Kisah Persahabatan Dua Ulama yang Berselisih Pendapat

Kisah Persahabatan Dua Ulama yang Berselisih Pendapat

Kisah Persahabatan Dua Ulama yang Berselisih Pendapat

Abdullah bin Ghaib sedang dalam perjalanan menuju suatu pulau tertentu dengan menaiki kapal laut. Beberapa saat kemudian, kapal itu berlabuh di suatu kampung yang terletak di dekat sebuah gunung. Kampung tersebut tidak berpenghuni. Sepi.

Turun dari kapal, Abdullah bergegas mengelilingi kampung itu. Ia melihat dan mengamati bekas-bekas yang tersisa di sana. Ia pun menemukan sebuah rumah kosong, namun terlihat baru saja ada yang menempatinya. Abdullah berkata dalam hati, “Rumah ini memiliki aura tersendiri.”

Ia memutuskan untuk tinggal di sana, setidaknya untuk malam itu. Setelah itu, ia menemui kawan-kawannya dan berkata, “Aku butuh bantuan kalian. Adakah yang bersedia membantuku?.”

“Apa itu?,” kata kawan-kawan Abdullah.

“Aku berencana akan menempati sebuah rumah di sebelah sana. Apakah kalian bersedia menemaniku?,” kata Abdullah menjelaskan.

Kawan-kawannya setuju. Malam itu, Abdullah dan beberapa kawannya tinggal di rumah kosong tersebut. Dalam rumah itu, terdapat sebuah panci dan kendi kosong, tanpa makanan dan minum sama sekali. Abdullah memprediksi, jika rumah itu ada penghuninya, niscaya ia akan datang di kala malam tiba. Dan dugaan Abdullah benar.

Malam harinya, ia mendengar seseorang (sebut saja Fulan) berjalan dari arah gunung menuju rumah tersebut. Fulan datang sembari membaca tasbih, takbir, dan tahmid. Kalimat thayyibah ini terus ia baca sampai memasuki rumah yang di dalamnya ada Abdullah Cs.

Fulan melakukan shalat sunnah dalam durasi yang sangat lama dan setelah itu keajaiban terjadi. Fulan mendatangi panci yang ada di rumah itu, mengambil makanan darinya, dan menyantapnya. Pun demikian dengan kendi itu. Ia mendatanginya dan meminum air dari kendi itu (Padahal sebagaimana disebut di awal, panci dan kendi itu tak berisi apa-apa)

Setelah mengisi perut, ia mengerjakan shalat sunnah lagi hingga fajar terbit (waktu shubuh). Karena waktu shubuh tiba, ia pun mengerjakan shalat shubuh dan Abdullah bermakmum di belakangnya. Setelah mereka mengerjakan shalat, Fulan berkata, “Mengapa engkau masuk rumahku tanpa seizinku?”

“Aku hanya menginginkan kebaikan,” jawab Abdullah. (Maksudnya, ia menempati rumah itu tanpa izin karena memang terpaksa, pen)

Abdullah lantas mengajukan pertanyaan tentang kejanggalan yang ia lihat sebelumnya, “Aku melihatmu makan dan minum dari panci dan kendi itu. Padahal sebelumnya aku telah memastikan bahwa kedua tempat itu kosong tanpa makanan dan minuman barang sedikitpun. Bagaimana itu bisa terjadi?”

Fulan menajwab, “Iya, benar apa yang kamu katakan. Namun Allah memberiku keistimewahan. Apapun yang ingin aku makan dan minum, aku tinggal mengambilnya dari panci dan kendi itu”.

“Bahkan, jika kamu menginginkan ikan segar sekalipun, apakah kamu bisa langsung mengambilnya dari kendi itu?,” ujar Abdullah masih tidak percaya dengan apa yang Fulan katakan.

“Iya,” jawab Fulan membenarkannya.

Dalam kesematan kali itu, Abdullah mengajukan keberatan yang ia rasakan. Ia mengatakann bahwa masyarakat umum tidak diperintahkan Allah untuk mengerjakan apa yang telah dilakukan Fulan. Abdullah berkata, “Umat diperintahkan untuk melakukan shalat jama’ah, menjenguk orang yang sakit, dan mengiring jenazah”

(Agaknya Abdullah keberatan (atau bahkan iri?) dengan apa yang dilakukan Fulan selama ini, yakni menjauh dari kerumunan dan memilih tinggal di gunung, pen)

Fulan pun mengatakan bahwa ada di desa di sebelah kampungnya tersebut dimana penduduknya melakukan apa saja yang dikatakan Abdullah barusan (shalat jamaah, dll). Fulan juga menegaskan bahwa nanti ia akan ke sana juga.

Sejak kejadian itu, Abdullah dan Fulan menjadi akrab. Bahkan ketika Abdullah sudah tidak di sana lagi, keduanya masih sering berkomunikasi lewat surat. Hingga akhirnya, surat-suratan pun berhenti dan Abdullah menduga bahwa Fulan telah meninggal dunia. Beberapa waktu kemudian, Abdullah menemui ajalnya. Dari kuburan Abdullah tercium semerbak bau minyak kasturi. Subhanallah.

Lewat kisah yang terdapat dalam kitab Shifat al-Shafwah karya Ibnu Jauzi di atas, terbaca dengan jelas betapa Abdullah dan Fulan adalah dua sosok yang berbeda. Abdullah adalah sosok muslim yang senang bersosialisasi (dia memiliki banyak kawan dan suka traveling) sedang Fulan tidak (ia memilih tinggal di gunung, hingga ia memiliki karamah sedemikian rupa). Meski demikian, keduanya tetap menjalin hubungan persahabatan bahkan sampai meninggal dunia.

Allah Swt. berfirman:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖ

“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Dalam potongan ayat ini terdapat dua pembahasan penting. Pertama, perintah berpegang teguh dengan tali Allah (Al-Qur’an dan Sunnah). Dan yang kedua, perintah untuk berjamaah dan tidak berpecah belah. Mengerjakan yang pertama namun sendiri-sendiri, maka hal itu tidak ada faidahnya. Begitu kurang lebih penjelasan Buya Hamka dalam tafsir Al-Azhar.

Walhasil, adalah wajar jika seseorang memiliki pendapat berbeda dengan kita dalam hal apapun, termasuk dalam menjalankan ajaran agama. Hal demikian hendaknya  tidak dijadikan alasan untuk berpecah belah dan memutus silaturrahim. Wallahu a’lam.

 

Sumber:

Amrullah, Haji Abdulmalik Abdulkarim. Tafsir Al-Azhar. Singapura: Pustaka Nasional PTE PLD, n.d.

Ibn al-Jauzi, Jamaluddin Abi al-Farj bin. Shifat al-Shafwah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabi, 2012.