Belakangan di negeri ini tiba-tiba muncul banyak guru atau ustaz/ustazah baru dan muda. Mereka hadir di banyak tempat dan ruang sosial. Mereka tampil dengan aksesori dan performa bak seorang alim sejati dan berpidato bak orator ulung. Retorika mereka amat menarik.
Publik tak peduli dari siapa dan dari mana mereka belajar agama. Publik juga tak paham sudah berapa lama mereka belajar agama. Buku atau kitab apa saja yang mereka baca. Semua latar belakang pendidikan mereka tersebut tak dianggap penting. Tak peduli pula motif mereka. Publik juga tak jadi soal bila ayat Al-Qur’an yang ditulisnya salah dan kacau balau. Banyak orang yang terpikat lalu memuji mereka seraya menganggap mereka guru paling hebat dan tak tertandingi.
Fenomena itu sesungguhnya ada di segala zaman dan tempat.
Syams Tabrizi, sang Darwish pengelana, guru spiritual Maulana Rumi, menemukan para guru dan ustaz semacam itu pada masanya. Ia lalu memberikan komentar atas fenomena itu sekaligus mengingatkan :
يوجد معلمون وأساتذة مزيفون في هذا العالم أكثر عددا من النجوم في الكون المرئي. فلا تخلط بين الأشخاص الأنانيين الذين يعملون بدافع السلطة وبين المعلمين الحقيقيين. فالمعلم الروحي الصادق لا يوجه انتباهك إليه ولا يتوقع طاعة مطلقة أو إعجابا تاما منك، بل يساعدك على أن تقدر نفسك الداخلية وتحترمها. إن المعلمين الحقيقيين شفافون كالبلور، يعبر نور الله من خلالهم.
Para guru dan ustaz gadungan/palsu yang ada di dunia ini jauh lebih banyak bintang yang tampak di alam semesta. Tapi Anda jangan keliru untuk tahu siapa saja para ustaz yang haus kekuasaan dan egois, dan siapa saja para guru sejati. Seorang guru spiritual sejati tak akan memintamu untuk patuh total kepada dirinya dan memujinya. Tetapi, ia akan membantumu untuk menemukan dan memuliakan dirimu sendiri.
Para guru sejati bagai cermin bening yang menangkap cahaya Tuhan lalu memancarkannya.
Para guru sejati dalam pandangan para guru sejati dan bijakbestari hadir untuk membagi cahaya pengetahuan kemanusiaan, bukan menghancurkannya dan membodohi orang lain. Mereka hadir untuk kebahagiaan orang lain, bukan untuk kesenangan diri sendiri. Mereka bagai lilin yang menyala yang cahayanya menyebar sementara dirinya terbakar. Mereka rela menanggung luka demi cinta.