Kisah Seorang Sufi yang Dekat dengan Allah

Kisah Seorang Sufi yang Dekat dengan Allah

Kisah Seorang Sufi yang Dekat dengan Allah
Sumber: fineartamerica

Dzun Nun dan Salim sedang bersama dalam suatu perjalanan ke sebuah gunung di Lebanon. Satu ketika, ia ingin meninggalkan Salim dalam waktu sebentar. Ia berkata, “Tunggulah di sini! Aku akan pergi sebentar saja dan akan kembali lagi ke sini.”

Dzun Nun pun pergi. Namun ternyata, kepergian Dzun Nun tak sebentar. Ia meninggalkan Salim selama tiga hari. Karena Salim sama sekali tak memiliki bahan makanan, maka ketika lapar, ia memakan tumbuh-tumbuhan yang ada di sana. Pun demikian ketika ia haus. Ia hanya meminum air yang ia ambil dari gubangan air yang menggenang di dekatnya.

Tiga hari pun berlalu. Dzun Nun kembali ke tempat semula. Wajahnya pucat pasi. Ia terlihat seperti orang linglung.

“Ada apa? Apakah kamu baru bertemu binatang buas di sana?” tanya Salim penasaran.

“Tidak. Kepadaku, jangan bicara masalah takut kepada binatang buas seperti yang dirasakan banyak orang,” jawab Dzun Nun tegas.

Dzun Nun pun bercerita. Selama tiga hari sebelumnya, ia telah masuk ke sebuah goa yang ada di gunung itu. Di sana, ia melihat ada seorang lelaki yang penampilan sangat kumuh sekali. Kusut. Kurus. Dekil. Rambut dan jenggotnya putih semua. Saat itu, lelaki itu sedang melakukan shalat.

Selesai shalat, Dzun Nun mengucapkan salam kepada lelaki itu. Dia menjawab salam itu dan kembali melakukan shalat waktu ashar tiba. Setelah itu, ia pun bersandar ke sebuah batu sambil membaca tasbih tanpa mengajak Dzun Nun bicara.

Akhirnya, Dzun Nun mengawali percakapan dengannya. Kepada lelaki itu, ia meminta nasihat dan doa. Lelaki itu menjawab, “Nak, semoga Allah membuatmu senang dengan kedekatan denganNy.a”

“Lantas apa lagi?” tanya Dzun Nun ingin lelaki itu melanjutkan nasihatnya.

“Siapa yang Allah buat terhibur dengan kedekatan denganNya, maka ia akan mendapatkan empat hal. Pertama, kemuliaan tanpa teman. Kedua, ilmu tanpa mencari. Ketiga, merasa cukup meski tanpa harta. Dan keempat, tak pernah merasa kesepian meski tak sedang bersama orang banyak,” jawab lelaki itu menjelaskan.

Setelah berkata seperti itu, ia menjerit dan jatuh pingsan. Dzun Nun menduga ia telah meninggal dunia. Ia tunggui lelaki itu. Setelah tiga hari berlalu, ternyata ia siuman/sadar. Setelah sadar, ia menunju samping gua untuk mengambil air wudlu dari sebuah mata air.

“Berapa kali shalat fardlu yang aku meninggalkan? Satu, dua, atau tiga shalat?,” tanya lelaki itu kepada Dzun Nun.

“Engkau tidak shalat fardlu selama tiga hari tiga malam,” jawab Dzun Nun.

Lelaki mengatakan, teringat Sang Kekasih (Allah SWT) telah membangkitkan kerinduannya dan cinta kepadaNya telah membuatnya kehilangan akal/kesadaran. Ia juga mengatakan, bertemu makhluk membuatnya tidak nyaman. Sebaliknya, ia merasa nyaman ketika bertemu dengan Tuhan.

“Sekarang, silakan kamu pergi dari sini!” kata lelaki itu menyuruh Dzun Nun untuk segera menyingkir darinya.

Dzun Nun merasa keberatan. Ia berkata, “Aku telah di sini selama tiga hari menunggumu agar aku mendapat nasihat yang lebih banyak lagi darimu.” Dzun Nun pun menangis.

Lelaki itu pun menasihati agar Dzun Nun mencintai Allah dan tidak dengan yang lain. Ia lantas menjerit dan pingsan. Dzun Nun mencoba membangunkannya, namun ia telah benar-benar meninggal dunia. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Tak lama dari wafatnya lelaki itu, beberapa orang turun dari gunung dan memakamkannya. Dzun Nun mencoba mencari tahu identitas lelaki yang ia temui itu. Ia bertanya kepada mereka, “Siapa lelaki ini?”

Mereka menjawab, “Dia adalah Syaiban al-Mushab”

Kisah ini ditulis Ibnu Jauzi dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat. Lewat kisah ini kita bisa belajar bahwa ketenangan dan kebahagiaan sejati adalah ketika kita dekat dengan Allah. Mereka yang dekat denganNya akan menjadi wali atau kekasihNya. Sebab, Allah SWT berfirman:

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. Yunus [10]: 62)

 

Sumber:

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. ’Uyun al-Hikayat. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019.