Rasul mulai bercucuran darah, badannya lemas tak tentu arah, Thalhah naik pitam dan berang, ia ayunkan pedangnya yang runcing untuk melindungi tubuh Rasul.
Ketika tubuhnya melindungi Rasul dengan tujuh puluh luka menancap di kulitnya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah berdoa “Wahai Allah, ambil darahku hari ini sekehendak-Mu hingga Engkau Ridha.” Tak peduli sebanyak apa pedang maupun panah menusuknya, ia tetap memeluk Nabi seolah tak rela tusukan itu hinggap di tubuh mulia sang Rasul.
“Kalau kalian ingin melihat seorang syahid yang masih berjalan di muka bumi,” begitu sang Nabi bersabda, “Lihat pada Thalhah”. Dan Thalhah, yang sejak perang Uhud jari tangannya putus, tersenyum malu sambil menitikkan air mata bahagia.
Sebagaimana ditulis oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, diriwayatkan dari Ibn Abi Hatim dari Ibn Sa’ad yang bersumber dari Abu Bakar ibn Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm. Bahwa, suatu hari Thalhah berbincang dengan Aisyah, istri kesayangan Nabi yang juga sepupunya.
Rasulullah datang dengan menunjukkan wajah pias tak suka. Beliau cemburu. Dengan gerakan isyarat, beliau saw meminta Aisyah masuk ke dalam kamar. Thalhah malu, wajahnya memerah, ia undur diri dan bergumam dalam hati, “Beliau melarangku berbincang dengan Aisyah. Padahal ia adalah sepupuku. Demi Allah, jika beliau telah wafat, takkan kubiarkan orang lain mendahuluiku melamar Aisyah.”
Gumaman Thalhah membuat Arsy bergetar, perkataan itu dibalas wahyu. Allah swt berfirman dalam surat al-Ahzab ayat 53 “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada isteri- isteri Nabi, maka mintalah dari balik hijab. Demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan kalian tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri- isterinya sesudah ia wafat selama-lamanya.”
Ketika ayat itu dibacakan padanya, Thalhah menangis. Ia malu kepada Allah dan Rasul-Nya. Ibn Abbas berkata; “Ia kemudian memerdekakan budaknya, menyumbangkan harta bendanya yang bisa diangkut oleh sepuluh unta dan menunaikan umrah dengan berjalan kaki sebagai taubat dari ucapannya.”
Kelak, tetap dengan perasaan cintanya dinamai putri kecilnya dengan Aisyah. Aisyah binti Thalhah. Wanita cantik dan pintar. Cukup banyak hadis Nabi yang diriwayatkan darinya. Wanita mulia yang nantinya menjadi Mutiara di zamannya dengan keindahan, kecerdasan dan kebijaksanaannya. Persis seperti Aisyah binti Abi Bakar, wanita yang pernah dicintai ayahnya.
Wallahu A’lam.
Artikel ini sebelumnya dimuat di Bincangsyariah.