Seorang pemuda, sebut saja Fulan, hidup dengan penuh kedurhakaan kepada Allah. Maksiat seakan menjadi makanannya saban hari. Karena kedurhakaannya itu, satu ketika, Fulan dihukum Allah. Ia sakit parah, separah-parahnya.
Karena tak kuat menahan sakit dan sadar bahwa itu sebab kedurhakaannya, Fulan pun berdoa kepada Allah, memohon ampun atas segala salah dan dosa, “Ya, Allah, aku mohon, ampunilah dosaku dan sembuhkanlah penyakit. Aku berjanji, jika nanti sembuh, aku tak akan lagi mengulangi kesalahan yang selama ini aku lakukan”.
Allah mengabulkan doanya. Fulan sembuh dari sakit parahnya. Namun, tak berselang lama, kedurhakannnya kambuh lagi. Ia kembali rajin melakukan maksiat kepadaNya, bahkan kali ini, lebih rajin dari sebelumnya. Allah kembali menghukumnya dengan sakit parah.
Apa yang terjadi selanjutnya sama seperti episode sebelumnya. Ia berdoa kepadaNya, minta ampun. Allah kabulkan doanya. Namun, lagi-lagi, setelah sembuh, ia durhaka lagi. Begitu seterusnya. Kejadian seperti ini terjadi selama lima kali. Na’udzubillah.
Hingga suatu hari, Hasan al-Bashri, seorang ulama kenamaan di zamannya, bertemu dengan Fulan. Hasan al-Bashri menasihatinya, “Wahai Fulan, takutlah kepada Allah seakan kamu melihatNya. Jika kamu tak melihatNya, yakinlah, bahwa Allah melihatmu.”
Bukannya mengiyakan nasihat tersebut, Fulan justru menjawabnya dengan penuh kesombongan, “Wahai Abu Said (panggilan Hasan al-Bashri, secara leksikal berarti “Ayah Said”), pergilah sana. Aku adalah pemuda. Aku siap menaklukkan dunia”.
“Sepertinya ia sudah dekat dengan kematian,” kata Hasan al-Bashri kepada kawan-kawannya tak lama setelah percakapan itu.
Suatu saat, ketika Hasan al-Bashri sedang mengisi pengajian, saudara Fulan datang menemuinya. Orang yang datang ini mengabarkan bahwa Fulan sedang dalam keadaan sekarat menghadapi kematian (sakaratul maut).
Hasan al-Bashri memutuskan untuk mengakhiri pengajiannya dan berangkat menjenguk Fulan. Kedatangan Hasan al-Bashri disambut oleh ibu Fulan. Singkat cerita, sang ibu mengabarkan kepada Fulan, Hasan al-Bashri datang menjenguk.
“Hai Fulan, mintalah ampun kepada Allah!,” perintah Hasan al-Bashri kepada Fulan.
“Allah tak akan berkenan memaafkan aku,” jawab Fulan pesimis.
Hasan al-Bashri menimpali, “Sungguh, kamu menganggap Allah itu pelit. Sungguh, Dia adalah Zat yang Maha Pemurah”.
Fulan lantas menceritakan bagaimana kedurhakaan yang ia lakukan kepada Allah. Di akhir cerita, ia mengatakan bahwa ketika terakhir kali ia mohon ampun kepada Allah, ada suara yang berkata, “Tak ada ampunan lagi untukmu kali ini. Sebelum-sebelum ini, kamu telah diampuni dan diberi kesembuhan, namun tetap saja berbohong”.
Selepas mendengarkan ucapan-ucapan Fulan, Hasan al-Bashri pun lantas undur diri. Entah karena apa, tindakan Hasan al-Bashri yang langsung pulang ini ternyata membuat Fulan putus asa terhadap ampunan Allah. Kegelisahan ini ia ungkapkan kepada sang ibu.
Di akhir hidupnya yang tinggal menunggu detik itu, Fulan meminta tolong kepada sang ibu untuk melakukan beberapa hal. Salah satunya adalah agar sang ibu berkenan memintakan ampun kepada Allah atas segala dosa yang pernah dilakukan.
Sang ibu langsung mendoakan seketika itu juga. Salah satu isi doanya adalah, “Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada anakku dan ampunilah dosa-dosanya”.
Baca Juga, Kisah Iblis dengan Orang yang Ingin Menebang Pohon Besar
Tak lama setelah itu, Fulan benar-benar meninggal dunia. Meninggalkan ibu dan seluruh keluarganya. Dalam satu kesempatan sang ibu mendengar suatu kalimat dari suara tanpa rupa, “Allah telah merahmati dan mengampuni dosa anakmu”.
Begitu pula dengan Hasan al-Bashri. Ia juga mendengar kalimat dari suara tanpa rupa yang mengabarkan bahwa Fulan telah diampuni. Setelah itu, Hasan al-Bashri bersama teman-temannya melayat ke rumah duka.
Kisah yang tertuang dalam kitab ‘Uyun al-Hikayat di atas berisi banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Salah satunya adalah bagaimana Allah mengabulkan doa seorang ibu. Itulah mengapa dalam hadis Nabi dijelaskan, rida dan murka Allah tergantung pada rida dan murka orangtua. Wallahu a’lam.